Indonesia Masih Terjajah
Oleh : Aslan La Asamu, Aktivis Dakwah
Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang ke 80. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, rangkaian kegiatan dilaksanakan untuk memperingati hari kemerdekaan. Berbagai macam kegiatan dilaksanakan. Seluruh masyarakat beramai-ramai ikut merayakan, bahkan di desa pun tidak ketinggalan ikut memperingatinya.
Bendera merah putih beramai-ramai dipasang di depan rumah, umbul-umbul merah putih menghiasi pagar kantor-kantor dan sekolah-sekolah. Namun yang menjadi pertanyaan kita bersama, apakah bangsa Indonesia saat ini telah merdeka? Inilah pertanyaan yang perlu kita jawab dengan jujur. Sebelum kita menjawab, terlebih dahulu, kita harus mengetahui apa arti merdeka.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata merdeka adalah bebas dari penjajahan, berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Sehingga dapat disimpulkan arti kata merdeka adalah bebas dari kemerdekaan. Lantas apakah Indonesia benar-benar merdeka?
Jujur, Indonesia belum merdeka, artinya Indonesia saat ini masih terjajah. Dulu, Indonesia dijajah secara fisik, sekarang dengan non fisik (pemikiran). Penjajahan fisik, tentunya kita sudah paham, Indonesia telah mengalami penjajahan fisik dari negara-negara penjajah Jepang dan Belanda, kala itu bangsa Indonesia bersusah payah mengorbankan nyawa demi merebut kemerdekaan dari penjajah jepang yang ingin menguasai wilayah Indonesia.
Dengan rahmat dan pertolongan Allah SWT, bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan negara penjajah berhasil diusir. Lantas apakah penjajahan berakhir sampai di situ? Tampaknya penjajahan masih berlanjut ke penjajahan yang kedua yakni penjajahan pemikiran yang hingga saat ini masih berlangsung bahkan penjajahan ini semakin mengganas.
Walaupun Indonesia merdeka dari penjajahan fisik (tidak adu peperangan dengan penjajah Belanda), namun jangan dilupakan Indonesia masih dijajah dengan penjajahan pemikiran, yakni penjajahan melalui sistem atau aturan sekularisme (kapitalisme) yang notabene berasal dari penjajah. Penjajahan pemikiran ini yang hingga saat ini masih belum disadari oleh masyarakat.
Perang pemikiran (ghazwul fikri) sampai saat ini dialami bangsa Indonesia. Sungguh perang pemikiran inilah yang menyebabkan kehancuran yang sangat luar biasa bagi bangsa ini. Negara penjajah khususnya Amerika Serikat (AS) dan antek-anteknya paham betul, untuk menguasai suatu negara, hal yang terpenting melalui penjajahan pemikiran. Tentunya kita bertanya-tanya apa buktinya Indonesia saat ini sedang dijajah pemikiran.
Sesungguhnya hingga saat ini Indonesia sedang menerapkan sistem demokrasi yakni kedaulatan berada di tangan rakyat. Demokrasi berasal dari dasar pemikiran sekularisme sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dasar pemikiran ini melahirkan banyak ide-ide atau pemikiran yang berbahaya seperti ide demokrasi, kapitalisme, pluralisme, liberalisme, HAM, dan lain-lain.
Pemikiran sekularisme ini sangat berbahaya, anehnya negeri ini masih mempertahankan bahkan ide ini dijadikan asas dalam membuat aturan atau perundang-undangan. Sebut saja paham kapitalisme yang mendominasi ekonomi negeri ini. Faktanya sampai saat ini kapitalisme mencengkeram kekayaan di negeri ini.
Kekayaan alam di negeri ini sungguh sangat luar biasa banyaknya, seperti batu bara, emas, nikel, aluminum, tembaga, minyak dan lain-lain. Belum lagi kekayaan yang ada di laut. Indonesia juga kaya akan hutan dan pegunungannya, lautnya luas dan banyak terdapat anak sungai yang megah. Namun itu semua dikuasai segelintir orang saja yang memiliki banyak modal (kapital).
Sebut saja tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua, PT. Freeport sebuah perusahaan milik AS menguasai sepenuhnya tambang tersebut, padahal emas yang mereka keruk adalah emas yang berada di tanah Indonesia, sehingga hasil dari pengelolaan tambang tersebut dibawa keluar negeri (AS), Indonesia hanya mendapat hasil pajaknya saja.
Sebagaimana yang dikutip CNBC Indonesia, PT Freeport Indonesia mencatatkan produksi 2 juta ons emas sepanjang 2023 yang berkontribusi besar pada pemasukan negara dan kinerja ekspor. Rata-rata penambangan per hari tercatat mencapai 218 ribu ton per hari di awal tahun, dan meningkat menjadi 240 ribu ton per hari. Jumlah yang fantastis, namun sayangnya itu semua bukan milik rakyat Indonesia.
Itu baru tambang emas yang ada di Papua, belum lagi tambang-tambang lainnya yang berada di daerah lain, seperti nikel, batu bara, minyak, aluminium, tembaga dan lain-lain semuanya itu dikelola swasta. Masyarakat hanya penonton saja, menyaksikan tanahnya dirampas.
Padahal kalau itu dikelola dengan baik, hasilnya bermanfaat bagi rakyat. Sebagaimana yang disampaikan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dia menyampaikan “Kalau sektor tambang dikelola dengan profesional, maka setiap kepala per orang bisa dapat uang Rp 20 juta gratis” (antaranews.com, 31/7/2018).
Dari sisi politik, Indonesia menggunakan sistem politik Machiaveli, yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan salah satu asasnya. Politik yang diterapkan saat ini sejatinya hanya sebagai ajang para elite politik untuk berambisi meraih kekuasaan, tidak peduli caranya seperti apa agar tujuan itu bisa tercapai. Tidak heran kecurangan merupakan hal yang lumrah dalam perpolitikan.
Kecurangan dalam pemilu misalnya yang tidak pernah hilang, bahkan menjadi tradisi, yang sejatinya pemilu sebagai ajang untuk memilih pemimpin yang dipilih oleh rakyat justru dinodai dengan kecurangan, dari tingkat Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati hingga tingkat RT dan RW semuanya melalui cara-cara kecurangan.
Sehingga hasil kecurangan itu melahirkan pemimpin yang korup, yang hanya mementingkan diri sendiri dan golongannya, terlebih lagi pemimpin yang lahir dari kolaborasi dengan pengusaha, maka yang diuntungkan para pengusaha (kapital). Namun saat ini telah banyak penguasa yang sekaligus sebagai pengusaha, maka bisa ditebak ketika memimpin pasti yang dipikirkan bagaimana bisa memuluskan atau membesarkan usahanya itu.
Begitu pula halnya dengan wakil rakyat yang terpilih, mereka itu membutuhkan banyak suntikan dana yang besar, bahkan bisa sampai puluhan miliaran dipersiapkan hanya untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Namun ketika mereka terpilih apakah lantas memikirkan rakyat? Tampaknya tidak yang mereka pikirkan, bagaimana bisa mengembalikan kembali dana yang telah mereka keluarkan saat pemilu, bukan cuan itu saja mereka memikirkan bagaimana cara agar bisa terpilih lagi di tahun mendatang.
Jadi jelas, wakil rakyat ketika terpilih yang mereka pentingkan adalah para pengusaha dan mementingkan diri dan golongannya, sedangkan rakyat, hanya sebagai sapi perah, mereka hanya dibutuhkan saat menjelang pencoblosan dengan segudang janji-janji palsu, serta mereka di butuhkan saat di kotak suara saja, namun setelah itu mereka tidak di butuhkan lagi.
Pendidikan di Indonesia juga lebih parah, banyak anak yang putus sekolah, karena akses pendidikan yang susah di jangkau, serta biaya pendidikan yang mahal, sehingga banyak anak yang putus Sekolah. Contohnya di Banjarmasin Kalimantan Selatan di tahun 2025 saja ada 7300 anak putus Sekolah, bahkan setiap tahunnya meningkat (klikkalsel.com. 6/5/2025).
Itu baru satu tempat bagaimana dengan tempat yang lain, sehingga dengan banyaknya anak putus sekolah, maka akan berakibat pada rendahnya kemampuan pendidikan negeri ini. Belum lagi dengan munculnya problem dari itu semua misalnya yaitu pengangguran karena ketidakadaan pekerjaan, bahkan sulitnya di dapat pekerjaan.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistis (BPS) mengungkapkan tren mengkhawatirkan dalam kondisi sosial ekonomi di wilayah perkotaan Indonesia. Tingkat pengangguran laki-laki di daerah perkotaan tercatat mengalami kenaikan, dari 5,87% pada Agustus 2024 menjadi 6,06% pada Februari 2025 (rri.co.id, 29/7/2025).
Korupsi di negeri ini juga susah untuk dihilangkan. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2023 terjadi 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir (kompasiana.com, 24/5/2025).
Dilansir dari Kompas.com, (14/3/2025), sejumlah pejabat PT Pertamina Patra Niaga terlibat kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut korupsi ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun pada 2023. Namun, kasus itu berlangsung dari 2018-2023, sehingga kerugian negara selama lima tahun diperkirakan bisa mencapai Rp 968,5 triliun atau hampir Rp 1 kuadriliun.
Di sisi lain pergaulan anak muda atau remaja saat ini sungguh sangat memprihatinkan, narkoba, sabu-sabu, minuman beralkohol dan barang haram lainnya, masih saja mudah untuk didapatkan. Belum lagi anak remaja yang kecanduan video porno, pergaulan bebas yang tidak ada batasan, menyebarnya paham LGBT, dan lain-lain. Kesemuanya itu membuktikan tatanan kehidupan masyarakat masih jauh dari kata aman.
Kasus pemerkosaan, pencabulan anak di bawah umur, kekerasan seksual, semakin meningkat. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tahun 2025 menyebutkan ada 17.093 Kasus kekerasan seksual, 3.544 korban laki-laki dan 14.693 korbannya perempuan (kekerasan.kemenpppa.go.id, 1/1/2025).
Sementara itu utang Indonesia terus naik, Nilai utang pemerintah pusat mengalami kenaikan per Januari 2025. Nilainya sebesar Rp8.909,14 triliun atau naik sekitar 1,22% dari catatan per Desember 2024 sebesar Rp8.801,09 triliun (cnbcindonesia.com, 11/3/2025).
Lantas yang menjadi pertanyaan kita bersama, apakah Indonesia masih dikatakan telah merdeka sepenuhnya? Jawaban tidak, Indonesia masih dalam penjajahan.
*Merdeka dari Segala Bentuk Penjajahan*
Penjajahan, baik fisik maupun nonfisik, sesungguhnya merupakan manifestasi dari isti’bâd (perbudakan), yaitu menjadikan manusia sebagai budak bagi manusia lainnya. Oleh karena itu, Islam telah mengharamkan penjajahan. Allah SWT berfirman, “Sungguh Aku adalah Allah. Tidak ada tuhan yang lain, selain Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku” (QS Thaha [20]: 14).
Imam ath-Thabari menjelaskan: “Innanî ana Allâh (Sungguh Aku adalah Allah),” bermakna: Allah menyatakan, “Sungguh Akulah Tuhan Yang berhak disembah. Tidak ada penghambaan, kecuali kepada Dia. Tidak ada satu pun tuhan, kecuali Aku. Oleh karena itu, janganlah kalian menyembah yang lain, selain Aku. Sungguh tidak ada yang berhak menjadi tempat menghambakan diri, yang boleh dan layak dijadikan sembahan, selain Aku.” Lalu frasa, “Fa’budnî (Oleh karena itu, sembahlah Aku),” bermakna: Allah menyatakan, “Murnikanlah ibadah hanya kepada-Ku, bukan sesembahan lain, selain Aku” (Ibn Jarir at-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS Thaha [20]: 14).
Inilah kalimat tauhid. Kalimat tauhid ini pada dasarnya telah terpatri di dalam hati setiap Muslim. Jika tauhid mereka murni dan jernih, kemudian pemahaman yang terbentuk dari sana juga jernih, maka tauhid itu akan membangkitkan semangat penghambaan hanya kepada Allah. Spirit tauhid ini pun sekaligus akan membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk perbudakan/penghambaan atas sesama manusia, termasuk penjajahan atas segala bangsa.
Inilah yang tampak dari kalimat Rub’i bin ‘Amir kepada panglima Persia, Rustum, “Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan (memerdekakan) siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama yang ada menuju ke keadilan Islam.” (Ibn Jarir at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 3/520; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/39).
Inilah spirit Islam. Spirit ini muaranya ada pada kalimat tauhid, “Lâ Ilâha illalLâh, Muhammad RasûlulLâh” (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).
Kemerdekaan Hakiki
Atas dasar itu, menjadi kewajiban kaum Muslim secara bersama, untuk bertafakur menyertai rasa syukur, dengan melihat realitas yang ada di negeri kita di segala bidang, sudahkah sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Sudahkah hakikat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam, seperti yang dikemukakan oleh Rub’i bin Amir di atas, telah kita dapatkan?
Jika belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Jika perjuangan dulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi kapitalisme-sekularisme, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya dan segenap tatanan yang tidak islami.
Berikutnya kita wajib berjuang untuk menegakkan tatanan masyarakat dan negara yang benar-benar bertumpu pada prinsip-prinsip tauhid. Tatanan tersebut tidak lain adalah tatanan yang diatur oleh aturan-aturan Allah atau syariat Islam. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam.
Dengan demikian, bangsa dan negeri ini bisa dikatakan benar-benar meraih kemerdekaan hakiki ketika mereka mau tunduk sepenuhnya kepada Allah. Tentu dengan menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Caranya dengan melepaskan diri dari belenggu ideologi dan sistem sekuler yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan sistem Islam secara total.
Selain itu, misi Islam adalah mengeluarkan manusia dari 'kegelapan' menuju 'cahaya'. Maka dari itu, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara, mundur dan terbelakang. Pada masa lalu Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain, misalnya, justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam, saat belahan dunia lain sedang mengalami masa kegelapan.
Alhasil, bangsa dan negeri ini pun, jika ingin lepas dari 'kegelapan' menuju 'cahaya', atau jika ingin bebas dari segala keterpurukan (sebagaimana saat ini) menuju era kebangkitan dan kemajuan, mau tidak mau, harus merujuk pada Islam. Caranya dengan menerapkan pemikiran/ideologi dan sistem Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.[]
Posting Komentar