Scan Retina Demi Uang? Ketika Tubuh Manusia Jadi Komoditas Kapitalisme Digital
Oleh : Selvi Sri Wahyuni M.Pd
Mata adalah jendela jiwa, tapi di era kapitalisme digital, ia tak lebih dari barcode untuk cuan.
Beberapa waktu terakhir, jagat maya geger dengan antrean panjang warga yang rela matanya discan demi imbalan sejumlah koin digital. Proyek ini bernama Worldcoin, dipelopori oleh Sam Altmanbos OpenAI yang mengklaim ingin menciptakan identitas digital global berbasis biometrik retina. Di Indonesia, antusiasme yang luar biasa mengalahkan nalar kritis. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Scan Retina: Jebakan Canggih Kapitalisme Digital
Scan retina bukan sekadar alat verifikasi identitas. Ia menyimpan data biometrik paling unik dan sensitif dari tubuh manusia. Begitu datamu masuk ke server, ia bukan milikmu lagi. Ia menjadi "aset digital" yang bisa ditukar, dijual, disimpan, dimanipulasi bahkan digunakan untuk mengendalikan akses terhadap dunia digital di masa depan.
Kapitalisme hari ini tidak hanya menjual barang, tapi telah menjual data, kesadaran, bahkan identitas manusia itu sendiri.Proyek-proyek seperti Worldcoin dibalut jargon futuristik seperti "inovasi", "inklusivitas", dan "demokratisasi ekonomi". Padahal di balik itu, tersembunyi agenda: mengontrol manusia lewat data.
Uang Recehan untuk Data Miliaran Dolar
Warga diminta menyerahkan identitas mata data seumur hidup dengan imbalan recehan koin digital yang nilainya belum tentu stabil. Ini bukan transaksi adil, ini penipuan sistemik. Data yang dikumpulkan bisa dijual ke perusahaan, lembaga intelijen, atau bahkan rejim penguasa digital.
Dan lebih miris lagi: ini terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana literasi data rendah dan pemerintah seakan diam, bahkan bangga dijadikan pion proyek global.
Di Mana Negara? Di Mana Islam?
Dalam Islam, tubuh manusia adalah amanah dari Allah, bukan milik korporasi. Menjual bagian tubuh (termasuk datanya) untuk keuntungan finansial adalah pengkhianatan terhadap kehormatan manusia.Negara seharusnya melindungi rakyat dari eksploitasi model baru ini, bukan malah memfasilitasinya.
Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, negara justru menjadi pelayan korporasi besar menjadi jembatan antara rakyat yang polos dan pebisnis global yang rakus.
Islam memandang perlindungan data sebagai bagian dari himayah (perlindungan jiwa dan kehormatan). Dalam Daulah Islam (Khilafah), negara tidak akan mengizinkan penjajahan data oleh entitas asing, apalagi dengan dalih "kemanusiaan berbasis blockchain".
Saat manusia rela menukar matanya dengan recehan digital, sesungguhnya kita sedang memasuki fase baru dari kolonialisasi: bukan lagi tanah yang dijajah, tapi kesadaran, tubuh, dan hakikat manusia itu sendiri. Kapitalisme digital adalah wajah baru penjajahan yang tak berbaju senjata, tapi berbaju teknologi dan UX design yang menggoda.
Maka, umat Islam harus sadar hanya sistem Islam yang akan mengembalikan martabat manusia sebagai hamba, bukan sebagai objek bisnis global.Jangan tunggu sampai mata kita tak sekadar discan, tapi dikendalikan.
Posting Komentar