Kapitalisme, Sistem yang Melanggengkan Korupsi dan Kolusi
Oleh : Fathiyah Khasanah S.Sos, M.Sos
Presiden terpilih Prabowo Subianto pernah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman besar yang mengintai negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yaitu state capture. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana negara "ditawan" oleh kepentingan segelintir elite, yakni kolusi antara pemilik modal besar, pejabat pemerintahan, dan elite politik. Dalam kondisi ini, arah kebijakan negara tidak lagi ditujukan untuk melayani rakyat, tetapi diarahkan demi mengamankan keuntungan kelompok tertentu. (kumparan.com)
Prabowo juga menekankan bahwa kolusi semacam ini tidak membawa dampak positif bagi rakyat. Ia tidak mengentaskan kemiskinan, tidak memperluas kelas menengah, bahkan sebaliknya—menciptakan ketimpangan yang makin dalam. Namun yang jarang diungkap secara jujur adalah bahwa state capture bukanlah penyimpangan dari sistem, tetapi justru keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini. Hal ini dikatakannya saat berbicara di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jumat (20/6/2025). (Kompas.com)
Sistem Rusak Melahirkan Pemimpin Transaksional
Demokrasi kapitalisme memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan aturan manusia sebagai satu-satunya sumber hukum. Dalam sistem ini, kekuasaan diperoleh melalui mekanisme pemilu yang membutuhkan biaya sangat besar. Untuk meraih jabatan, seorang kandidat harus mengeluarkan dana miliaran hingga triliunan rupiah. Karena itulah, ia butuh "investor politik", yakni para pengusaha yang siap menyokong biaya kampanye dengan harapan mendapat balas jasa ketika sang calon menang.
Balas jasa ini bukan hanya berupa proyek pemerintah, konsesi pertambangan, atau pengurangan pajak, tetapi juga regulasi yang disusun khusus demi keuntungan si pemodal. Di sinilah letak state capture—di mana negara tak lagi menjalankan fungsinya sebagai pelindung rakyat, tetapi menjadi pelayan korporasi. Inilah wajah asli kapitalisme, sistem yang menjadikan kekuasaan dan hukum sebagai barang dagangan. Kolusi dan korupsi dalam sistem ini bukanlah penyimpangan, tetapi produk bawaan dari struktur yang rusak.
Kapitalisme memberi ruang luas bagi siapa saja untuk menjadikan kekuasaan sebagai alat meraih kekayaan. Tak heran jika praktik suap, manipulasi anggaran, penggelembungan proyek, dan kongkalikong menjadi fenomena yang berulang dan sulit diberantas. Bahkan lembaga antikorupsi sekalipun kerap dilemahkan ketika menyentuh kepentingan elite.
Islam: Sistem yang Membangun Kepemimpinan Amanah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam membangun sistem kekuasaan yang berbasis akidah. Islam menetapkan bahwa tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah SWT, termasuk dalam mengelola kekuasaan dan pemerintahan. Dalam Islam, jabatan bukan alat memperkaya diri, melainkan amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
(QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menunjukkan bahwa amanah, termasuk kekuasaan dan jabatan, harus diberikan kepada yang layak dan dijalankan dengan keadilan, bukan dengan korupsi atau kolusi. Penguasa dalam Islam tidak boleh tunduk kepada pemilik modal, karena sumber legitimasinya bukan pada suara uang atau suara rakyat, melainkan pada ketaatan kepada hukum syara’.
Dalam sistem Islam, seorang pemimpin diangkat bukan karena kekuatan modal atau popularitas, tetapi karena ketakwaannya dan kemampuannya dalam menegakkan hukum Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan paradigma ini, seorang pemimpin tidak akan menjadikan jabatannya sebagai ladang transaksi politik, melainkan sebagai sarana untuk menunaikan kewajiban dalam mengatur urusan umat sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Mekanisme Pencegahan Korupsi dalam Islam
Islam juga memiliki sistem yang komprehensif dan preventif untuk mencegah korupsi dan kolusi. Pertama, dengan membangun masyarakat yang bertakwa melalui pendidikan Islam dan amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, dengan adanya lembaga hisbah yang berfungsi sebagai pengawas publik terhadap pelanggaran syariat, termasuk oleh penguasa. Ketiga, adanya qadhi mazhalim, yaitu pengadilan khusus untuk menyelesaikan sengketa antara rakyat dan penguasa. Keempat, adanya sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Islam memandang bahwa pelaku korupsi telah mengkhianati amanah dan merusak kepercayaan umat. Karena itu, sanksi terhadap korupsi dalam Islam bukan hanya bersifat administratif, tetapi bisa berupa hukuman ta’zir yang keras dari khalifah, tergantung tingkat kerusakannya. Hukuman ini bukan semata untuk membalas, tetapi sebagai bentuk penjagaan terhadap integritas negara dan ibrah bagi masyarakat.
Jika bangsa ini sungguh-sungguh ingin keluar dari jeratan korupsi dan kolusi, maka solusi yang dibutuhkan bukanlah memperkuat sistem yang rusak. Kapitalisme telah gagal memberikan keadilan dan perlindungan bagi rakyat. Ia justru menciptakan jurang antara penguasa dan pemilik modal di satu sisi, dan rakyat kecil di sisi lain.
Sudah saatnya kita menoleh kepada Islam, bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh (kaffah)—yang mampu mengatur pemerintahan, ekonomi, hukum, hingga urusan sosial dengan adil dan bermartabat. Allah SWT menegaskan:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
(QS. Al-Ma’idah: 50)
Posting Komentar