-->

Tegaknya Khilafah, Ketakutan Barat dan Kemenangan Muslim

Oleh : Henise

Di balik layar kekuatan global yang dikendalikan negara-negara Barat, ada satu ketakutan laten yang tak pernah padam: kembalinya Khilafah Islamiyyah. Ketakutan ini bukan isapan jempol. Sejak keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada 1924, Barat—khususnya Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat—berlomba-lomba memastikan bahwa umat Islam tidak lagi bangkit dalam satu kepemimpinan politik yang menyatukan seluruh dunia Islam.

Selama satu abad terakhir, dunia Muslim terpecah ke dalam lebih dari 50 negara-bangsa dengan kepemimpinan sekuler yang tunduk pada sistem kapitalisme. Setiap pemimpin sibuk dengan urusan nasionalismenya, meninggalkan konsep ukhuwah Islamiyyah dan solidaritas umat. Padahal sebelum 1924, umat Islam adalah satu entitas besar yang menggetarkan dunia, baik dalam bidang militer, ekonomi, ilmu pengetahuan, hingga peradaban.
Ketakutan Barat akan tegaknya kembali Khilafah tergambar jelas dari berbagai dokumen dan kebijakan mereka. Dalam laporan Rand Corporation tahun 2004 bertajuk Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies, Amerika secara terang-terangan menyebut kebangkitan Islam politik sebagai ancaman utama. Mereka merekomendasikan untuk membendung ide-ide yang menyerukan tegaknya kembali Khilafah, termasuk dengan cara mengangkat “Islam moderat” yang ramah terhadap demokrasi dan kapitalisme.

Ketakutan ini makin menjadi-jadi ketika berbagai survei menunjukkan kerinduan umat Islam terhadap Khilafah kian meningkat. Laporan Pew Research tahun 2013 menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam di negara-negara besar seperti Pakistan, Mesir, Indonesia, dan Nigeria mendukung penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Bahkan dalam beberapa momen politik seperti Arab Spring, suara-suara untuk menegakkan kembali Khilafah terdengar lantang di jalanan.

Mengapa Khilafah begitu ditakuti oleh Barat?
Karena Khilafah bukan sekadar simbol keagamaan atau sistem pemerintahan biasa. Ia adalah institusi politik yang menyatukan seluruh negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan global. Ia menghapus sekat nasionalisme yang dibentuk penjajah, membebaskan umat dari dominasi ekonomi asing, serta menyusun kekuatan militer berskala besar yang mampu menghadapi agresi musuh.

Khilafah juga berperan sebagai penjaga akidah dan pelindung kehormatan umat. Ia akan menghentikan penjajahan atas negeri-negeri Muslim seperti Palestina, Kashmir, Uighur, dan lainnya. Khilafah tidak akan duduk manis menyaksikan masjid-masjid dibakar atau perempuan Muslim diperkosa di wilayah konflik. Ia akan mengerahkan pasukan, menyatukan kekuatan, dan mengusir penjajah hingga tuntas. Inilah yang membuat Israel, Amerika, dan sekutunya gentar.

Dalam bidang ekonomi, Khilafah akan menghentikan sistem riba yang menjerat negeri-negeri Muslim dalam hutang abadi. Ia akan mengelola kekayaan alam—minyak, gas, tambang, hutan, dan laut—sebagai milik umat, bukan untuk dikapling korporasi asing. Khilafah akan menyejahterakan rakyat bukan dengan subsidi semu, tetapi dengan distribusi kekayaan yang adil sesuai syariah.

Sementara dalam dunia pendidikan, Khilafah akan memutus arus liberalisasi dan sekularisasi kurikulum. Ia akan menanamkan pemahaman Islam sejak dini, menumbuhkan kepribadian Islam dalam diri generasi muda, serta mencetak ilmuwan, mujtahid, dan pemimpin peradaban. Dunia tak lagi menyaksikan generasi rebahan yang hanya sibuk dengan konten viral, tapi akan melihat munculnya kembali generasi seperti Muhammad Al-Fatih, Shalahuddin Al-Ayyubi, dan Al-Khawarizmi.

Namun tegaknya Khilafah juga bukan sekadar mimpi romantis yang tanpa tantangan. Umat hari ini masih dihantui oleh narasi-narasi yang menyudutkan ide Khilafah. Mereka ditakut-takuti dengan tudingan radikalisme, kekerasan, dan terorisme. Media mainstream sering menyamakan Khilafah dengan kelompok bersenjata seperti ISIS, padahal Khilafah yang dimaksud dalam ajaran Islam adalah sistem pemerintahan yang adil, konstitusional, dan berlandaskan hukum syariat, bukan kekuasaan brutal tanpa legitimasi.

Ironisnya, umat Islam sendiri kerap ragu untuk menyerukan Khilafah. Banyak yang memilih jalan tengah: reformasi parsial, Islam moderat, atau dakwah moral tanpa politik. Mereka lupa bahwa Rasulullah SAW sendiri menegakkan Islam sebagai kekuatan politik yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga mengatur urusan pemerintahan, hukum, ekonomi, militer, dan hubungan internasional.

Inilah yang harus disadari umat hari ini. Bahwa tanpa Khilafah, umat akan terus terpecah dan dilemahkan. Tanpa Khilafah, kekayaan umat akan terus dijarah, kehormatan umat diinjak-injak, dan negeri-negeri Muslim akan terus dijadikan laboratorium kepentingan geopolitik negara besar. Hanya Khilafah yang mampu menyatukan kekuatan, menegakkan keadilan, dan membebaskan umat dari cengkeraman hegemoni global.

Dan kemenangan itu bukanlah sesuatu yang utopis. Janji Allah dan kabar dari Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa Khilafah akan kembali tegak setelah masa kediktatoran dan kerusakan. Rasulullah bersabda:
"Kemudian akan datang masa Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah” (HR. Ahmad)
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah Khilafah akan tegak?”, tetapi “apa yang kita lakukan untuk menjemputnya?”. Umat Islam harus bangkit dari tidur panjangnya, meninggalkan loyalitas sempit terhadap nasionalisme, dan menyatukan barisan dalam perjuangan ideologis menegakkan kembali perisai umat ini.

Kemenangan Islam tak akan datang dari meja perundingan PBB, bukan pula dari diplomasi basa-basi, melainkan dari perjuangan ideologis yang konsisten dan terorganisir. Dan saat Khilafah benar-benar tegak, Barat tak lagi bisa tidur nyenyak. Karena umat yang selama ini mereka lemahkan, pecah belah, dan rendahkan, akan kembali menjadi satu kekuatan global yang mengguncang dunia dengan cahaya Islam.

Wallahu a'lam