-->

Rencana Pembangunan Perkotaan, Bentuk Pengendalian Kapitalisme Melalui Agenda Global


Oleh : Fadhilah Nur Syamsi (Aktivis Muslimah)

Indonesia berkomitmen kuat untuk mengikuti dan mengimplementasikan kesepakatan global, yaitu Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda –selanjutnya akan disebut NUA-) dan SDGs. NUA merupakan kesepakatan global yang tersusun atas banyak delegasi yaitu sekitar 140 negara, tak terkecuali Indonesia dalam rangka untuk mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (Sustainable Urbanization). Misi NUA yaitu berusaha mendorong aksi-aksi tingkat lokal dalam menghadapi tantangan pembangunan, terutama yang berkaitan dengan urbanisasi.

Sedangkan SDGs (Sustainable Development Goals) yang juga diprakarsai oleh PBB adalah poin-poin tujuan universal yang harus dicapai pada tahun 2030 oleh setiap negara yang berkomitmen. Pada tahun 2015 SDGs resmi menggantikan Millenium Development Goals yang dicanangkan pada tahun 2000. 
Dengan semboyan “Leave No One Behind”, SDGs memastikan publik dapat merasakan manfaat serta ikut andil dalam pembangunan yang berkelanjutan. NUA dan SDGs memiliki keterkaitan yang sangat erat, karena NUA sejatinya adalah penjabaran lebih lanjut dari tujuan-tujuan global yang tercantum dalam SDGs, khususnya Tujuan 11: Sustainable Cities and Communities. 

Motif Ekonomi dibalik NUA dan SDGs

NUA bermaksud men-drive pemerintah negara dan kota setempat agar mengikuti arah pembangunan yang sudah ditentukannya. Kota adalah faktor penentu perkembangan suatu kawasan serta prospek masa depannya. Proses urbanisasi yang merupakan fenomena alami sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat, memang tidak bisa dipungkiri.
Kenaikan laju urbanisasi ternyata berkontribusi terhadap peningkatan PDB. Urbanisasi yang terjadi saat ini adalah karena penerapan Kapitalisme dan bahwa perkotaan –yang terbentuk sebagai efek urbanisasi- harus dikelola sedemikian rupa karena menghasilkan profit (peningkatan PDB). 

Motif ekonomi juga tampak dari diluncurkannya MDGs –yang kemudian berubah menjadi SDGs-. MDGs sebagai produk inovatif terkini dan telah dijadikan mantra baru bagi proses pembangunan di negara berkembang hanyalah menjadi penegasan kemampuan hegemonik sistem kapitalisme dalam meredam dan mematahkan gerakan-gerakan perlawanan sosial. MDGs juga memposisikan ketergantungan dunia kepada negara-negara maju, Bank Dunia dan IMF. 

Perempuan didorong sedemikian rupa untuk menjadi kontributor penghasilan dalam keluarga, sementara pemerintah setempat “dipaksa” (melalui SDGs) untuk memberikan fasilitas dan menyediakan berbagai mekanisme pemberdayaan agar perempuan menghasilkan materi/uang. Keluarga pun kehilangan sosok Ibu bagi anak dan kehilangan sosok istri bagi suami. Keluarga menjadi rentan perpecahan dan generasi yang dihasilkan pun tumbuh menjadi generasi yang rapuh. Sementara itu, keluarga yang rapuh tersebut dihantam arus deras kebebasan yang membombardir masyarakat dari berbagai arah, kemudian menghantam keluarga yang lemah dan kosong dari pijakan ideologis. 

Di sisi lain, liberalisasi ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalisme sejatinya menjadikan kapitalis pemilik modal korporasi raksasa, bisa menguasai berbagai sumber kekayaan alam dan energi di suatu negara. Sumber kekayaan alam dan energi yang seharusnya dikelola oleh negara untuk membuat berbagai fasilitas dan mekanisme untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya, justru dikeruk oleh para kapitalis. Akibatnya, kemiskinan akan selalu ada dan tidak pernah terselesaikan dalam sistem ekonomi Kapitalisme. 

Gambaran Pembangunan Kota dalam Khilafah

Pembangunan infrastruktur kota dalam Khilafah telah terbukti berjalan dengan sangat baik. Kota Baghdad maupun Cordoba pada zaman nya merupakan kota-kota yang tertata sangat apik. Memiliki saluran sanitasi pembuangan kotoran yang didesain berada di bawah tanah sehingga jalan-jalan bebas dari kotoran, serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita yang membuatnya rawan terjadi kejahatan. Sejak tahun 950 M, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Sementara Paris baru dua ratus tahun kemudian (tahun 1185) berhasil meniru Cordoba. 

Disaat kekhilafahan dalam masa kegemilangan, negara mengembangkan teknologi dalam bidang perkapalan. Memproduksi berbagai jenis kapal/perahu, mulai dari tipe perahu cadik kecil hingga kapal dagang dengan kapasitas lebih dari 1000 ton. Selain itu negara khilafah juga memproduksi kapal perang untuk 1500 orang. Diketahui Al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis kapal yang digunakan pada abad-abad sesudahnya sesuai teknologi yang ada pada saat itu. Selain itu, kaum muslimin juga memuliakan berbagai jenis kuda dan juga unta yang kuat dan tangguh dalam menempuh perjalanan. Sementara Khilafah Utsmaniyah secara berkesinambungan masih mengembangkan infrastruktur jenis tersebut. Namun, pada saat German menemukan jenis transportasi baru (kereta Api), khalifah segera memerintahkan untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.

Proyek “Hejaz Railway” adalah proyek yang dicanangkan oleh Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1900. Kota-kota yang dilintasi oleh jalur kereta api ini adalah Istanbul hingga ke Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem, dan Madinah. Di Damaskus jalur kereta api ini terhubung dengan “Baghdad Railway”. 
Inilah gambaran singkat mengenai pembangunan perkotaan yang ada dalam negara Islam khilafah. Pembangunan menitikberatkan pada asas kemaslahatan umat, bukan untuk mencari cuan. Banyaknya kebaikan dan keunggulan yang bisa kita peroleh seandainya kehidupan dalam khilafah diwujudkan kembali. Wallahu’alam bissawab.[]