Tambang Membawa Maslahah dengan Sistem Islam
Oleh : Siti Nurhalizah, M. Pd (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Raja Ampat, surga bahari dengan laut sebening kaca dan gugusan karang memukau, kini berdiri di tepi jurang kerusakan akibat industri pertambangan. Aktivitas industri ini bukan hanya mengancam ekosistem kawasan wisata berstatus global geopark ini, tetapi juga memicu polemik hukum dan lingkungan. Pulau-pulau kecil seperti Segetiga, KW, dan Manat, yang menurut UU No. 1 Tahun 2014 seharusnya terlindungi dari aktivitas tambang, justru menjadi sasaran eksploitasi. Setidaknya lima perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), bahkan beberapa memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), seperti PT GAG dan PT KW Sejahtera Mining.
Beberapa pelanggaran telah dilaporkan, mulai dari pembukaan lahan di luar wilayah izin, pencemaran laut akibat sedimentasi, hingga jebolnya kolam limbah tambang. Ini menunjukkan bahwa legalitas administratif tidak menjamin kepatuhan terhadap prinsip lingkungan. Dampaknya bukan hanya lingkungan rusak, tapi juga hak hidup masyarakat adat terampas. Mereka terusir dari tanah sendiri, kehilangan akses terhadap air bersih, dan terpapar penyakit akibat polusi tambang. Di daerah seperti Tanjung Priok, tempat pemurnian batu bara, masyarakat menghadapi kondisi lingkungan yang suram—tumbuhan menguning, udara kotor, dan penyakit kulit serta pernapasan yang meningkat.
Pemerintah beralasan bahwa penambangan ini adalah bagian dari program hilirisasi industri nasional, khususnya untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik. Namun, dalih ini dinilai problematik karena kebijakan tersebut acap kali mengabaikan aspek ekologis dan sosial. Indonesia cukup belajar dari proyek serupa sebelumnya, misalnya kerusakan ekologis di Morowali, Sulawesi Tengah, lebih dari 8.700 hektar hutan tropis hilang akibat tambang. Sungai-sungai keruh, udara sarat polusi logam, dan angka kemiskinan justru meningkat. Namun ironinya meski ekosistem telah terkorbankan, kemiskinan tetap menjamur. Menurut BPS, kemiskinan di Sulawesi Tenggara naik dari 11,27% (2022) menjadi 11,43% (2023), artinya terdapat 321,53 ribu penduduk miskin (sultra.bps.go.id, /2023/07/17).
Maka membahas Raja Ampat sejatinya bukan hanya soal tambang, tetapi soal arah pembangunan nasional. Apakah kita akan terus melanggengkan kebijakan demi pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keseimbangan lingkungan dan keadilan sosial? Atau berani mengambil jalan baru yang lebih adil dan berkelanjutan? Raja Ampat hanyalah satu dari banyak contoh tragis. Pulau Wawonii, Bunyu, dan Gebe telah lebih dulu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam. Sayangnya, tidak semua mendapatkan sorotan publik. Momentum viralnya kasus Raja Ampat melalui tagar #SaveRajaAmpat harus dijadikan pijakan untuk perlawanan yang lebih sistemik terhadap model pembangunan yang mengatasnamakan pertumbuhan tapi menyisakan kemiskinan.
Mengapa harus berupa perlawanan sistemik terhadap arah pembangunan, tidak sekedar mencabut IUP? Karena sejatinya masalah utama bukan sekadar pada izin tambang, melainkan pada sistem hukum dan paradigma pembangunan yang memungkinkan eksploitasi dilegalkan. Perubahan UU No. 27/2007 menjadi UU No. 1/2014, serta hadirnya skema HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir), membuka ruang hukum bagi perusahaan tambang beroperasi di wilayah pesisir dan pulau kecil. Tambang jadi sah, meski jelas merusak. Lebih jauh lagi, UU Minerba, UU Penanaman Modal Asing, hingga regulasi pertambangan lainnya, justru memberi jaminan legalitas jangka panjang pada korporasi. Izin 20 tahun yang bisa diperpanjang menjadi 40 tahun adalah bentuk nyata bagaimana kekayaan rakyat bisa dirampas dengan sah.
Model pembangunan semacam ini memperlihatkan wajah asli kapitalisme sumber daya alam: kekayaan rakyat dikapitalisasi, lingkungan dihancurkan, dan semuanya terlihat sah secara hukum. Ironi yang terjadi di Indonesia semakin tragis mengingat kebijakan kapitalistik di Indonesia justru diperdaya oleh para capital global, Indonesia belum menjadi negara industri, tapi sudah terjebak dalam deindustrialisasi. Kita belum bisa membuat baterai sendiri, tapi sudah sibuk menambang bahan bakunya untuk industri negara lain. Demikian potret negeri yang tunduk terhadap kapitalisme global, alih-alih sejahtera dan memberikan maslahat, justru sebaliknya masyarakat semakin sengsara, negara semakin mundur di kancah global, mudhorat tersebar ke berbagai aspek kehidupan.
Islam menawarkan solusi sistemik atas persoalan ini, sehingga pembangunan benar-benar mampu memberikan maslahat di tengah-tengah umat. Dalam Islam, sumber daya strategis seperti tambang adalah milik umum, bukan objek kapitalisasi. Hadis riwayat Abu Dawud menyebutkan bahwa manusia berserikat dalam air, api, dan padang rumput—yang dalam konteks hari ini mencakup energi dan mineral. Negara dalam Islam bukan fasilitator korporasi, tapi pelayan rakyat yang wajib menjaga dan mengelola kekayaan itu demi kesejahteraan umat.
Karena itulah, dalam naungan Khilafah Islamiyah, sektor pertambangan menjadi salah satu pilar penting pemasukan Baitul Mal, yang masuk dalam kelompok pendapatan kepemilikan umum. Kekayaan ini dikelola negara dengan penuh amanah, lalu hasilnya dialirkan agar dapat dirasakan keberkahannya oleh seluruh rakyat. Pos kepemilikan umum ini terpisah dari sumber pendapatan milik negara seperti fai, kharaj, dan jizyah, maupun dari sedekah (zakat). Sebab, pendistribusiannya memang diprioritaskan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, termasuk pembangunan fasilitas yang bisa dinikmati bersama. Karena itu, dana ini tidak boleh dialihkan untuk membangun kantor-kantor pemerintahan yang manfaatnya hanya terbatas pada segelintir kalangan.
Dengan demikian, pengelolaan tambang di bawah syariat Khilafah tak hanya sesuai tuntunan hukum Allah, tetapi juga menjamin hasil yang jauh lebih besar kembali kepada rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang kini bercokol: kekayaan tambang lebih banyak mengalir ke kantong para pemodal rakus, termasuk asing, sementara rakyat justru menanggung beban kerusakan dan nestapa.
Prinsip “la dharara wa la dhirara” juga jadi landasan bahwa aktivitas yang merusak, meski atas nama pembangunan, tetap tidak dibenarkan dalam Islam. Untuk mengukur seberapa besar kadar kemudharatan apakah setelah aktivitas tambang memungkinkan untuk diperbaiki seperti kondisi awal? berapa kadar penambangan yang diperbolehkan? Apakah apple to apple terhadap kemaslahatan yang didapatkan? Serta berbagai pertimbangan lingkungan dan aspek-aspek lainnya tentu negara mesti melibatkan peran ahli, bukan hanya mempertimbangkan aspek ekonomi apalagi sekedar pendapat pemilik modal.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa kerakusan bukan takdir. Ia adalah pilihan sistem. Selama kita bertahan dalam sistem kapitalisme, penderitaan akan terus menjadi warisan. Islam hadir bukan sekedar untuk mengatur pengelolaan tambang, tapi untuk mengganti paradigma. Dari sistem yang menjadikan bumi komoditas, ke sistem yang menjadikannya amanah.
Wallahua’lam bishowab
Posting Komentar