Digitalisasi dan Ancaman Siber, Saatnya Negara Lindungi Perempuan dan Anak dengan Islam
Oleh : Henise
Kemajuan teknologi informasi telah membawa umat manusia pada era keterhubungan digital yang nyaris tanpa batas. Dari media sosial, aplikasi permainan, hingga ruang komunikasi daring yang tersedia dalam genggaman, semua tampak menawarkan kenyamanan dan akses cepat terhadap informasi. Namun di balik semua kemudahan itu, terbentang sebuah bahaya besar yang saat ini terus mengintai kelompok paling rentan dalam masyarakat: perempuan dan anak-anak.
Belum lama ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyoroti bagaimana media sosial menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sementara itu, laporan Kementerian PAN-RB menunjukkan komitmen untuk memperkenalkan kebijakan PP TUNAS (Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Ruang Siber) ke forum internasional. Namun pertanyaannya: Apakah ini cukup?
Fakta di lapangan berkata sebaliknya. Anak-anak Indonesia menggunakan gawai sejak usia sangat dini. Menurut data Kementerian Kominfo dan KemenPPPA, mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari dengan layar—tanpa pengawasan, tanpa filter konten, dan tanpa bekal iman serta pemahaman tentang etika digital. Di saat yang sama, berbagai bentuk kekerasan, pelecehan, penipuan digital, hingga pornografi mudah diakses dan disebarkan. Bahkan, ruang digital menjadi lahan empuk bagi predator anak dan jaringan perdagangan manusia.
Ini bukan sekadar masalah teknis atau kurangnya literasi digital. Ini adalah buah dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik, yang menempatkan teknologi sebagai alat produksi materi dan keuntungan—bukan sarana kebaikan. Negara tidak hadir sebagai pelindung, tetapi justru tunduk pada logika pasar dan kepentingan industri digital yang dikuasai korporasi global. Anak-anak dipandang sebagai konsumen masa depan, sementara perempuan seringkali menjadi objek eksploitasi konten, baik secara visual maupun emosional.
Masalah Sistemik, Bukan Sekadar Etika Penggunaan
Dalam sistem kapitalisme, negara bukan pengurus rakyat, melainkan hanya regulator. Semua aspek kehidupan termasuk pendidikan, teknologi, dan media dikomersialisasi. Akibatnya, masyarakat diharuskan menjaga diri masing-masing dalam hutan belantara digital, tanpa ada “perisai” dari negara.
Padahal, apa yang dihadapi anak-anak hari ini bukan hanya soal konten dewasa atau perundungan daring. Lebih dalam, ini soal ancaman terhadap nasab, akidah, dan masa depan generasi. Konten pornografi dan kekerasan digital telah merusak fitrah mereka, menjauhkan dari nilai-nilai luhur, bahkan mempengaruhi keinginan hidup dan kehormatan diri.
Perempuan sebagai madrasah utama generasi pun ikut terancam. Jika mereka tidak mendapatkan perlindungan siber yang memadai, maka ancaman rusaknya pendidikan anak-anak di masa depan sangat besar. Maka sejatinya, masalah ini bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar manusia dan potensi kemuliaan yang Allah titipkan pada setiap jiwa.
Kritik dan Solusi Islam terhadap Krisis Siber
Islam memandang teknologi bukan sebagai ancaman, namun alat yang wajib diarahkan pada kemaslahatan umat. Dalam sistem Islam, negara hadir sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Negara tidak membiarkan teknologi berkembang liar tanpa kendali. Negara mengatur konten, mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan, dan memastikan sistem digital bersih dari keharaman. Ini hanya bisa terjadi dalam sistem Khilafah, yang mengatur kehidupan berlandaskan wahyu, bukan sekadar statistik ekonomi.
Negara Islam memiliki tiga pendekatan penting dalam mengatasi problem ini:
1. Pendidikan Berbasis Akidah Islam.
Anak-anak sejak dini dididik dengan tauhid, adab, dan cara berpikir islami. Mereka diajarkan bagaimana menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab. Dengan bekal ini, mereka tak mudah tergoda oleh konten merusak atau pergaulan bebas daring.
2. Kebijakan Media dan Teknologi yang Terarah.
Negara akan memastikan hanya konten dan layanan digital yang halal dan bermanfaat yang boleh beredar di wilayahnya. Seluruh penyedia teknologi asing akan diwajibkan tunduk pada regulasi Islam, atau tidak diperbolehkan masuk. Negara juga mendorong pengembangan teknologi mandiri untuk membebaskan umat dari ketergantungan siber kepada asing.
3. Sanksi Tegas dan Pencegahan Komprehensif.
Pelaku kekerasan siber, eksploitasi anak, atau penyebar konten haram akan dikenai sanksi berat sesuai syariat. Tapi Islam tidak hanya menghukum, melainkan juga mencegah kejahatan dengan membentuk individu bertakwa, masyarakat peduli, dan negara pelindung.
Membangun Dunia Siber yang Sehat dan Berkah
Ruang siber yang sehat bukan sekadar bebas kekerasan atau pornografi. Lebih dari itu, ia adalah ruang yang mendukung kehidupan manusia secara fitrawi—menjaga akal, kehormatan, dan keturunan. Negara Islam akan memastikan ruang digital memberi informasi yang mencerdaskan dan mendorong keimanan, bukan merusak hati dan pikiran.
Digitalisasi akan tetap berjalan. Tapi arah, tujuan, dan dampaknya akan sangat bergantung pada sistem apa yang mengaturnya. Dalam kapitalisme, arus digital dibentuk oleh logika pasar dan hawa nafsu. Dalam Islam, teknologi dibingkai oleh syariat untuk menjaga martabat manusia dan menebar kebaikan hingga akhirat.
Penutup
Perempuan dan anak-anak hari ini membutuhkan perlindungan nyata, bukan sekadar wacana atau seremoni internasional. Mereka membutuhkan negara yang benar-benar hadir, bukan abai demi cuan. Dan negara itu hanyalah Khilafah Islamiyyah, yang akan menata dunia digital sebagai bagian dari sistem hidup yang penuh berkah.
Jika kita terus berharap pada sistem sekuler hari ini, maka ruang siber akan terus menjadi lautan bahaya yang menenggelamkan generasi. Tapi jika kita kembali kepada Islam secara kaffah, maka dunia digital pun akan menjadi taman ilmu dan ladang pahala, bukan lagi sumber malapetaka.
Wallahu a'lam
Posting Komentar