Kecurangan Beras Premium, Cermin Bobroknya Sistem Sekuler Kapitalisme
Oleh : Ghooziyah
Di tengah jeritan rakyat menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, publik kembali dibuat geram oleh terbongkarnya praktik curang dalam perdagangan beras premium. Sebagaimana diungkap dalam laporan Kompas (13/07/2025), Kementerian Pertanian menemukan bahwa ratusan merek beras premium di pasaran ternyata tidak sesuai standar. Bahkan, menurut laporan Tempo, sedikitnya 157 merek beras terbukti tidak memenuhi kualitas premium sebagaimana klaim kemasannya. Padahal, masyarakat membelinya dengan harga premium.
Ironisnya, pelaku di balik kejahatan ini bukan pedagang kecil atau oknum pasar, melainkan perusahaan-perusahaan besar yang telah lama bercokol dalam industri perberasan nasional. Sementara itu, negara sudah memiliki regulasi. Ada Badan Standardisasi Nasional (BSN), ada ketentuan soal klasifikasi mutu beras, bahkan sanksi hukum pun tercantum. Namun, kecurangan tetap berulang, dan publik terus dirugikan.
Menurut data dari MetroTV News, kerugian masyarakat akibat beras berkualitas rendah yang dijual dengan harga tinggi mencapai hampir Rp100 triliun. Sebuah angka yang fantastis dan mencerminkan bobroknya tata kelola pangan nasional, sekaligus ketidakberdayaan negara menghadapi dominasi korporasi besar.
Kapitalisme dan Kecurangan: Dua Sisi dari Satu Koin
Fenomena ini sejatinya bukanlah kejutan dalam sistem sekuler kapitalistik. Sistem ini menjadikan keuntungan materi sebagai nilai tertinggi, bahkan jika harus menipu, mencurangi timbangan, atau mengoplos kualitas. Dalam kapitalisme, hukum dan regulasi tidak lebih dari alat legitimasi kekuasaan ekonomi. Mereka yang memiliki modal besar bisa menekan pasar, mengatur tata niaga, bahkan "mengelola" pengawasan dan sanksi.
Tak heran jika pelaku kecurangan adalah para pengusaha besar. Mereka punya akses, punya kekuatan lobi, dan punya kemampuan untuk melenggang dari jerat hukum. Sementara negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru terlihat lemah dan tak bergigi.
Ketiadaan ketegasan dalam pengawasan dan sanksi memperjelas bahwa regulasi dalam sistem sekuler hanya berlaku untuk yang lemah. Ketika korporasi yang melanggar, negara justru memberi "kesempatan untuk memperbaiki kualitas" alih-alih memberi sanksi tegas. Padahal, kejahatan ekonomi seperti ini berdampak sistemik: memiskinkan rakyat, memanipulasi harga pasar, dan menghancurkan kepercayaan publik.
Akar Masalah: Negara Abai, Pendidikan Gagal, Sistem Rusak
Jika ditelisik lebih dalam, persoalan ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait langsung dengan gagalnya sistem pendidikan yang seharusnya mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Dalam masyarakat yang tidak disemai dengan nilai-nilai kejujuran dan takut kepada Allah, wajar jika kecurangan menjadi hal biasa, bahkan dianggap strategi bisnis.
Lebih dari itu, negara gagal hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan. Dari hulu ke hilir, tata kelola pangan nasional dikuasai oleh korporasi. Negara hanya memiliki kendali atas kurang dari 10% pasokan, selebihnya dikuasai swasta. Akibatnya, negara tidak punya daya tawar, baik dalam menetapkan harga, menjaga kualitas, maupun menegakkan sanksi.
Negara dalam sistem kapitalisme tidak lagi berfungsi sebagai pelayan rakyat, tetapi berubah menjadi regulator yang tunduk pada kepentingan pasar. Dalam situasi seperti ini, keadilan hanyalah ilusi, dan rakyat kecil akan terus menjadi korban.
Solusi Islam: Negara Amanah, Individu Takwa, Sanksi Tegas
Islam memandang bahwa penguasa adalah raain (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyatnya. Penguasa bukan sekadar pejabat administratif, tetapi pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas setiap kebijakan dan kelalaiannya terhadap umat.
Untuk itu, tegaknya keadilan dan keamanan ekonomi dalam Islam bertumpu pada tiga hal utama:
1. Ketakwaan individu, yang membuat seseorang enggan melakukan kecurangan walaupun tidak diawasi manusia.
2. Kontrol masyarakat, berupa amar ma’ruf nahi mungkar yang hidup di tengah rakyat.
3. Penegakan hukum yang tegas dan adil oleh negara, termasuk penerapan sanksi yang menjerakan kepada pelaku kejahatan ekonomi.
Dalam Islam, ada lembaga khusus yang disebut Qadhi Hisbah, yang bertugas melakukan pengawasan pasar secara ketat. Qadhi Hisbah tidak sekadar menunggu laporan, tapi aktif menelusuri dan menyidik setiap praktik curang. Pelaku yang terbukti menipu dalam timbangan atau kualitas akan dikenai sanksi yang sesuai syariat, bukan sekadar diberi peringatan atau "kesempatan memperbaiki".
Negara Wajib Hadir dari Hulu ke Hilir
Islam tidak membiarkan sektor strategis seperti pangan diserahkan kepada korporasi. Negara wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, termasuk mengelola distribusi agar tidak terjadi penumpukan pasokan pada kelompok tertentu atau manipulasi harga.
Negara juga bertanggung jawab untuk memastikan seluruh rakyat mendapatkan akses pangan yang layak dan halal, bukan sekadar “tersedia di pasar”. Negara akan membatasi peran korporasi agar tidak menguasai pasar dan menghisap keuntungan berlebihan atas penderitaan rakyat.
Penutup
Kecurangan beras premium bukan sekadar persoalan teknis kualitas dan regulasi. Ia adalah refleksi dari kerusakan sistemik dalam sistem sekuler kapitalisme, yang menempatkan keuntungan di atas nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Selama sistem ini tetap dipertahankan, pengawasan dan sanksi hanyalah formalitas. Rakyat akan terus tertipu, dan keadilan tinggal wacana. Solusinya bukan sebatas revisi regulasi, tapi pergantian sistem menuju sistem Islam, yang menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, individu sebagai makhluk bertakwa, dan pasar sebagai arena keadilan, bukan penipuan.
Wallahu a'lam
Posting Komentar