Pendidikan Hak Seluruh Rakyat? Atau Hak yang Ekonomi Baik-baik Saja?
Oleh : Andi Qurratu Aini - Mahasiswi
Negara mana pun yang mengabaikan kualitas pendidikan rakyatnya akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketimpangan, karena krisis pembelajaran adalah krisis moral dan ekonomi. (World Bank, 2018)
Tahukah anda, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, bahwa ketimpangan dalam akses pendidikan saat ini terlihat begitu mencolok? Hanya 1 dari 10 orang Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Meski 30,85% penduduk berusia 15 tahun keatas memiliki ijazah SMA, namun mayoritas sebesar 47,51% terjebak di level SD dan SMP, dan 1 dari 10 pula (11,44%) tidak pernah sekolah atau tidak memiliki ijazah formal (Kompas, 2025).
Disparitas yang mencengangkan. Anak Jakarta rata-rata bersekolah 11,5 tahun atau hampir lulus SMA, sementara di Papua Pegunungan hanya 5,1 tahun atau tidak tamat SD. Sementara secara global 264 juta anak dan remaja usia sekolah tidak bersekolah (UNESCO, 2020) dan jutaan anak di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) Indonesia, kesulitan menjangkau sekolah dasar gratis sekalipun (Setneg, 2025).
Ironi gap yang memprihatikan, akses pendidikan ternyata tidak dapat disentuh oleh semua kalangan. Di tengah tuntutan “cerdas” dan menjadi SDM berkualitas, lalu mengapa sistem justru menjadikan pendidikan sebagai hal yang eksklusif?. “Tidak setiap orang lah, yang pantas (sesuai persyaratan) dan yang mau saja”. Ya, itulah salah satu paradigma racun bahwa pendidikan adalah komoditas mahal dan tidak wajib. Padahal sektor pendidikan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi dan dinikmati “setiap” orang.
Pendidikan Jadi Barang Dagangan
Pendidikan dikelola sebagai bisnis adalah mutlak dalam sistem kapitalis. Akibatnya, biaya sekolah swasta melambung, sementara kualitas sekolah negeri atau sekolah gratis kerap tidak sebanding. Adapun program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), pun terbatas hanya untuk segelintir orang (eligible), sehingga belum mampu menyelesaikan akar masalah ketimpangan akses untuk diperoleh semua anak. Selama akar masalahnya adalah sistem kapitalisme yang neoliberal, pendidikan memang tetap akan menjadi barang elit.
Belum lagi kurikulum yang didesain untuk mencetak tenaga kerja murah, bukan membangun kecerdasan holistik. Alih-alih memerdekakan pikiran, pendidikan justru terjebak dalam logika pasar. Efisiensi anggaran pendidikan juga memperparah kondisi. Dimana sarana prasarana minim, guru honorer digaji rendah, dan fasilitas belajar di pedalaman nyaris tak layak (MetroTV, 2025).
Perubahan Paradigma, Bukan Sekadar Perbaikan Teknis
Paradigma bahwa negara harus hadir sebagai “pelayan rakyat”, bukan abdi pasar jelas dalam Islam. Khilafah (negara yang menerapkan hukum Islam secara totalitas diseluruh aspek dan sektor) misalnya, tidak membiarkan swasta mendominasi pendidikan, karena mereka mampu. Negara bertanggung jawab penuh atas kurikulum (agar tsaqofah terjaga dari kontaminasi yang merusak aqidah), juga terhadap kesejahteraan dan kualitas guru.
Menurut penelitian Hanushek & Woessmann (2015) peningkatan kognitif siswa (melalui kualitas pembelajaran dan kurikulum) berdampak lebih besar pada pertumbuhan negara daripada sekadar membangun sekolah banyak dan gratis tanpa memperbaiki kualitas pengajaran. Bukan mencetak buruh murah, tetapi membangun generasi berilmu, bertakwa, dan terampil dalam sistem Islam, telah lama diterapkan.
Negara juga memastikan bahwa hak ini benar-benar terpenuhi di seluruh penjuru negeri. Infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan (saran pra-sarana) adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara, sehingga tidak ada anak yang putus sekolah karena ketiadaan sekolah di daerah terpencil.
Gerbong Peradaban Bernama Pendidikan
Pada masa peradaban Islam, jejak pendidikan sangat mentereng dan diakui sebagai pendidikan terbaik di pentas global. Pendidikan dipandang hak dasar tanpa pandang status ekonomi. Negara membangun 300+ sekolah tinggi dengan fasilitas lengkap mulai asrama mahasiswa, taman rekreasi, hingga dapur umum sehingga tidak ada alasan "tidak mampu sekolah", karena tersedia secara gratis, merata, dan berkualitas.
Bayangkan sebuah sistem pendidikan yang 100% gratis—dari SD hingga perguruan tinggi—dengan kurikulum yang mencetak genius sekaligus berakhlak mulia. kurikulumnya fokus pada pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) yang memadukan sains, akidah, dan karakter dalam satu paket utuh. Inilah warisan nyata Kekhilafahan Islam yang melahirkan ribuan ilmuwan seperti Al-Khawarizmi (bapak aljabar) dan Ibnu Sina (bapak kedokteran modern) bahkan 72% penemuan sains modern abad pertengahan lahir dari tangan muslim, sebuah bukti bahwa sistem ini bukan utopis, tapi pernah terwujud secara nyata.
Sumber pendanaan pendidikan juga stabil, berasal dari Baitul Mal, seperti pos fai', kharaj, dan pengelolaan kepemilikan umum (hutan, tambang, migas) yang dikelola negara (atau bantuan swasta dengan syarat) untuk kemaslahatan rakyat tanpa pungutan (pajak) kecuali dalam kondisi darurat. Bukan malah membiarkan 50% aset nasionalnya dikuasai oleh 1% oligarki (Buletin Kaffah, Edisi 392, 2025). Dengan ini infrastrukturnya merata hingga pelosok, dari perpustakaan megah seperti Baghdad House of Wisdom hingga laboratorium canggih di Universitas Nizhamiyah yang menjadi benchmark dunia abad ke-9.
Inilah model pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan. Jika sistem islam dimasa dahulu (yang menurut anda kuno) berhasil mencetak peradaban emas selama 1.300 tahun, mengapa dunia modern justru terjebak dalam disparitas pendidikan yang kian melebar?
Kita memang melihat individu-individu dengan semangat juang dalam merubah nasib, dan Allah SWT bukakan jalannya, namun tidak sedikit yang harus hancur berkeping-keping pengharapannya, sama sekali tidak memiliki dan melihat jalan karena kabut tebal sistem yang dzalim. Sudah saatnya menolak kapitalisasi pendidikan dan beralih ke sistem yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai hak semua orang, bukan sekadar komoditas yang diperjualbelikan.
Wallahu A'lam Bisshowwab
Posting Komentar