FENOMENA 'ROHANA DAN ROJALI', BUKTI BOBROKNYA KAPITALISME
Oleh : Eki Efrilia
'Rohana dan Rojali', kalau kita baca sekilas 2 kata ini seperti sebuah judul film atau sinetron komedi. Padahal sebetulnya bukan, bahkan ternyata merupakan hal miris, dimana 2 kata yang muncul di akhir-akhir bulan ini adalah singkatan dari 'rombongan jarang nanya' dan 'rombongan jarang beli'. Sebutan ini mengacu kepada fenomena banyaknya pengunjung Mall atau Supermarket yang ternyata tidak membeli apapun di tempat tersebut dan hanya jalan-jalan saja menikmati suasana, termasuk juga bertujuan berteduh di tempat ber-AC untuk menghindari cuaca panas di luar. Tentu saja, hal ini membuat penurunan omzet di toko-toko yang mencari untung di pusat-pusat perbelanjaan tersebut (CNBC Indonesia, 23/7/2025).
Jelas, berkurangnya transaksi pembelian di Mall dan Supermarket (meski pengunjung tetap banyak) adalah bentuk dari turunnya daya beli masyarakat sekarang ini, salah-satunya adalah akibat makin terhimpitnya ekonomi mereka dengan makin banyaknya pengangguran akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang sangat marak Indonesia. Maraknya PHK ini sudah makin intens terhitung akhir tahun lalu. Selain adanya PHK besar-besaran, sebetulnya fenomena 'rohana dan rojali' ini juga dipicu karena kemiskinan ekstrim yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia jauh sebelumnya.
Penurunan daya beli masyarakat saat ini telah diakui oleh Ismariny, Asisten Deputi Perdagangan Dalam Negeri, Perlindungan Konsumen, dan Tertib Niaga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Ia menghimbau kepada masyarakat untuk membelanjakan uangnya di dalam negeri saja, karena ia membidik masyarakat yang pergi umroh ternyata masih mampu memborong produk-produk yang dijual di Arab Saudi.
Pendapat Nailul Huda seorang ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), lebih mengerucut lagi tentang fenomena 'rojali' ini, yaitu ia beranggapan bahwa meski pendapatan menurun, masyarakat tetap membutuhkan 'hiburan' dan hal itu mereka dapatkan dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan (yang ternyata) tanpa membeli produk di sana (Kompas.com, 23/7/2025).
KAPITALISME ADALAH AKAR PERMASALAHAN
Ketua Dewan Pertimbangan KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, Arsjad Rasjid menyatakan pada diskusi yang bertajuk "Driving Inclusive Growth: Innovation, Industrialization and Energy Transition for Job Creation" di Universitas Paramadina pada Minggu (20/7/2025) lalu, ia berpendapat bahwa saat ini daya beli masyarakat terus menurun dan jika situasi tersebut dibiarkan, ekonomi Indonesia akan terancam, bukan hanya stagnan, tapi bisa mengalami perlambatan lebih dalam. Selain daya beli yang melemah, ia menilai masalah ketenagakerjaan juga rapuh, dengan jumlah pengangguran di negeri ini yang masih tinggi yaitu di angka 7,28 juta (detikfinance, 20/7/2025).
Dalam rubriknya yang tayang pada 21 April 2025, redaksi muslimahnews.net menyatakan bahwa ada banyak faktor penyebab turunnya daya beli masyarakat Indonesia, faktor-faktor tersebut adalah inflasi, pelemahan nilai tukar rupiah, penurunan pendapatan riil masyarakat, pemutusan hubungan kerja, pengangguran, kenaikan pajak, biaya hidup yang meningkat serta kebijakan pemerintah (yang tidak populis).
Faktor-faktor pencetus menurunnya daya beli tersebut pada dasarnya berakar dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem inilah yang menjadi 'lahan subur' bagi tumbuhnya permasalahan-permasalahan tersebut.
Sistem ekonomi kapitalis mengandung banyak kelemahan yang mampu merusak tatanan kehidupan, seperti:
Pertama, ia hanya berfokus kepada pertumbuhan ekonomi dan bukan kepada pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Contohnya seperti pada laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019 menyebutkan bahwa 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Hal itu berarti hanya segelintir orang yang mampu merasakan kesejahteraan, sedangkan sebagian yang lain harus 'gigit jari' atau hidup dalam kemelaratan.
Kedua, ia membebaskan kepemilikan atas apapun, sehingga berakibat penguasaan tanpa batas oleh pemilik modal (baik asing maupun pribumi), yang seharusnya itu wajib dikelola negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Akibat hal itu rakyat kesulitan untuk mengakses kebutuhan pokok, contohnya adalah adanya privatisasi air alias rakyat harus membeli air baik untuk konsumsi maupun kebutuhan sehari-hari dengan harga yang tidak murah.
Ketiga, ia memposisikan negara hanya sebagai regulator dan bukan pengurus rakyat. Aturan yang dibuat penguasa sering kali berpihak kepada pemilik modal. Bahkan cenderung kekuasaan itu ada di tangan oligarki. Contoh nyata adalah tetap disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja meski ditolak rakyat, karena dalam sistem ini kepentingan pengusaha akan selalu dikedepankan.
Keempat, ia tidak bersandar kepada sistem moneter emas dan perak tetapi kepada Fiat Money (uang kertas), sehingga sistem keuangannya rapuh dan tidak stabil. Pencetakan uang yang tidak didukung cadangan emas akan menyebabkan penurunan nilai mata uang atau inflasi. Inflasi inilah yang secara langsung menurunkan daya beli masyarakat dari waktu ke waktu.
ISLAM SOLUSI KESTABILAN EKONOMI
Islam memiliki konsep yang sangat khas, yang jauh berbeda dengan sistem Kapitalis maupun Komunis. Di mana dalam Islam, negara mempunyai peran sebagai penanggungjawab penuh urusan rakyatnya. Ia berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya sampai rakyat merasakan pemerataan kesejahteraan.
Ada mekanisme khusus dalam Islam untuk menjamin tingkat stabilitas daya beli rakyat, yaitu:
Pertama, ia wajib menjamin kebutuhan rakyat seperti sistem pendidikan, kesehatan dan keamanan sebaik-baiknya, bahkan wajib 'membuang' diskriminasi kemampuan ekonomi dari masing-masing rakyatnya.
Kedua, ia wajib untuk mengupayakan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dewasa agar dapat memenuhi kebutuhan seluruh tanggungannya. Apabila kepala keluarga tidak memiliki kemampuan bekerja (seperti sakit atau cacat), setelah benar-benar dicari penanggung nafkah dari pihak keluarga yang lain ternyata memang tidak ada, maka negara wajib menanggungnya.
Ketiga, ia akan mengatur tidak ada monopoli atau dominasi kepemilikan pihak swasta atau asing dalam aktivitas ekonomi.
Keempat, ia akan berbasis emas dan perak sehingga sistem perekonomiannya stabil, bebas dari inflasi maupun krisis ekonomi.
Contoh kestabilan ini terdapat dalam sebuah hadis berikut:
Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami. Ia berkata, “Saya mendengar penduduk bercerita tentang Urwah, bahwa Nabi Muhammad saw. memberikan uang 1 dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau.”
(HR Bukhari)
Hadis di atas menunjukkan bahwa di masa Rasulullah harga seekor kambing adalah 1 dinar. Saat ini (tahun 2025) uang 1 dinar bernilai sekitar Rp 5 juta. Seekor kambing sehat saat ini juga berharga sekitar Rp 5 juta. Itu berarti di masa Islam tegak, dengan sistem mata uang emas dan perak ada kestabilan ekonomi dengan tidak terjadinya penurunan nilai mata uang (inflasi).
Sudah saatnya, kaum muslimin mengambil Islam tidak hanya secara ritual saja, tetapi wajib secara keseluruhan (kaffah), baik sistem ekonominya, sistem sosialnya, sistem politiknya (dengan memperjuangkan kembali Khilafah Islamiyah) dan lain sebagainya, agar terwujud kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Wallahu'alam bishshowwab
Posting Komentar