Sistem Pendidikan Kapitalisme: Rusak dan Merusak Generasi Islam
Oleh : Henise
Di balik gedung-gedung sekolah yang megah, kurikulum yang terus diperbarui, dan jargon-jargon pendidikan abad 21, tersembunyi kenyataan pahit. Sistem pendidikan yang diterapkan hari ini tidak sedang mencetak generasi mulia, melainkan tengah menciptakan krisis peradaban. Dunia pendidikan di bawah sistem kapitalisme telah kehilangan arah sejatinya. Ia tak lagi menjadi sarana mencetak manusia beradab, berilmu, dan bertakwa, tetapi hanya menjadi alat industri mencetak tenaga kerja siap pakai, yang orientasinya hanyalah materi dan prestise duniawi.
Anak-anak diajari sejak dini untuk bersaing, bukan bekerja sama. Mereka didorong mengejar angka-angka, bukan akhlak. Keberhasilan pendidikan diukur dari seberapa banyak nilai A, sertifikat, gelar, atau ranking yang bisa dikoleksi. Sementara karakter, kejujuran, empati, dan kepedulian sosial terpinggirkan. Pendidikan kapitalisme memang tidak dirancang untuk membentuk manusia seutuhnya, melainkan manusia yang 'berguna' secara ekonomi.
Kurikulum disusun mengikuti logika pasar. Bidang studi yang dianggap tidak produktif secara ekonomi, seperti fiqh, sejarah Islam, atau ilmu keislaman, dipinggirkan. Sementara ilmu-ilmu yang dapat mendukung kapital industri seperti teknologi, bisnis, dan manajemen dijadikan primadona. Inilah wajah pendidikan kapitalis, tidak untuk membina manusia menjadi hamba Allah yang taat dan khalifah di muka bumi, tetapi sekadar menjadi alat produksi yang patuh terhadap pasar.
Rusaknya sistem pendidikan kapitalisme tak hanya tampak dari arah kurikulumnya, tetapi juga dari lingkungannya. Di dalam sekolah dan kampus, marak terjadi bullying, kekerasan seksual, pelecehan, bahkan pergaulan bebas. Kasus siswi hamil di luar nikah, pemerkosaan oleh sesama pelajar atau bahkan guru, hingga penggunaan narkoba di kalangan mahasiswa, menjadi fenomena yang makin akrab terdengar. Sayangnya, penyelesaian yang diambil sering kali hanya bersifat semu. Seperti tes kehamilan, sosialisasi, atau sekadar pemindahan guru. Akar masalahnya tidak disentuh.
Pendidikan sekuler telah mencabut nilai-nilai agama dari sistem pengajaran. Akibatnya, peserta didik tidak menjadikan halal-haram sebagai standar perilaku, melainkan hanya takut pada aturan, kamera pengawas, atau opini publik. Ketika tidak ada yang melihat, pelanggaran pun terjadi tanpa rasa bersalah. Lebih parah lagi, sistem ini menanamkan kebebasan berpikir dan berperilaku yang kebablasan. Remaja dianggap berhak “mencoba” segala hal demi pencarian jati diri, termasuk dalam urusan seksual. Inilah akibat pendidikan yang lepas dari wahyu.
Tak hanya itu, pendidikan kapitalis juga memperparah kesenjangan sosial. Biaya pendidikan yang terus melonjak membuat hanya kalangan tertentu yang bisa mengakses pendidikan bermutu. Sementara anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan sekolah seadanya, fasilitas terbatas, bahkan tak jarang putus sekolah. Meski pemerintah mencanangkan pendidikan gratis, kenyataannya pungutan tetap ada, dan pendidikan yang benar-benar berkualitas hanya bisa dibeli. Inilah wajah asli kapitalisme: membiarkan yang kaya semakin unggul, dan yang miskin tertinggal.
Ironisnya, dunia pendidikan justru ikut melanggengkan paham-paham Barat seperti feminisme, liberalisme, hingga LGBTQ+. Atas nama toleransi dan kebebasan, kampus menjadi ruang aman untuk gagasan-gagasan destruktif terhadap moral dan nilai Islam. Bahkan, lembaga-lembaga pendidikan Islam pun banyak yang terjebak mengikuti arus ini, karena ingin “diakui” dalam standar modern.
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang dibangun di atas landasan aqidah Islam. Dalam Islam, tujuan pendidikan bukanlah mencetak buruh industri, melainkan membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam: pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang berdasarkan Islam. Ilmu dipelajari bukan untuk sekadar mencari nafkah, tetapi sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab sebagai khalifah fil ardh.
Kurikulum dalam pendidikan Islam disusun berdasarkan syariat, bukan kepentingan pasar. Ilmu-ilmu Islam seperti fiqih, sirah, tafsir, dan bahasa Arab menjadi dasar utama. Ilmu sains dan teknologi tetap diajarkan, tetapi dengan pemahaman bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus digunakan sesuai hukum-Nya. Dengan pendekatan ini, peserta didik tumbuh menjadi ilmuwan yang bertakwa, bukan sekadar teknokrat yang haus keuntungan.
Dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak seluruh warga negara, tidak tergantung kaya atau miskin. Negara Khilafah menjamin pendidikan gratis hingga jenjang tertinggi. Negara juga menyediakan guru berkualitas, kurikulum sahih, serta suasana pendidikan yang islami. Tujuannya bukan sekadar mencetak cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Keberhasilan pendidikan Islam bukan sekadar klaim. Dalam sejarah, sistem pendidikan Islam telah melahirkan generasi ulama, ilmuwan, dan pemimpin dunia. Nama-nama seperti Imam Syafi’i, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Shalahuddin Al-Ayyubi adalah bukti nyata keberhasilan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Mereka bukan hanya ahli di bidangnya, tetapi juga pejuang kebenaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat.
Inilah yang hari ini sangat dirindukan. Generasi yang paham tujuan hidupnya, yang berilmu sekaligus berakhlak, yang siap memimpin dunia bukan dengan hawa nafsu atau logika pasar, tetapi dengan panduan wahyu. Dan semua itu tidak mungkin lahir dari sistem pendidikan kapitalis yang rusak ini. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan pendidikan bermutu, bermoral, dan membentuk generasi terbaik umat.
Kini saatnya umat Islam menyadari kerusakan sistem pendidikan sekuler-kapitalistik. Sudah cukup kita melihat kehancuran moral generasi, komersialisasi ilmu, dan penyingkiran agama dari ruang-ruang belajar. Sudah waktunya kita kembali kepada sistem Islam, sistem yang menyelamatkan akal dan akhlak anak-anak kita, sekaligus membangun peradaban yang mulia dan berkemajuan.
Wallahu a'lam
Posting Komentar