Perang Tarif AS, Hipokrit Kapitalisme
Oleh : Ida Nurchayati
“Make America Great Again” slogan kampanye yang mengantarkan Donald Trump ke tampuk kekuasaaan dalam Pilpres 2024 di AS. Trump mewujudkan janjinya, salah satunya dengan membuat kebijakan menaikkan tarif impor baru sebesar 10 persen pada hampir semua barang impor yang masuk ke AS pada 2 April 2025. Selain itu, Trump juga memberlakukan “Tarif Timbal Balik” yang lebih tinggi sebagai balasan terhadap beberapa mitra dagang termasuk Indonesia. Tarif tambahan juga diterapkan bagi sejumlah negara yang dianggap memiliki surplus perdagangan dengan AS. Tarifnya bervariasi, misal Indonesia 32 persen, Vietnam 46 persen, China 32 persen dam Uni Eropa 20 persen.
Hal ini memicu reaksi keras dari berbagai negara dan menimbulkan gejolak di pasar global. Beberapa mitra dagang AS memilih negosiasi hingga Trump menunda hingga 90 hari kedepan. China melawan, terakhir negara tersebut menetapkan 125 persen tarif impor ke AS, sebaliknya China menghadapi tarif sebesar 245 persen (kompas.com, 16/4/2025).
Latar Belakang Kenaikan Tarif Impor
Beberapa dekade terakhir, AS mengalami defisit neraca perdagangan. Ekonom Wijayanto Samirin menilai Trump sedang putus asa dengan kondisi fiskal Amerika sehingga menerapkan tarif tinggi ke seluruh negara untuk menyelamatkan fiskal AS. Segala cara dilakukan Trump untuk menarik tambahan pemasukan.
Tarif merupakan bagian utama visi ekonomi Trump karena mendorong konsumen AS untuk membeli lebih banyak produk buatan AS sehingga meningkatkan perekonomian negara dan pajak. Trump juga ingin memperkecil defisit neraca perdagangan. AS merupakan negara dengan defisit perdagangan terbesar di dunia, mencapai US$ 1,13 triliun pada tahun 2024.
Strategi China
Ketika AS mengeluhkan defisit perdagangan dengan China sejatinya negara-negara di Asia dan Eropa mengalami hal yang sama, termasuk Indonesia. Pada tahun 2006, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih surplus. Mulai 2007 mengalami defisit, sejak Indonesia menandatangani Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) tahun 2008. Pasar Indonesia diserbu produk-produk dari China. Sayangnya, bahan yang diekspor Indonesia ke China adalah barang mentah dan setengah jadi seperti batu bara dan nikel, diolah di China dan sebagian diekspor kembali ke Indonesia.
Keberhasilan China menjadi negara eksportir terbesar di dunia bukan tanpa strategi. Namun strategi yang dilakukan China dianggap sering melanggar prinsip perdagangan bebas. China menerapkan politik dumping atas produk-produk ekspornya. China juga cerdik memanfaatkan WTO, meskipun sudah menjadi anggota WTO sejak 2001, namun negara China tidak menelan bulat-bulat berbagai rekomendasi lembaga tersebut. China memanfaatkan liberalisasi untuk membuka pasar ekspornya. Pada saat yang sama, China sangat ketat memproteksi arus masuk barang, jasa dan investasi ke negaranya, sehingga pasar domestik tetap dikuasai oleh perusahaan-perusahaan lokal.
China juga dianggap deskriminatif terhadap investor asing, namun bagi China langkah itu bertujuan untuk meningkatkan daya saing negara tersebut dari para kompetitornya.
China juga dituding memberikan subsidi yang sangat besar untuk perusahaan-perusahaan domestik, khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masih mendominasi beberapa sektor ekonomi seperti energi dan perbankan. Subsidi menjadi salah satu penopang performa perusahaan-perusahaan eksportir China, terutama yang padat modal dan berada di provinsi pesisir China. Kesungguhan China memajukan negaranya terlihat dari besarnya anggaran riset dan pengembangan (R&D). Besarnya anggaran mencapai US$ 479 miliar atau 2,1 persen dari PDB-nya, hampir menyaingi AS yang mencapai US$ 554 miliar.
Imbas bagi Indonesia
Indonesia merupakan negara berkembang dengan ekonomi terbuka sangat bergantung pada hubungan dagang internasional. Ekspor merupakan pilar utama perekonomian Indonesia. Data BPS (2025) menunjukkan sektor ekspor Indonesia sangat menunjang perekomian negara, yakni menyumbang hampir 20 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Maka perekonomian domestik sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan tarif impor AS.
Direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menyatakan kebijakan perang tarif AS bisa memicu resesi ekonomi pada kuartal IV 2025. Terlebih, AS merupakan salah satu mitra dagang utama dan salah satu tujuan ekspor terbesar Indonesia. Penerapan tarif resiprokal sebesar 32 persen oleh AS akan membawa tekanan besar terhadap Indonesia. Kebijakan ini akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia di pasar AS karena harga barang menjadi lebih mahal. Akibatnya, permintaan produk Indonesia khususnya dari sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki dan furnitur diperkirakan bakal melemah. Hal ini berpotensi mengganggu neraca perdagangan internasionalnya.
Menurunnya permintaan dari AS berimplikasi terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam negeri. Kondisi ini memperparah sebelumnya, dimana banyak perusahaan tekstil dan garmen tutup karena serbuan produk impor, terutama China. Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan Indonesia akan menghadapi gelombang kedua PHK akibat kebijakan Trump ini. Ia memperkirakan gelombang kedua PHK ini dapat mencapai lebih dari 50 ribu buruh dalam tiga bulan setelah kebijakan tarif barang AS diterapkan.
Tidak seperti China, menghadapi kebijakan agresif Trump, Indonesia memilih jalur negosiasi untuk meminimalisir dampak ekonomi bagi negara dan rakyatnya. Indonesia memilih mengintensifkan pendekatan diplomatik melalui forum multilateral seperti G-20 untuk menekan dan merundingkan kembali ketentuan perdagangan global.
Hipokrit Kapitalisme
Selama puluhan tahun, AS berdiri sebagai pilar liberalisasi perdagangan global. Melalui Bretton Woods, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), AS mendorong dunia untuk membuka diri atas nama efisiensi, kompetisi terbuka, dan pertumbuhan ekonomi bersama. Lahirlah NAFTA (North AmericanFree Trade Agreement), CHAFTA (China-Australia Free Trade Agreement) dan sejenisnya.
Namun, kebijakan tarif Trump tampak hipokrit karena tidak selaras dengan spirit kapitalisme global yang membuka keran perdagangan internasional tanpa hambatan tarif. Trump berdalih perang tarif untuk melindungi industri dalam negeri, padahal proteksionisme bertentangan dengan prinsip kapitalisme yang mengusung konsep pasar bebas tanpa campur tangan negara.
Kebijakan ambigu yang tidak bisa dihindari, muncul dari negara adidaya kapitalis yang tengah menghegemoni dunia. AS menampakkan wajah asli kapitalisme, dan akan melakukan apapun agar tetap mengendalikan ekonomi global.
Kebijakan kenaikan tarif impor menggeser liberalisasi perdagangan menuju era proteksionisme, bukan hal yang aneh dalam sistem kapitalisme. Demi menjaga kepentingan nasional AS, terjadi pergeseran dari multilateral menjadi unilateral, dari corporate capitalism menjadi state capitalism . Kebijakan yang akan menimbulkan ketidakpastian serta krisis ekonomi global.
Peluang Sistem Politik Ekonomi Islam
Ketika dua ekor gajah bertarung, pelanduk mati ditengah, seperti itulah nasib Umat Islam saat ini. Menghadapi tarif dagang yang ditetapkan AS, tidak ada satupun negeri muslim yang berani berhadapan untuk melawan AS sebagaimana China. Umat Islam hanya menjadi penonton bahkan menjadi korban perang dagang yang memunculkan dua kompetitor besar, AS dan China. Padahal Umat Islam memiliki potensi yang sangat besar baik aspek demografi, potensi sumber daya ekonomi, wilayah yang strategis sebagai jalur perdagangan internasional, dan yang paling utama Mabda Islam sebagai solusi problematika kehidupan.
Secara yuridis maupun historis, tabiat Umat Islam menjadi gajah, namun sayang potensi umat terpecah dalam garis imajiner nasionalisme ciptaan penjajah kafir barat. Untuk mengembalikan muslim first, Islam first, maka umat harus kembali pada habitatnya, menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Institusi yang akan menyatukan seluruh potensi umat Islam menjadi kekuatan tak terkalahkan.
Khilafah akan menerapkan sistem politik ekonomi Islam yang memiliki keunggulan, paling tidak dalam dua hal. Pertama, sistem moneter Islam sangat jelas, berbasis emas dan perak sebagai mata uang yang riil nilai intrinsiknya, yakni dinar dan dirham. Emas dan perak digunakan karena perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya; nilainya stabil dan tidak mudah mengalami goncangan; tidak bisa dicetak semaunya; anti manipulasi. Kedua, sistem ekonomi Islam menetapkan transaksi perdagangan pada sektor riil. Sektor non riil seperti perbankan, pasar modal dan reksa dana akan dihapuskan. Islam juga melarang riba, pajak dan spekulasi. Dengan dua keunggulan ini saja, Khilafah akan menjadi negara berdaulat dan mandiri secara ekonomi sehingga tidak mudah dikalahkan dalam perang tarif yang dilancarkan negara lain.
Dalam sistem ekonomi Islam, bea cukai bukan sebagai sumber penerimaan utama negara. Sumber pemasukan dari kepemilikan negara, seperti zakat, ghanimah, fa’i, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz; serta dari kepemilikan umum yang melimpah seperti SDA tambang dan migas, laut dan sebagainya.
Dalam Khilafah, bea cukai dipungut sesuai perbedaan pelaku bisnisnya, bukan komoditasnya. Khilafah tidak memungut cukai warganya baik muslim maupun kafir dzimmi.
Jika pelaku bisnisnya kafir muahid, dikenai cukai sesuai isi naskah perjanjian negara mereka dengan Khilafah. Khilafah akan memungut cukai dari mereka sesuai yang negara mereka pungut dari para pebisnis warga Khilafah. Cukai yang dipungut dari kafir harbi mengikuti ketetapan Khalifah. Ijmak Sahabat menetapkan nominal cukai yang dipungut tidak boleh melebihi jumlah yang dipungut oleh negara kafir harbi dari pelaku bisnis warga Khilafah, atau bahkan mungkin dibebaskan.
Motivasi khilafah melakukan hubungan perdagangan internasional dalam rangka membangun kedaulatan dan kemandirian untuk mendakwahkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Khilafah juga akan membuat strategi kemandirian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan memperbaiki hubungan perdagangan dengan negara lain. Negara berkewajiban memajukan industri domestik agar bisa bersaing dengan produk asing. Bahkan negara harus mendorong agar industri domestik lebih unggul dibandingkan dengan produk negara-negara lain, serta menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya.
Penerapan kapitalisme menyebabkan negeri-negeri muslim dihegemoni kapitalisme global. Padahal Allah SWT melarang kaum muslim memberi jalan bagi negara lain atau pihak lain menguasai kaum muslim. Khilafah tegak sebagai negara ideologis yang berdaulat dan mandiri sehingga tidak akan memberi kesempatan bagi negara lain/ pihak lain mengintervensi kebijakan ekonomi Khilafah. Allah SWT berfirman,
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).
Khatimah
Perang dagang AS-China merupakan peluang bagi negeri-negeri muslim bersatu membangun negara adidaya yang yang mengemban mabda Islam. institusi yang akan mengganti hegemoni kapitalisme sosialisme dengan cahaya Islam dan menebarkan rahmat ke seluruh penjuru alam.
Posting Komentar