PRIHATIN MISKINNYA LITERASI
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Memprihatinkan sekali. Masyarakat miskin literasi alias mempunyai kemampuan membaca yang rendah. Padahal lancar membaca kunci dari peningkatan kecerdasan dan keilmuan.
Beredar video siswa SMP dan SMA yang tidak mampu melakukan perhitungan dasar (www.detik.com, Rabu 9 April 2025) (1). Hal ini sejalan dengan rendahnya skor literasi Indonesia dalam penilaian PISA. PISA atau Program for International Student Assessment di tahun 2022 mencatat, skor literasi membaca Indonesia hanya 359; jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 476 dalam lingkup ASEAN Indonesia tertinggal dari Singapura, Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Thailand (www.tempo.com, 8 Desember 2023) (2).
Hal ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan di negara kita. Ini karena negara kita berkiblat pada kapitalisme pendidikan. Kapitalisme dibangun dengan asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini membuat pendidikan tidak berlandaskan keimanan.
Pendidikan kapitalistik hanya sebagai transfer ilmu pelajaran untuk meraih prestasi akademis, bukan untuk menimba ilmu untuk mengarungi kehidupan. Hanya diarahkan untuk meraih nilai-nilai materi berupa prestasi ijazah untuk bekerja dan sebagainya. Inilah yang sering membuat anak-anak tertekan sehingga memicu stress dan depresi, yang menimbulkan sakit mental yang kian marak.
Media sosial (medsos) saat ini menjadi ajang kebebasan. Di dalamnya marak tayangan yang melenakan tanpa harus dituntut berpikir keras. Tak ada benteng keimanan. Anak-anak akhirnya memilih bermedsos daripada harus belajar maupun membaca. Sistem pendidikan kapitalisme sekuler telah menggiring generasi pada kualitas literasi level terendah.
Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan menuntut penunaian kewajiban yang maksimal pada guru dan orang tua, atau membatasi ponsel di lingkungan sekolah seperti yang dikatakan oleh pemerintah. Namun masalah ini harus diselesaikan dari dasar sistem pendidikan, yaitu mencari sistem pendidikan alternatif yang terbukti mampu menghasilkan generasi berkualitas. Satu-satunya sistem pendidikan yang bisa memenuhi target itu hanyalah sistem pendidikan Islam yang diterapkan oleh negara Islam Daulah Khilafah.
Sistem pendidikan Islam dibangun berdasar akidah Islam. Anak-anak diarahkan untuk mencari ilmu agar menjadi orang yang beriman dan berilmu. Banyak dalam ayat Al-Qur’an ataupun hadis yang mendorong akan hal ini. Seperti dalam Al-Quran surah at-Taubah ayat 11.
“Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.
Juga dalam surah Al-Alaq ayat 1.
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang menyusuri sebuah jalan demi mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga.”
(HR Muslim).
Ketika Rasulullah selaku kepala negara Daulah Islam di Madinah, beliau pernah membuat kebijakan kepada kafir Quraisy yang menjadi tawanan perang Badar bahwa tebusan bagi mereka bisa dengan mengajari kaum muslimin baca tulis.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan af’al atau perbuatan Rasulullah, seorang ulama politikus sekaligus amir ketiga partai politik Islam ideologis Hizbut Tahrir Syekh At bin Khalil dalam kitabnya Usus At-Taklim Al-Khilafah menjelaskan, dasar kurikulum wajib memperhatikan dua hal, yakni :
Pertama. Pendidikan diarahkan untuk membangun kepribadian Islami, pola pikir atau akliah, dan jiwa atau nafsiah bagi generasi.
Kedua pendidikan, diarahkan untuk mempersiapkan generasi, agar di antara mereka ada yang menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan. Baik ilmu-ilmu keislaman seperti ijtihad, fikih, peradilan, dan lain-lain; maupun ilmu-ilmu terapan yakni teknik, kimia, fisika, kedokteran dan lain-lain.
Dengan kurikulum sistem pendidikan yang seperti ini, anak-anak tidak mungkin menjadi generasi yang lemah literasi atau bahkan belum lancar membaca. Justru yang ada, mereka akan menjadi generasi yang haus ilmu perkembangan dan teknologi sebagai sebuah kewajaran.
Perkembangan zaman akan mereka manfaatkan dengan tepat. Semisal media sosial bisa digunakan sebagai pendukung pembelajaran. Di samping itu, pendidikan dalam Islam didukung melalui tiga pilar. Yakni orang tua yang mendidik anak-anak di rumah, masyarakat yang mendidik anak-anak dalam kehidupan umum dan negara yang menerapkan sistem pendidikan Islam.
Di lembaga pendidikan negara juga berperan dalam menyediakan pendidikan secara gratis. Sebab pendidikan termasuk salah satu kebutuhan dasar publik, sehingga tidak ada alasan anak-anak menjadi generasi yang minim baca. Terbukti tatkala Eropa masih dalam samudra kebodohan dan kegelapan, kaum muslimin telah mencapai ketinggian hidup.
Dengan ilmu mereka, literasi warga negara Khilafah saat itu lebih tinggi daripada Eropa. Hal itu dibuktikan dengan Perpustakaan umum Cordova di Andalusia memiliki lebih dari 400.000 buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan Al-Hakim di Andalusia memiliki 40 ruangan, yang di setiap ruangannya berisi lebih dari 18.000 judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Mesir mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Perpustakaan umum Tripoli di Syam mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah negara Khilafah.
Jadi jelas solusi tuntas untuk menyelesaikan masalah belum lancar membaca, bukan sekedar penggunaan ponsel dibatasi; namun harus menyentuh akar masalah. Yakni mengganti sistem pendidikan kapitalisme dengan sistem pendidikan Islam, yang ini hanya bisa diwujudkan dengan penerapan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah.
Catatan Kaki :
(1) https://www.detik.com/bali/berita/d-7861343/miris-ratusan-siswa-smp-di-buleleng-belum-bisa-membaca
(2) https://www.tempo.co/politik/skor-pisa-2022-turun-kemendikbud-bukan-cerminan-kualitas-pendidikan-indonesia-terkini-111034
Posting Komentar