-->

Ekonomi Kapitalis, Boom Pengangguran adalah Kesalahan Sistemik

Oleh : Fathimah

Satu lagi dampak nyata dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis tampak dalam fenomena yang terus berulang: ledakan pengangguran. Setiap kali dunia menghadapi tekanan ekonomi, dari krisis global, pandemi, hingga resesi lokal, para buruh dan pekerja selalu menjadi korban pertama. PHK massal seolah menjadi solusi instan bagi perusahaan untuk menyelamatkan keuntungan, sementara nasib jutaan pencari nafkah terhempas begitu saja.

Boom pengangguran bukanlah sekadar dampak dari kebetulan atau kegagalan teknis. Ini adalah kesalahan sistemik yang lahir dari fondasi ekonomi kapitalisme itu sendiri. Sistem ini menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama, sementara kesejahteraan manusia dikesampingkan. Dalam logika kapitalisme, buruh hanyalah faktor produksi. Jika dianggap tidak efisien atau terlalu membebani biaya, maka bisa dengan mudah dipangkas. Inilah logika kejam yang menjadi akar dari ledakan pengangguran.

Di tengah situasi ekonomi yang tak menentu, perusahaan berlomba-lomba melakukan efisiensi. Mereka memecat karyawan dengan alasan "survival", meski sebagian tetap mencatatkan keuntungan. Mereka mengganti tenaga manusia dengan teknologi, bukan untuk meringankan pekerjaan manusia, tetapi untuk memangkas biaya tenaga kerja. Akibatnya, para pekerja kehilangan penghasilan, daya beli masyarakat menurun, dan roda ekonomi pun tersendat. Ini menciptakan siklus setan yang terus berputar: pengangguran menciptakan kemiskinan, kemiskinan menurunkan konsumsi, konsumsi yang turun membuat ekonomi melambat, dan perusahaan kembali melakukan PHK.

Lebih parah lagi, sistem kapitalisme juga membiarkan pasar tenaga kerja dikendalikan oleh hukum penawaran dan permintaan. Negara hanya bertindak sebagai fasilitator dan regulator, bukan penjamin lapangan kerja. Jika lapangan kerja tersedia, rakyat bersaing memperebutkannya. Jika tidak ada, maka dianggap sebagai risiko pribadi. Negara lepas tangan, dan rakyat dibiarkan menghadapi kenyataan pahit sendirian.

Pendidikan dalam sistem ini juga tidak diarahkan untuk menjamin pekerjaan. Lulusan sarjana, diploma, bahkan magister, banyak yang menganggur karena dunia kerja tidak butuh mereka. Ini membuktikan bahwa antara dunia pendidikan dan pasar tenaga kerja tidak ada integrasi yang adil. Pendidikan hanya menjadi pabrik pencetak tenaga kerja, bukan institusi pembentuk manusia visioner yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara itu, pelatihan-pelatihan wirausaha dan program UMKM yang digembar-gemborkan pemerintah sering kali menjadi solusi semu. Tidak semua orang cocok menjadi pengusaha, apalagi dalam sistem yang penuh persaingan dan monopoli oleh korporasi besar. Mereka yang dipaksa “mandiri” dengan modal minim justru terjerumus dalam lingkaran utang, atau bisnis kecil yang tak mampu bertahan lama. Bukannya menciptakan lapangan kerja, program ini malah memindahkan beban negara ke pundak rakyat kecil.

Dalam sistem ekonomi Islam, pengangguran bukan hanya dilihat sebagai masalah sosial, tapi juga sebagai masalah sistemik yang wajib diselesaikan negara. Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dengan prinsip ini, negara wajib menciptakan lapangan kerja atau memberikan jaminan hidup bagi mereka yang tidak mampu bekerja.

Negara dalam sistem Islam tidak hanya mengandalkan sektor privat untuk menyediakan lapangan kerja. Negara mengelola sumber daya alam secara langsung, dan hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif, termasuk membuka lapangan kerja di sektor publik. Tanah-tanah mati didistribusikan kepada rakyat untuk digarap, dan industri-industri strategis dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Semua ini bukan hanya menciptakan pekerjaan, tapi juga menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil.

Islam juga memiliki pandangan yang adil terhadap tenaga kerja. Buruh bukanlah komoditas yang bisa dibeli murah. Mereka diposisikan sebagai mitra kerja yang harus dipenuhi hak-haknya, termasuk upah yang layak, jam kerja manusiawi, dan jaminan sosial. Negara hadir bukan sebagai wasit pasif, tetapi sebagai pelindung aktif bagi rakyat, termasuk pekerja.

Sejarah mencatat, pada masa Khilafah Islam, pengangguran nyaris tidak terdengar sebagai masalah besar. Bahkan, dalam beberapa masa keemasan seperti era Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, negara mengalami surplus zakat karena tidak ada lagi yang mau menerima karena semua sudah tercukupi. Ini membuktikan bahwa jika sistemnya benar, maka pengangguran bisa diminimalkan secara signifikan.

Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pengangguran sebagai keniscayaan sistem, Islam menawarkan solusi menyeluruh. Solusi ini bukan tambal sulam, tapi perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap ekonomi dan peran negara. Dalam Islam, ekonomi tidak semata soal angka pertumbuhan, tapi tentang distribusi kesejahteraan yang adil dan berkah.

Saat ini, ledakan pengangguran yang terus berulang seharusnya menjadi alarm besar bagi bangsa ini. Sampai kapan rakyat dibiarkan menjadi korban sistem yang rusak? Sampai kapan pemerintah hanya menjadi penonton pasar, bukan pelindung rakyat? Boom pengangguran adalah bukti nyata bahwa kapitalisme telah gagal menyejahterakan manusia.

Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi hakiki hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam institusi negara. Sebuah sistem yang berpihak pada rakyat, bukan korporasi. Sebuah sistem yang menjamin pekerjaan bukan sekadar demi angka statistik, tetapi demi harkat dan martabat manusia. Dan itu hanya mungkin dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam