Sengketa Rebutan Pulau, Ironi Desentralisasi dan Ancaman Disintegrasi
Oleh : Alin Aldini, S.S., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Sengketa memanas setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 pada April 2025. Keputusan ini menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut). Pemerintah Aceh memprotes keputusan tersebut karena menganggap keempat pulau itu bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Reaksi keras muncul di masyarakat Aceh. Banyak yang merasa keputusan pusat mencederai keistimewaan Aceh dan semangat perdamaian yang dibangun sejak Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 2005. Narasi kehilangan wilayah menjadi isu sensitif yang memunculkan kekecewaan dan kemarahan (Kompas.id, 14 Juni 2025)
Julukan Aceh sebagai ‘Serambi Mekah’ memang bukanlah hanya sekadar nama, sejarah panjang dalam hal perdamaian khususnya menorehkan tinta kelam sebelum adanya otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat pasca reformasi.
Ancaman disintegrasi (pemisahan diri) untuk merdeka pun kembali muncul. Kalau bukan karena pemerintah pusat yang memiliki kepentingan politik/kekuasaan, siapa lagi yang membuka luka lama kembali menyala ini? Bukankah seharusnya, adanya otonomi daerah khusus ini mencerminkan simbol persatuan atau perdamaian yang diperjuangkan bahkan dikorbankan oleh masyarakat Aceh yang rela mengubur impiannya merdeka?
Wilayah perairan di sekitar empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, diperkirakan kaya akan cadangan minyak dan gas bumi. Gubernur Bobby bahkan mengajak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh berkolaborasi guna mengelola potensi sumber daya alam empat pulau tersebut (Tempo.co, 13/6/2025).
Jika benar adanya kolaborasi dan atau kerja sama dalam mengelola kekayaan alam bersama, lalu mengapa pulau-pulau yang bahkan belum berpenghuni tersebut seakan menjadi rebutan, sekalipun memang tidak bisa disebut sebagai pencurian lahan? Kalau memang bisa dikelola bersama, mengapa masih butuh pengakuan hukum secara tertulis dari pusat yang memperkuat kepemilikan umum seolah bisa menjadi kepemilikan individu?
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan, Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini "cacat formil" karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya (Kompas.com, 15/6/2025).
Pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumut mengundang perdebatan, apalagi adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut. Ini adalah salah satu persoalan yang muncul ketika pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan sistem otonomi daerah (Otda). Otonomi Daerah (OTDa) sendiri lahir dalam rahim sistem kapitalisme yang hanya mementingkan kepentingan demi materi/uang, konsep politik demokrasi sekuler-kapitalis pun lahir dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan yang jelas sudah busuk sejak awal kelahirannya.
Hak otonomi membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh pada daerah dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu wajar jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu rebutan wilayah. Terkhusus di wilayah-wilayah otonomi khusus seperti Aceh dan Papua, yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah khusus yang dihadapi daerah tersebut, seperti konflik sosial, ketertinggalan pembangunan, atau menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem desentralisasi/otonomi ini juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) tinggi. Perbedaan Tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi (memerdekakan wilayah sendiri).
Meskipun Islam menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralisasi secara kekuasaan, namun secara administrasi Islam menerapkan sistem desentralisasi yang lebih sederhana, tidak rumit, dan tidak bertele-tele. Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah, apalagi sumber daya alam, tentu tidak ada lagi perbedaan mana provinsi kaya dan mana provinsi miskin, pemerataan kekayaan akan dijalankan sesuai syara. Semua dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat seluruh wilayah, karena ketakwaan para pejabat mulai dari pusat hingga daerah mematikan orang-orang yang berusaha ‘mensejahterakan’ keluarganya saja. Islam bukanlah keluarga cendana ataupun dinasti Jawa yang membuat koloninya sendiri untuk memonopoli kekuasaan.
Islam memiliki sistem yang sempurna tanpa harus ‘mengubah atau mengutak-atik’ hukum, bahkan mensupremasi hukum-hukum yang sudah disepakati bersama, menjauhkan sifat-sifat tamak manusia yang gersang akan kemampuan mengelola negara, tidak hanya perkara usia atau keturunan.
Islam akan membina masyarakat agar mampu berpikir kritis terhadap kezaliman penguasa, jika itu terjadi. Karena sistem Islam justru akan membuat manusia takut, jika duduk di kursi kekuasaan karena setiap apa yang diputuskannya akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya.[]
Posting Komentar