-->

Pengaturan Rumah Layak Huni Dalam Islam


Oleh : Sumayyah

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan sebanyak 26,9 juta rumah di Indonesia masuk katagori tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Untuk menyelesaikan permasalah itu, pemerintah menargetkan dalam 1 tahun bisa membangun 3 juta rumah melalui program bedah rumah dengan menggandeng berbagai pihak termasuk swasta. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Tata Kelola dan Pengendalian Risiko Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Azis Andriansyah saat peresmian rumah sederhana layak huni yang digagas PT Djarum di Pendopo Kudus, Jawa Tengah. (beritasatu, 25/04/25)

Rumah merupakan kebutuhan pokok setiap orang yang seharusnya terpenuhi dengan baik. Fungsi rumah sebagai tempat tinggal, tempat melepaskan penat setelah lelah bekerja seharian, tempat bercengkerama dengan anggota keluarga, tempat menjalankan fungsi sosial, dan sebagainya. Tidak hanya itu, di sanalah generasi Islam mendapatkan tempat yang nyaman untuk bermain dan bersosialisasi, serta mendapatkan pendidikan yang terbaik. 

Mirisnya, tidak semua dapat merasakannya. Jangankan memiliki rumah, untuk mengontrak rumah saja banyak yang tidak mampu. Yang sudah memiliki rumah pun terkadang terkendala akibat rumahnya yang tidak layak, atap bocor, kayu kusen pintu atau jendela sudah rapuh/lapuk, dinding yang rembes air, serta berbagai masalah kerusakan rumah yang tidak mampu mereka atasi. Pasalnya, bukan tidak mau memperbaiki, melainkan harga bahan bangunan yang makin menjulang tinggi menyebabkan banyak tidak mampu membeli bahan bangunan untuk memperbaiki rumahnya yang rusak.

Problem perumahan layak huni adalah problem klasik yang belum ada solusi tuntasnya hingga hari ini. Problem ini terus terjadi karena orientasi pembangunan perumahan yang dilakukan negara bukan pada terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat, melainkan bisnis. Sekalipun pemerintah telah menyiapkan berbagai skema subsidi KPR (kredit kepemilikan rumah), tetap saja rumah bersubsidi yang dikatakan “murah” tersebut tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat.

Negara dalam sistem sekuler kapitalisme memang bukan didesain untuk melayani kepentingan rakyat, melainkan melayani kepentingan oligarki. Di dalam sistem ini, negara didesain hanya sebagai regulator yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan pengusaha, serta mencegah konflik antara keduanya. Faktanya, yang dimaksud “mencegah konflik” itu adalah dengan cara negara untuk lebih mengedepankan kepentingan pengusaha daripada rakyatnya.

Ini terjadi karena telah terbentuk relasi antara pengusaha dan rezim pemegang kekuasaan, bahkan sebagian dari pengusaha itu yang kemudian menjadi penguasa. Mahalnya ongkos demokrasi membuat siapa pun yang ingin berkuasa harus memiliki modal besar. Kucuran modal para pengusaha adalah stimulus bagi calon pemegang kekuasaan. Rezim yang sudah berkuasa kemudian harus membalas budi kepada pemilik modal dengan mengeluarkan serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuluskan bisnis-bisnis mereka.

Tentu saja hal ini berpengaruh pada tumbuh kembang generasi. Mereka terpaksa harus tinggal di pemukiman kumuh dan harus siap dengan berbagai ancaman, mulai dari penyakit fisik hingga penyakit sosial, seperti pergaulan bebas, pelecehan seksual, dan sebagainya. Sungguh miris. Itu semua akibat abainya penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Seandainya negeri ini diatur dengan hukum Allah, tentu semua itu tidak akan terjadi. 

Sistem kapitalis yang kufur memang tidak sebanding dengan sistem Islam yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat dengan cara yang diridai Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam Islam terdapat dua aspek yang memudahkan masyarakat mendapatkan rumah yaitu mekanisme pemenuhan rumah yang sesuai dengan hukum Islam serta regulasi Islam dan kebijakan kepala negara (khalifah) yang sangat kondusif

Pemenuhan kebutuhan rumah yang sesuai dengan sistem Islam tidak lepas dari peran Khalifah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh dalam tata kelola perumahan sehingga memfasilitasi setiap orang untuk mampu memenuhi kebutuhan perumahan. Terkait upaya negara dalam penyediaan rumah bagi masyarakat, kebijakan yang diberlakukan oleh Khalifah kepada masyarakat untuk memudahkannya memliki rumah antara lain larangan menelantarkan tanah, pengelolaan harta milik umum, dan akad properti syariah.

Negara berhak memberikan tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut oleh pemiliknya kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Rasulullah bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanah itu diambil”. (HR. Bukhari).

Mekanisme pelarangan penelantaran tanah, penarikan tanah terlantar dan pemberiannya diatur oleh negara. Individu rakyat tidak boleh serta-merta main serobot sendiri sehingga akan memicu perselisihan, persengketaan, dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Harta milik umum yang dimaksud adalah sumber air, hutan, bahan bakar, sarana umum (jalan, kereta api, saluran air, dan sebagainya) dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas. Pemanfaatan harta milik umum secara langsung maupun tidak langsung akan memudahkan masyarakat memiliki rumah.

Disamping itu, negara juga harus mengolah barang tambang untuk menghasilkan besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian, individu rakyat mudah menggunakan dan memperolehnya dengan harga terjangkau dan negara harus mengontrol pemanfaatannya agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan.

Penerapan syariah akan menegasikan semua akad bisnis properti yang batil, seperti meniadakan bunga, denda, asuransi, akad ganda, kepemilikan tidak sempurna, serta segala macam persyaratan adminitrasi dan birokasi yang menyulitkan dan berbiaya. Dengan penerapan sistem Islam, maka hadirnya para pengembang syariah akan mendukung rakyat memiliki rumah yang layak. Pada akhirnya keberadaan developer properti akan semakin menyempurnakan fungsi negara dalam menjamin pemenuhan perumahan rakyat.

Selain tiga kebijakan tersebut, terdapat juga kebijakan terkait ihya, tahjir, iqtha’ dan tanah ash-shawafi yang merupakan rangkaian kebijakan sistem Islam yang diatur oleh Khalifah. Ketika kebijakan sistem pemerintahan Islam yang meniscayakan distribusi pembangunan berlaku secara merata, pembangunan dan sumber-sumber ekonomi tidak terkonsentrasi di titik-titik tertentu saja. Dengan begitu, permukiman ideal bagi rakyat bukan sekadar impian di masa depan. Rumah masa depan terwujud, rakyat pun dapat hidup sejahtera. Wallahualam bissawab.