Ketahanan Pangan Dengan Metode Padi Apung, Efektifkah?
Oleh : Noviana Husnul Khotimah, AMd
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto direncanakan akan datang ke Desa Sungai Pinang, Kecamatan Rambutan, BANYUASIN, Provinsi Sumatra Selatan, pada Senin 21 April 2015 untuk menghadiri Gerakan Indonesia Menanam (Gerina). Bupati Banyuasin Askolani sendiri pada Sabtu 19 April 2025 sore bersama pejabat terkait lainnya mendampingi Ustadz Adi Hidayat untuk meninjau lokasi gerakan Indonesia Menanam berupa tanaman padi apung. Tentunya Askolani sangat antusias dengan giat itu, apalagi Pemerintah pusat telah menunjuk Kabupaten Banyuasin menjadi pilot project penanaman padi apung. (Sumeks.Co/20/04/2025).
Tentunya kita sambut baik niat baik dari Pemimpin kita untuk menjaga ketahanan pangan bagi negeri tercinta, apalagi Indonesia adalah negara agraris yang mana salah satu perekonomiannya tergantung pada pertanian. Indonesia di kenal dunia sebagai negeri yang subur tanahnya dan sumber daya alamnya. Karena sering terjadi bencana banjir dan banyaknya tanaman padi terendam banjir akhirnya gagal panen dan menyebabkan harga beras melambung tinggi. Untuk itulah pemerintah pusat mencanangkan metode padi apung sebagai rencana solutif untuk menjaga ketahanan pangan dan digadang-gadang lebih hemat biaya dari segi pemupukan dan lebih hemat lahan.
Padi apung adalah sistem budidaya padi di atas rakit atau media apung lainnya, seperti styrofoam, yang digunakan pada lahan yang tergenang air. Teknik ini menjadi solusi bagi petani di daerah rawan banjir, memungkinkan mereka untuk tetap menanam padi meskipun lahan mereka terendam. Keunggulannya tidak memerlukan banyak olah lahan dan proses panen lebih efisien dengan proses panen yang tidak memerlukan alat berat seperti combine harvester. Penggunaan pupuk pun lebih terukur, dan panen dapat dilakukan dengan menarik alat yang disebut strelpom.
Penerapan konsep pertanian dengan padi apung lebih difokuskan di daerah rawa dan rawan banjir seperti Banyuasin sebagai percontohan nasional, tapi juga di beberapa daerah lainnya yaitu Kalimantan Selatan dan desa kosongo kabupaten Semarang.
Bisa saja efektif dan efisien dalam konsep padi apung untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan petani kita. Namun, harus diperhatikan juga kelemahan proyek padi apung tersebut. Yang mana kelemahan utama metode padi apung adalah biaya awal yang tinggi untuk membuat rakit, serta persepsi bahwa sistem ini ribet dan merepotkan bagi petani. Selain itu, ombak di genangan air juga dapat menghanyutkan nutrisi dan tanaman, serta potensi dampak negatif penggunaan pestisida pada ikan dalam sistem Mina padi.
Kebijakan Gagal
Pemerintah pusat memang sudah menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, tetapi semua itu masih berkutat pada hal teknis. Hal ini sebagaimana kebijakan dari sisi praproduksi, yakni adanya subsidi pupuk, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), bantuan benih ikan dan pangan, hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat). Sedangkan dari aspek produksi, ada food estate, pembangunan jaringan irigasi, serta pengembangan kawasan padi dan jagung.
Dan biaya yang dialokasikan untuk pertanian menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah telah mengalokasikan anggaran senilai Rp124,4 triliun untuk memperkuat ketahanan pangan nasional pada RAPBN 2025. Sayang, pemerintah tidak menjelaskan lebih lanjut perihal batasan ketahanan pangan yang dimaksud. Apakah nantinya pemerintah akan fokus pada produktivitas pertanian ataukah pada cadangan pangan dan bantuan pangan seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya?
Namun, melihat anggaran yang ditetapkan, diduga kuat pemerintah masih belum fokus dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Buktinya, anggaran Kementerian Pertanian untuk 2025 malah dipangkas hingga hampir 50%. Pada 2024, anggaran untuk Kementan sebesar Rp14 triliun, tetapi pada 2025 merosot tajam menjadi hanya Rp8 triliun. Sebagai informasi, pada 2015 anggaran untuk Kementan saja saat itu sudah mencapai Rp34 triliun. Namun setelahnya, setiap tahun anggarannya dipangkas.
Pemerintah memang sudah menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, tetapi semua itu masih berkutat pada hal teknis. Namun semua itu gagal dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sebagai contohnya adalah kebijakan benih. Pemerintah kerap menggandeng PT SHS (Sang Hyang Seri), perusahaan asal Inggris dan Belanda, dalam penyaluran benih sawah subsidi. Persoalan pun muncul, baik dari sisi penyaluran yang tidak merata, maupun kualitas benihnya. Menurut Asosiasi Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), benih bersubsidi yang diterima petani bukanlah benih berkualitas, padahal 60% keberhasilan produksi pertanian ditentukan oleh kualitas perbenihan.
Begitu pula dengan kebijakan food estate untuk memenuhi kebutuhan nasional, nyatanya gagal menciptakan ketahanan pangan. Misalnya kebijakan food estate di Kalimantan Tengah yang menjadi program unggulan Prabowo-Gibran, gagal total dalam menambal kebutuhan pangan nasional. Sebab alih-alih bertambah signifikan, produksi beras di Kalteng malah menurun. Menurut data BPS, produksi beras Kalteng pada 2023 hanya sebesar 763 ribu ton, angka tersebut turun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 780 ribu ton.
Jika dianalisis lebih mendalam, yang menjadi sebab kegagalan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah dasar pijakannya yang kapitalistik. Sistem politik ekonomi pangan yang bercorak kapitalistik itu telah jelas dan terbukti menjadi pangkal ketahanan pangan sulit terwujud.
Sistem politik kapitalisme menihilkan peran negara sebatas menjadi regulator dan fasilitator. Negara jadi tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus urusan rakyatnya dan menyerahkan berbagai urusan rakyat pada korporasi. Jika sudah diserahkan kepada swasta, maka orientasi kebijakan bukan lagi pada kemaslahatan rakyat melainkan keuntungan perusahaan.
*Ketahanan Pangan Dala Islam*
Islam memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sistem ekonomi politik Islam akan mampu mewujudkan ketahanan pangan bahkan menjamin kesejahteraan rakyatnya lantaran tujuan utamanya adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Sedangkan negara berperan sentral dalam seluruh urusan rakyat. Islam mewajibkan negara Islam (Khilafah) untuk mengurusi umatnya. Hal ini sesuai dengan hadis,
“Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Hal ini meniscayakan kehadiran negara dalam mengurus urusan rakyatnya sehingga negara akan hadir dan berperan sentral mengurus ketahanan pangan dari mulai hulu hingga hilir. Pada aspek produksi, negara akan menjamin ketersediaan pasokan berbasis produksi dalam negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan negara.
Selanjutnya, kebijakan intensifikasi seperti penyaluran benih berkualitas, misalnya, negara akan mandiri memenuhinya. Jikalau swasta terlibat, keterlibatannya hanya sebatas teknis disertai dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dengan begitu, para petani bisa mendapatkan benih berkualitas.
Untuk kebijakan ekstensifikasi, Khilafah akan mengelola SDA secara mandiri agar distribusi air untuk pertanian lebih efisien. Selain itu program penyuluhan pertanian dan kesejahteraan petani akan dilakukan dengan serius. Khilafah akan menjaga agar tidak ada lagi alih fungsi lahan pertanian sesuai kehendak korporasi, terlebih jika lahan tersebut masih produktif.
Terkait dengan hukum pertanahan, Khilafah menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kemudahan kepemilikan tanah akan ditegakkan. Dengan begitu, para petani akan mudah memiliki tanah menurut mekanisme ihya’ al-mawat, yaitu syariat dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia.
Rasulullah saw. bersabda :
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya.” (HR Bukhari).
Pada aspek distribusi dan pemasarannya, negara akan mengawasi muamalah antara penjual dan pembeli agar tidak terjadi kecurangan dan terwujud harga yang wajar. Negara juga akan melarang penimbunan, riba, kartel, dan menegakkan sistem sanksi Islam yang menjerakan. Begitu pula pembangunan infrastruktur dalam rangka menunjang distribusi, dilakukan berdasarkan kemaslahatan rakyat, bukan korporasi.
Pada aspek konsumsi, Khilafah akan memastikan pangan pokok bisa diakses oleh semua warga, baik itu dalam bentuk subsidi maupun bantuan. Fokus kebijakan ini pada kesejahteraan rakyat. Negara memastikan pendataan bagi keluarga yang tidak memiliki ayah/suami yang bisa mencari nafkah tersebab sakit/cacat/meninggal dunia, juga tidak memiliki kerabat yang bisa membantu. Mereka termasuk kategori warga yang akan mendapatkan bantuan dari negara.
Sedangkan untuk kebijakan impor, Khilafah akan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai produktivitas pertanian menurun dan rakyat dirugikan. Khilafah tidak akan melakukan kerjasama dagang dengan negara kafir harbi fi’lan, atau negara kafir yang telah jelas memusuhi kaum muslim, seperti AS, Cina, dan entitas zionis Yahudi.
Namun demikian, kebijakan impor hanya akan diambil jika situasi genting saja seperti saat paceklik. Hal ini karena kebijakan yang ditetapkan sudah mampu meningkatkan produktivitas pertanian sehingga kebutuhan pangan di dalam negeri akan terpenuhi. Dengan aspek distribusi yang diawasi penuh oleh negara, niscaya ketahanan pangan akan mudah terwujud melalui sistem politik ekonomi Islam.
Wallahu'alam
Posting Komentar