-->

Akar Masalah Sistem Pendidikan Indonesia yang Tak Berujung

Oleh : Henise

Di tengah hingar bingar pembangunan dan modernisasi, Indonesia masih menyimpan bom waktu dalam dunia pendidikan. Setiap tahun, kasus-kasus kekerasan di sekolah, pelecehan seksual, ketimpangan akses, dan jebakan komersialisasi pendidikan mencuat ke permukaan. Meski kurikulum terus berganti nama dan bentuk, esensinya tetap jauh dari harapan. Banyak pihak menilai pendidikan Indonesia krisis arah. Namun sedikit yang menyadari bahwa akar masalahnya bukan sekadar teknis, melainkan sistemik—bermuara pada paradigma sekuler kapitalistik yang menjadi fondasinya.

Pendidikan di Indonesia saat ini dibangun di atas asas sekularisme—memisahkan nilai agama dari kehidupan publik. Tujuan pendidikan nasional yang seharusnya membentuk manusia beriman dan berakhlak mulia kerap hanya menjadi jargon. Dalam praktiknya, pendidikan lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Lulusan didorong untuk menjadi “tenaga kerja siap pakai” yang tunduk pada pasar kerja, bukan pemikir atau pemimpin yang membawa perubahan. Dengan paradigma seperti ini, tidak heran jika dunia pendidikan kehilangan ruhnya sebagai sarana pembentukan karakter dan peradaban.

Komersialisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang menguasai seluruh sektor kehidupan, termasuk pendidikan. Sekolah dan universitas menjadi institusi bisnis, bukan tempat mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Biaya pendidikan terus melonjak, bahkan di lembaga pendidikan negeri. Akibatnya, hanya yang mampu secara finansial yang bisa mengakses pendidikan berkualitas. Sementara mereka yang miskin, harus puas dengan fasilitas minim, guru seadanya, dan kurikulum yang tertinggal. Ketimpangan pendidikan pun menjadi wajah nyata ketidakadilan struktural.

Lebih dari itu, pendidikan hari ini juga gagal membendung arus pergaulan bebas, kekerasan antar siswa, hingga penyebaran narkoba. Di berbagai kota, kita mendengar berita siswa yang menikam guru, siswi yang hamil di luar nikah, hingga tawuran pelajar yang merenggut nyawa. Ini bukan sekadar kegagalan moral individu, tapi cermin dari sistem pendidikan yang tidak lagi menanamkan ketakwaan dan akhlak mulia sebagai pondasi. Saat agama dipinggirkan dari proses pembelajaran, maka anak-anak tumbuh tanpa panduan hidup yang benar.

Pemerintah berkali-kali mengganti kurikulum dengan dalih menyesuaikan zaman. Mulai dari KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Tapi perubahan ini sebatas kosmetik. Esensi sekuler tetap dipertahankan. Padahal, masalah mendasarnya adalah arah dan dasar pendidikan itu sendiri. Tanpa arah yang jelas—yakni membentuk manusia bertakwa, berilmu, dan bertanggung jawab dalam kehidupan—pendidikan hanya akan menghasilkan individu yang cerdas secara akademik tapi kosong secara spiritual dan moral.

Kondisi guru juga mencerminkan krisis pendidikan yang lebih dalam. Di satu sisi, guru dituntut profesional, berintegritas, dan adaptif. Di sisi lain, banyak guru honorer yang dibayar sangat rendah, bahkan di bawah UMR. Mereka dipaksa mengabdi dalam sistem yang tidak memberi penghargaan yang layak. Pendidikan menjadi beban, bukan panggilan. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita berharap pendidikan bisa membentuk generasi unggul?

Dalam Islam, pendidikan tidak dipisahkan dari peran agama. Bahkan, pendidikan adalah bagian integral dari syariat Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah), yaitu individu yang berpikir dan berperilaku berdasarkan akidah Islam. Ilmu pengetahuan bukan hanya alat untuk bekerja, tapi jalan untuk memahami dan mengabdi kepada Allah. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam tidak boleh dipisahkan dari pembentukan iman dan akhlak.

Negara Islam (Khilafah) memiliki tanggung jawab langsung dalam menjamin pendidikan rakyatnya. Pendidikan adalah kebutuhan pokok yang tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi wilayah atau kelas sosial. Negara juga wajib menyiapkan guru yang profesional, membangun infrastruktur pendidikan yang merata, dan menyediakan kurikulum yang sesuai dengan syariat Islam.

Pendidikan dalam sistem Islam dimulai dari pembentukan aqidah sejak dini. Anak-anak diajarkan mencintai Allah, Rasul, dan memahami Islam sebagai jalan hidup. Di tingkat menengah, mereka mulai belajar berbagai ilmu pengetahuan yang dibingkai dengan akidah Islam. Di tingkat lanjutan, mereka diarahkan untuk menjadi ulama, ilmuwan, dan pemimpin yang mampu memajukan peradaban Islam. Semua ini didesain bukan untuk sekadar mengejar pekerjaan, tapi untuk membangun masyarakat yang adil, berilmu, dan bertakwa.

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam melahirkan generasi gemilang seperti Imam Syafi’i, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan banyak lainnya yang bukan hanya menguasai ilmu syariat, tapi juga sains dan teknologi. Ini tidak terlepas dari sistem pendidikan Islam yang holistik, terarah, dan berpijak pada nilai-nilai wahyu. Bandingkan dengan pendidikan sekuler saat ini, yang hanya melahirkan lulusan yang bingung arah, rapuh iman, dan mudah menjadi budak sistem.

Indonesia saat ini berada di ambang krisis generasi. Jika pendidikan terus dibiarkan dalam kendali kapitalisme sekuler, maka kita hanya akan mewariskan kehancuran moral dan intelektual bagi anak cucu. Perubahan mendasar harus dilakukan. Bukan sekadar ganti kurikulum atau ganti menteri. Tapi ganti sistem yang menjadi akar masalah.

Hanya dengan kembali kepada sistem pendidikan Islam dalam bingkai Khilafah, umat Islam dapat membangun peradaban baru yang bermartabat. Pendidikan yang menjadikan anak-anak bukan hanya cerdas, tapi juga beriman dan bertanggung jawab terhadap dirinya, masyarakat, dan Tuhannya. Inilah solusi hakiki dari darurat pendidikan yang tengah melanda Indonesia hari ini.

Wallahu a'lam