-->

Standar Kemiskinan Nasional, Manipulatif dan Tidak Rasional

Oleh : Ghooziyah

Di tengah maraknya berita tentang pertumbuhan ekonomi dan klaim penurunan angka kemiskinan, terselip satu pertanyaan besar: apakah standar kemiskinan yang digunakan negara benar-benar mencerminkan realitas hidup masyarakat? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional berada di kisaran Rp550.458 per bulan per orang (data 2023). Ini berarti, jika seseorang memiliki pengeluaran lebih dari jumlah tersebut, ia dianggap tidak miskin. Namun, angka ini justru menuai kritik tajam karena dianggap terlalu rendah dan tidak mencerminkan kebutuhan hidup yang layak.

Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa seseorang yang memiliki penghasilan sedikit di atas garis tersebut masih hidup dalam keterbatasan. Mereka sulit mengakses gizi seimbang, perawatan kesehatan, pendidikan bermutu, bahkan tempat tinggal yang layak. Maka wajar jika publik menilai bahwa standar ini manipulatif. Sebab, alih-alih mencerminkan kondisi riil rakyat, standar tersebut digunakan untuk pencitraan: agar pemerintah terlihat sukses menurunkan kemiskinan, padahal realitasnya rakyat tetap terjepit.

Dalam sistem kapitalisme, angka-angka statistik kerap dijadikan alat propaganda. Pemerintah berupaya membangun narasi keberhasilan melalui data yang diolah sedemikian rupa. Namun, keberhasilan di atas kertas tidak serta-merta menghadirkan keadilan sosial di tengah masyarakat. Kemiskinan bukan hanya soal angka, melainkan menyangkut derajat kemanusiaan: apakah rakyat bisa hidup dengan bermartabat atau tidak.

Sistem kapitalisme juga menjadikan ukuran kesejahteraan hanya berdasarkan ekonomi. Selama seseorang bisa mengonsumsi makanan senilai Rp18.000 per hari, ia dianggap sejahtera. Padahal, hidup layak tak hanya tentang makan, melainkan juga pendidikan yang mencerahkan, layanan kesehatan yang menyeluruh, dan lingkungan yang aman serta bersih. Sayangnya, standar-standar ini diabaikan, karena yang dihitung hanya angka-angka konsumsi dasar.

Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan negara dalam memahami tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat. Dalam sistem kapitalis, negara lebih bertindak sebagai regulator pasar, bukan pelindung rakyat. Ketimpangan dibiarkan, dan nasib rakyat miskin diserahkan kepada mekanisme pasar yang jelas-jelas tidak adil. Ketika rakyat miskin tidak mampu membeli kebutuhan dasar, negara hanya menanggapinya dengan bantuan sementara yang bersifat tambal sulam, seperti bansos atau program sembako murah. Padahal akar kemiskinan tidak diselesaikan.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kemiskinan secara menyeluruh, bukan sekadar dari sisi nominal pengeluaran. Dalam pandangan Islam, seorang dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Namun, Islam tidak berhenti di sana. Negara wajib memastikan setiap individu memiliki akses terhadap kebutuhan ini dengan cara yang terhormat: melalui distribusi kekayaan yang adil, bukan sekadar bantuan karitas.

Islam menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar adalah tanggung jawab negara. Khalifah sebagai kepala negara wajib menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh kebutuhan pokoknya secara layak. Jika individu tak mampu bekerja, negara yang wajib menjamin. Jika individu mampu bekerja tapi tidak mendapat pekerjaan, negara wajib menciptakan lapangan kerja atau menanggung kebutuhannya hingga ia mampu. Jadi, negara bukan sekadar pencatat statistik, melainkan pelayan rakyat sejati.

Islam juga mengatur distribusi kekayaan agar tidak menumpuk pada segelintir orang. Melalui zakat, pengelolaan kepemilikan umum (seperti SDA), dan larangan riba, sistem ekonomi Islam mencegah ketimpangan yang melahirkan kemiskinan struktural. Tak ada istilah subsidi untuk rakyat kecil, karena dalam Islam, rakyat berhak penuh atas kepemilikan umum seperti energi dan air. Negara wajib mengelola dan mendistribusikannya untuk kemaslahatan rakyat, bukan menyerahkan pada swasta untuk dikuasai demi profit.

Di masa Khilafah, banyak catatan sejarah menunjukkan bagaimana Islam berhasil menghapus kemiskinan secara nyata. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hampir tidak ditemukan orang miskin yang mau menerima zakat, karena semua kebutuhan telah terpenuhi. Ini bukan sekadar klaim statistik, tapi realitas yang dibangun dari sistem yang adil dan berkah.
Bandingkan dengan hari ini, ketika angka statistik dijadikan tameng untuk menutupi kegagalan sistemik. Pemerintah berbangga karena jumlah orang miskin turun, padahal jutaan lainnya masih bekerja keras untuk sekadar makan tiga kali sehari. Kemiskinan telah menjadi lingkaran setan, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, karena sistem yang diterapkan memang tidak berpihak pada keadilan.

Sudah saatnya publik menyadari bahwa selama standar kesejahteraan dibangun di atas kerangka kapitalisme, yang manipulatif dan tidak rasional, maka kemiskinan hanya akan menjadi permainan data. Solusi hakiki hanya akan datang jika sistem yang rusak ini diganti dengan sistem yang benar. Islam telah menawarkan sistem yang bukan hanya rasional, tetapi juga sesuai fitrah dan menjamin keadilan bagi seluruh rakyat.

Mengembalikan peran negara sebagai pelayan umat, bukan mitra kapital, adalah langkah awal. Dan itu hanya mungkin jika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai institusi yang sah, yaitu Khilafah. Dalam sistem ini, penguasa tidak sibuk menyenangkan investor, melainkan memastikan rakyat hidup dalam kehormatan. Maka, jika kemiskinan terus menggerogoti bangsa ini, saatnya kita bertanya: apakah kita akan terus percaya pada standar manipulatif, atau berani beralih kepada sistem yang benar-benar mensejahterakan manusia?

Wallahu a'lam