Utopia Kesejahteraan Buruh dalam Sistem Kapitalis
Oleh : Ummu Ghazi
Demo besar terjadi pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei 2025 di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Medan, Solo, Makassar, dan kota-kota besar lainnya. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal memperkirakan jumlah massa yang mengikuti aksi May Day se-Indonesia mencapai 1,2 juta orang. Mereka berasal dari berbagai aliansi buruh.
Di Jakarta, aksi diadakan di kompleks Monumen Nasional (Monas) dengan diikuti sekitar 200 ribu buruh dari Jabodetabek. Mereka menuntut enam hal, yaitu penghapusan sistem outsourcing, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), Revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, realisasi upah layak, pengesahan RUU Perampasan Aset untuk pemberantasan korupsi, dan Pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK).
Presiden RI Prabowo Subianto hadir dalam aksi tersebut. Ia didampingi sejumlah pejabat, yaitu Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri P2MI Abdul Kadir Karding, Ketua MPR RI Ahmad Muzani, Ketua DPR RI Puan Maharani, hingga Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.
Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional untuk mempelajari keadaan para buruh dan memberi nasihat kepada Presiden terkait UU yang merugikan buruh. Ia juga berjanji akan membentuk Satgas Mitigasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk melindungi para buruh yang terkena PHK dan menghapus sistem outsourcing. Untuk bisa menemui titik tengah bagi permasalahan buruh, ia akan mempertemukan perwakilan serikat buruh dengan pemimpin perusahaan.
sebagaimana diketahui, peringatan Hari Buruh Internasional berawal dari aksi unjuk rasa serikat buruh di AS pada 1 Mei 1886. Aksi ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya dan tidak jarang memakan korban jiwa. Oleh karenanya, pada Konferensi Internasional Sosialis 1889, ditetapkanlah 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Dengan demikian, hingga sekarang, perjuangan para pekerja sudah berjalan lebih dari 136 tahun. Akan tetapi, cita-cita mereka tampaknya tidak kunjung tiba. Terbukti, selebrasi tahunan tetap saja menyuarakan isu yang sama, yakni mereka ingin hidup layak sebagaimana seharusnya.
Masalahnya, problem kesejahteraan bukan hanya soal relasi kelompok buruh dengan para pengusaha. Nyatanya, beban hidup mereka pun tidak lebih baik dari rakyat seluruhnya. Kemiskinan bahkan menjadi potret bersama, sedangkan negara justru kerap menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyatnya.
Kebijakan negara meliberalisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi, juga kapitalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber-sumber ekonomi strategis, seperti listrik, BBM, air bersih, dan sejenisnya; jelas-jelas telah membuat rakyat, termasuk buruh, sulit mengakses dan harus membayar mahal kebutuhannya.
Ditambah dengan tingginya harga-harga sembako akibat pemerintahan yang hobi impor. Juga adanya berbagai jenis pungutan pajak yang membuat beban ekonomi rakyat makin bertambah berat. Kondisi ini memang tidak bisa dihindari akibat umat hidup dalam sistem kapitalisme yang destruktif dan eksploitatif. Sistem yang tegak di atas landasan sekularisme ini memang menjadikan pemilik modal sebagai sentral kekuasaan. Bahkan, kekuasaan beserta segala sumber daya strategis yang sejatinya milik rakyat, justru menjadi ajang bancakan bagi para pemilik modal.
Tidak heran jika penyelenggaraan negara diatur selayaknya sebuah perusahaan. Selain berorientasi keuntungan, kebijakan yang dikeluarkan pun sarat kepentingan para penguasa yang berkolaborasi dengan para pemilik modal.
Adapun pengurusan negara atas rakyat dalam sistem ini memang harus minimal. Bagi rakyat jelata, hidup sejahtera hanyalah utopia. Sampai kapan pun, nasib kaum buruh akan selalu berhadapan dengan kepentingan para pengusaha. Sedangkan negara, cenderung cuci tangan atas tugas utama menyejahterakan rakyatnya. Bahkan, dalam pemikiran pendek para penguasa, solusi mengatasi problem buruh justru dengan menggenjot investasi melalui memanjakan para pengusaha!
Konflik antara buruh dan pengusaha merupakan masalah abadi dalam sistem kapitalisme. Mengapa demikian? Karena kapitalisme menciptakan eksploitasi oleh pengusaha kapitalis terhadap kaum buruh sehingga tidak pernah ada titik temu di antara keduanya. Yang ada justru konflik tiada akhir.
Lantas, apakah ini memang problem yang tidak akan pernah selesai? Nyatanya tidak. Konflik perburuhan dalam skala massal tidak pernah ada dalam sistem Islam. Kalau konflik individual yang sifatnya kasuistik, bisa jadi ada, tetapi tidak marak.
Mesranya hubungan buruh dan pengusaha ini terwujud dalam sistem Islam karena Khilafah Islamiah berhasil mewujudkan keadilan sebagai hasil penerapan aturan dari Allah Swt.. Firman Allah Taala,
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al-Hadid: 25).
Keadilan tersebut tampak dari penempatan pengusaha dan pekerja dalam level yang sama, yaitu sama-sama sebagai hamba Allah Taala yang wajib taat pada syariat-Nya.
Dengan demikian, tidak ada “kastanisasi” antara pengusaha dan pekerja sebagaimana dalam kapitalisme yang memosisikan pengusaha pada level yang tinggi karena punya banyak materi (kekayaan) sehingga semua kemauannya dituruti. Sedangkan buruh dianggap rendah karena lemah secara materi (kekayaan) sehingga harus patuh pada kehendak pengusaha.
Dalam Islam, pengusaha dan pekerja terikat oleh satu kontrak (akad) yang adil dan bersifat saling rida di antara keduanya. Rida itu meliputi aspek upah, jam kerja, jenis pekerjaan, dll.. Ketika keduanya sepakat dan saling rida, barulah pekerjaan dilakukan. Dengan demikian, tidak ada pihak yang terpaksa dan terzalimi.
Sistem upah yang adil juga terwujud dalam sistem Islam. Seorang pekerja mendapatkan upah sesuai dengan manfaat yang ia berikan, bukan disesuaikan dengan kebutuhan minimum. Upah tersebut adalah hak pekerja dan wajib ditunaikan oleh pengusaha pada tanggal yang disepakati.
Upah pekerja akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan, dan papan. Sedangkan kebutuhan dasar komunal seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan oleh negara secara gratis. Untuk transportasi umum, Khilafah menyediakannya secara gratis atau murah.
Adapun para pekerja yang sudah bekerja maksimal, tetapi upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, negara akan turun tangan untuk membantu. Bantuan Khilafah bisa berupa pelatihan untuk meningkatkan keterampilannya, modal untuk wirausaha, atau santunan jika terkategori lemah.
Semua solusi ini akan menjadikan hubungan buruh dan pengusaha selalu harmonis. Jika pun ada konflik personal, Khilafah akan menyelesaikannya melalui pengadilan yang adil.
Wallahu a'lam Bisshowab
Posting Komentar