Vaksin TBC M72, Antara Harapan Kesehatan dan Tanggung Jawab Penguasa
Oleh : Salma Syahidah Nurromadhona
(Aktivis Mahasiswi Surabaya)
Pada 7 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan Pendiri Microsoft sekaligus pendiri The Gates Foundation, Bill Gates, di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia menjadi salah satu lokasi uji coba klinis fase III vaksin Tuberkulosis (TBC) generasi baru bernama M72 [TEMPO.CO, Jakarta, 11-05-25].
Selain Indonesia, India dan beberapa negara Afrika seperti Afrika Selatan, Kenya, Malawi, dan Zambia juga menjadi tempat uji coba vaksin ini. Di Indonesia, prosesnya dilakukan oleh para ilmuwan lokal bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran dan Universitas Indonesia. Uji coba fase III melibatkan sekitar 20 ribu relawan di lima negara, dengan harapan vaksin ini dapat memberikan perlindungan lebih baik terhadap penyakit TBC yang hingga kini masih menjadi beban kesehatan masyarakat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa vaksin ini direncanakan siap diproduksi massal pada akhir 2028 oleh Biofarma [kumparanNEWS.com, 8-05-25], dengan harapan bisa menyelamatkan ratusan ribu jiwa setiap tahunnya. TBC sendiri merupakan penyakit menular pembunuh nomor satu di Indonesia, dengan angka kematian mencapai hampir 100 ribu orang per tahun.
Namun, di balik antusiasme akan manfaat vaksin baru ini, sejumlah epidemiolog dan tokoh masyarakat menyampaikan kekhawatiran. Salah satunya adalah minimnya sosialisasi dan transparansi informasi kepada publik mengenai tahapan uji coba dan potensi risiko jangka panjang.
Apa yang Perlu Diwaspadai?
Sejumlah ahli menyayangkan bahwa uji coba vaksin TBC M72 langsung dilakukan ke manusia tanpa melalui evaluasi cukup mendalam terkait efek jangka panjangnya. Beberapa pakar biologi menyatakan bahwa vaksin seharusnya tidak langsung diujicobakan ke manusia, melainkan harus melalui masa pengamatan hingga lima tahun untuk memastikan keamanannya.
Selain itu, meski disebut bahwa peserta uji coba bersifat sukarela dan telah mendapat penjelasan lengkap, masih sedikitnya sosialisasi ke masyarakat luas menjadi sorotan tersendiri. Bagaimana mungkin partisipasi publik bisa optimal jika informasi tidak tersebar secara transparan? Dan apakah semua tahapan uji coba benar-benar telah memenuhi standar etika medis dan keselamatan jiwa?
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Tjandra Yoga Aditama, menyatakan bahwa seluruh uji klinik dilakukan dengan protokol ketat dan persetujuan dari komite etika. Namun, tetap saja, banyak masyarakat awam yang merasa belum mendapat gambaran utuh soal vaksin ini—termasuk bagaimana mekanisme kerja, potensi efek samping, hingga dampaknya dalam jangka panjang.
Perspektif Ilmu Pengetahuan: Pentingnya Evaluasi Jangka Panjang
Dari sisi ilmu pengetahuan, uji klinik vaksin biasanya terdiri dari empat fase. Fase I dan II digunakan untuk menguji dosis aman dan efek samping awal, sementara fase III bertujuan untuk menguji efektivitas vaksin pada populasi besar. Baru setelah itu, fase IV dilakukan sebagai pemantauan lanjutan pasca vaksin digunakan secara luas.
Ilmuwan biologi menegaskan bahwa vaksin tidak boleh langsung diuji ke manusia tanpa tahapan penelitian yang cukup, termasuk pengujian pada hewan dan simulasi laboratorium. Lebih dari itu, mereka menjelaskan waktu pengembangan vaksin pada umumnya memakan waktu 5 hingga 10 tahun, dan terkadang lebih lama, untuk menilai apakah vaksin tersebut aman dan berkhasiat dalam uji klinis, menyelesaikan proses persetujuan regulasi, dan memproduksi dosis vaksin dalam jumlah yang cukup untuk didistribusikan secara luas.
Jika vaksin diberikan secara terburu-buru, bukan tidak mungkin akan timbul risiko yang baru terlihat setelah bertahun-tahun kemudian—risiko yang bisa berimbas kepada puluhan juta nyawa.
Solusi dalam Pandangan Islam: Tanggung Jawab Penguasa Sebagai "Ra’in"
Dalam pandangan Islam, penguasa bukan hanya sekadar pejabat atau politisi. Ia adalah ra’in, seorang penggembala yang bertanggung jawab atas setiap jiwa yang berada di bawah kepemimpinannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Dengan demikian, sangat penting bagi penguasa untuk menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan pernah khawatir karena ada lubang di jalanan yang belum diperbaiki, takut seekor keledai tersandung dan celaka. Lantas bagaimana jika hari ini, ratusan ribu jiwa bisa terancam akibat uji coba vaksin yang tidak transparan?
Konsep ri'ayah sun'il ummah dalam Islam mengajarkan bahwa penguasa wajib memastikan kesejahteraan rakyatnya. Ini termasuk dalam aspek kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan hidup. Bahkan dalam sistem Khilafah Islam, penguasa tidak dibenarkan mengambil kebijakan yang membahayakan rakyat demi prestise atau tekanan internasional.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Islam adalah agama yang menyayangi seluruh alam semesta. Bukan hanya manusia, tapi juga hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan, termasuk uji coba vaksin, harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan berlandaskan prinsip maslahat serta tidak membahayakan (dharar).
Penutup: Seruan untuk Kesadaran Umat
Sebagai umat Islam, kita tidak boleh pasif terhadap kebijakan yang berpotensi membahayakan. Kita harus bangkit, menyuarakan kebenaran, dan mengingatkan para penguasa agar kembali pada prinsip ri'ayah sun'il ummah — menjaga kesejahteraan umat. Karena sesungguhnya, langkah seorang pemimpin tidak akan sampai ke surga jika rakyatnya tertindas, kelaparan, atau dibahayakan.
Posting Komentar