-->

QRIS ANCAM AMERIKA DAN PERTARUHAN KEDAULATAN NEGARA


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Pembayaran lewat QRIS sudah dikenal warga Indonesia, bahkan cukup familiar bagi pembayaran para pedagang kecil dan UMKM. Ternyata QRIS adalah produk anak bangsa yang sangat membanggakan, yang jadi ancaman bagi Amerika. Saat ini posisinya dipertaruhkan sebagai alat tekan perang dagang Amerika. Akankah Indonesia menyerah untuk mempertahankan kedaulatan negara lewat QRIS ini?

Metode pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ini sangat memudahkan aktivitas masyarakat sehari-hari. Tidak perlu bolak-balik ke anjungan tunai mandiri (ATM), metode pembayaran QRIS yang bisa melalui handphone sangat praktis. Sangat mudah diakses dan praktis bagi penjual dan pembeli, karena tidak repot membawa uang dan mencari kembalian (www.metrotv.com, Kamis 24 April 2025) (1). Pada 2019 silam, setahun setelah diluncurkannya QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dengan tujuan untuk menyatukan bermacam model pembayan online yang membuat bingung warga, QRIS menjadi idola warga Indonesia dalam bertransaksi.

Di balik kemudahan QRIS ini, ternyata menarik atensi dan memicu reaksi keras dari Amerika Serikat. Kenapa? Karena QRIS mengurangi dominasi negara mereka dalam urusan pembayaran digital. QRIS membuat warga bisa bertransaksi dengan cara yang lebih mudah tanpa harus tergantung pada sistem pembayaran asing, terutama oleh Mastercard dan Visa menjadi perusahaan yang mempertanyakan kebijakan ini (www.riauin.com, Rabu 30 April 2025) (2).

GPN menekankan dalam QRIS pemrosesan transaksi dalam negeri harus melalui perusahaan switching yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh investor dalam negeri. Hal ini menjadi kendala bagi Visa dan Mastercard, yang sebelumnya bisa langsung memproses transaksi nasabah Indonesia tetapi di Singapura, sekarang tidak bisa lagi langsung memproses transaksi pembayaran, karena harus menggandeng partner lokal. Kebijakan GPN ini menekan laba Mastercard dan Visa yang didapat dari fee kartu kredit yang keuntungannya sangat besar di market Indonesia. QRIS menantang dominasi mereka. Mereka merasa terancam. 

Maka tak heran menjadikan Amerika masalah QRIS ini sebagai salah satu peluru negoisasi sejak kebijakan perang dagang Trump diluncurkan. Kritik ini dimuat dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS. Mereka mengkritik kebijakan Bank Indonesia (BI) tentang QRIS ini. Amerika mempersoalkan tidak adanya keterlibatan pihak internasional, khususnya pelaku usaha asal Amerika (Mastercard dan Visa) dalam proses penyusunan kebijakan QRIS. 

Sangat khas kapitalisme apa yang dilakukan Amerika. Sebagai negara adidaya, dia akan memastikan semua negara di dunia di bawah kontrolnya. Dia akan berupaya mempertahankan dominasinya di seluruh bidang. Semua bermuara pada standar kapital, alias materi atau keuntungan. Tidak peduli itu akan menginjak harga diri dan kehormatan negara lain. Ini terlihat dari protes yang diajukan Amerika tentang QRIS. 

Sebuah protes yang aneh, tidak pada tempatnya. Bagaimana bisa regulasi domestik tentang sistem pembayaran nasional harus menyesuaikan dengan regulasi perusahaan-perusahaan Amerika? Bukankah seharusnya perusahaan-perusahaan itu yang siap menyesuaikan diri dengan aturan yang dibuat Indonesia, karena akan bermain di ranah Indonesia?

ini bukan sekadar soal perang dagang. Ini adalah babak baru dari imperialisme modern—bukan lewat senjata, tapi lewat sistem dan regulasi. QRIS ini penting, karena ini sebatas kemajuan teknologi karya anak bangsa, tapi juga soal kemandirian ekonomi. Karena dengan sistem pembayaran yang dikembangkan sendiri, Indonesia tidak lagi bergantung pada teknologi yang dikuasai oleh perusahaan asing. Ini adalah langkah besar menuju kedaulatan ekonomi, yang seharusnya didukung penuh oleh pemerintah.

Harusnya Indonesia memanfaatkan peluang ini untuk menguatkan posisi Indonesia di kancah global, bukan malah terlihat cemas dan terombang-ambing di tengah tekanan dari luar. Harus diwaspadai bahwa Amerika sedang menjajah ulang negara-negara dengan cara yang lebih halus namun jauh lebih berbahaya: lewat tekanan terhadap regulasi domestik, sistem pembayaran, kebijakan hilirisasi, bahkan urusan sertifikasi halal sekalipun.

Sedangkan di sisi lain, Cina mulai mengirimkan pesan ancaman terselubung: negara yang terlalu berpihak pada Amerika akan “menghadapi konsekuensinya”. Dalam bahasa diplomasi, ini berarti: “kalau kamu main dengan AS, jangan harap kami diam saja.” Indonesia seperti pelanduk yang berada di tengah pertarungan dua Gajah. 

Harusnya melihat alternatif lain untuk mencari jalan keluar akan hal ini, yang ada pada Islam. Islam bukan hanya sekedar agama seperti agama-agama ritual pada umumnya, tapi sebagai system hidup. Pasti solutif, karena berasal dari Allah SWT Sang Pencipta manusia. Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Termasuk masalah pengaturan masalah pembayaran digital yang masuk ruang lingkup kebijakan ekonomi, yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik sebuah negara. 

Maka hanya Khilafahlah yang mampu mewujudkan kemandirian politik berdasarkan Islam. Karena dalam Islam, negara berfungsi sebagai “Raa’in” alias pengurus, serta “Junnah” yaitu sebagai pelindung. Karena sebagai negara satu-satunya penerap syariah secara kafah, sebagai wujud konsekuensi iman pada Allah, sehingga akan maksimal keberkahan penerapan Syariahnya. Sesuai hadis Nabi :
"Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Ekonomi Islam akan mengatur sedemikian rupa berkaitan dengan teknis pembayaran yang tidak membebani rakyat. Dengan QRIS itu sudah menjadi solusi jitu sebagai bentuk pelayanan negara pada rakyat, yang tidak memberi tambahan beban pengeluaran biaya administrasi. Juga mempermudah rakyat serta praktis, sesuai konsep pelayanan yang diberikan Khilafah pada rakyat. QRIS wajib dipertahankan sebagai simbol kedaulatan negara. Karena Khilafah anti bergantung pada negara lain, anti ditekan dan didikte pihak asing. Ini karena Khilafah adalah sebuah negara berparadigma “Daulah Ulaa” atau negara adidaya, yang mempunyai kemandirian bersikap, karena bertanggung jawab menerapkan Islam secara menyeluruh di tengah kehidupan yang tidak boleh ditarik ulur aturannya sesuai kepentingan manusia.

Kebijakan politik ekonomi Khilafah juga akan meniadakan kemungkinan akan ditekan pihak asing dari perang dagang. Karena mau berapa pun negara lain akan meningkatkan pajak bagi komoditas yang diekspor Khilafah, tidak masalah. Karena komoditas tersebut akan dilempar ke negara lain. Bukan malah justru ketakutan karena ancaman naiknya pajak ekspor karena khawatir kehilangan pangsa pasar yang besar. Karena rizki berasal dari Allah. Pasti aka nada negara lain yang mau membeli komoditas ekspor kita. Bahkan yang rugi malah pihak negara pengimpor, karena rakyatnya tidak bisa mengonsumsi komoditas asal Khilafah yang mereka butuhkan. Maka ini akan menguatkan posisi tawar Khilafah, agar negara yang mengancam pperang dagang jadi mengurungkan niatnya. Seperti apa yang dilakukan Cina saat ini dalam menyikapi perang dagang Amerika.

Demikianlah kebijakan Khilafah dalam menyikapi ancaman Amerika terhadap QRIS sebagai karya anak bangsa yang membanggakan tapi beresiko dipolitisasi penguasa saat ini. Khilafah akan memberikan perlindungan hakiki bagi rakyatnya dalam seluruh aspek kehidupan tanpa terkecuali.

Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki :
(1) https://www.metrotvnews.com/play/kqYCYxoV-mengapa-qris-dan-gpn-dikritik-amerika-serikat?utm_source=share_desktop&utm_medium=share_whatsapp&utm_campaign=share
(2) https://www.riauin.com/read-45320-2025-04-30-kenapa-donald-trump-ketakutan-pada-qris.html