Bukan Turun, Angka Kemiskinan Hanya Dimanipulasi
Oleh : Dinda Kusuma WT
Adanya si kaya dan si miskin memang sebuah fakta kehidupan yang tak terelakkan. Bahkan bisa dikatakan sinergi antara keduanyalah yang mampu menciptakan keseimbangan hidup. Di antara keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Namun, lain cerita jika kemiskinan diciptakan secara sistemik. Terlebih jika yang miskin mendapat perlakuan tidak adil, terus dipelihara kemiskinannya oleh sistem tersebut, bahkan semakin dimiskinkan dan disengsarakan secara terus menerus. Sebab sejatinya, tidak ada manusia yang ingin berada dalam kemiskinan. Setiap orang berhak mengusahakan dan memperoleh kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. Maka sistem seperti ini adalah sistem yang rusak yang justru menghancurkan tatanan kehidupan.
Kapitalisme adalah sistem semacam itu, yaitu sistem yang meniscayakan lahirnya kemiskinan. Sistem yang menyengsarakan rakyat kecil ini, telah diterapkan oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Akibatnya, angka kemiskinan yang tinggi di negara ini pun sulit untuk dihapus, bahkan ada kelompok yang digolongkan sebagai golongan miskin ekstrem.
Kemiskinan Ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Standar miskin ekstrem di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah mengacu pada pendapatan per kapita di bawah sekitar Rp 11.941 per hari. Dengan kata lain, orang yang pengeluarannya diatas standart tersebut, bisa dikategorikan bukan masyarakat miskin. Sungguh sebuah standart yang sangat tidak realistis. Di era sekarang, kebutuhan hidup per orang pastilah jauh lebih besar dari standart yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan acuan miskin ekstrem diatas, menurut BPS (Badan Pusat Statistik), per September 2024, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta orang. Lucunya, klaim rendahnya angka kemiskinan ini jauh berbeda dengan data yang dinyatakan oleh Bank dunia. Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia menyebut bahwa sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia sekitar 171,8 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan global. Data ini diperoleh dengan menggunakan pendekatan global dalam menentukan siapa yang tergolong miskin. Garis kemiskinan yang digunakan adalah sebesar USD 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari atau setara Rp 41.000, 00/ hari (kompasiana.com, 05/05/2025).
Perbedaan angka kemiskinan yang sangat mencolok ini menunjukkan pemerintah hanya berusaha memanipulasi data agar terlihat memiliki pencapaian dalam pemberantasan kemiskinan. Realitanya, bukan kemiskinannya yang berkurang, namun standart yang dipakai lah yang terlampau rendah. Kehidupan sejahtera semacam apa yang bisa didapatkan seseorang hanya dengan misalnya 20ribu perhari, dimana angka ini dikatakan tidak miskin. Dengan adanya inflasi, kurs rupiah yang terus menurun, harga-harga naik, pajak yang tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan mahal, tentulah standart miskin ekstrem ini sangat tidak masuk akal.
Disisi lain, korupsi di negeri ini merajalela. Uang rakyat dirampok habis-habisan. Kekayaan alam dieksploitasi oleh asing, tanpa bisa dinikmati hasilnya oleh rakyat. Inilah dampak diterapkannya kapitalisme. Sungguh sebuah sistem yang kejam dan tidak manusiawi. Inilah salah satu alasan mengapa kapitalisme, yang pastinya bergandengan erat dengan demokrasi, merupakan induk dari kemiskinan harus segera dicabut.
Kapitalisme mampu melahirkan dan menyuburkan kemiskinan. Dalam sistem ini, semua hal dilakukan atas dasar materi. Semua lini kehidupan tidak luput dari prinsip ini. Baik sektor ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainnya. Terjadi komersialisasi di seluruh sektor kehidupan.
Dalam kegiatan ekonomi contohnya, hampir semua transaksi berbasis ribawi. Tidak jarang dijumpai seseorang yang bangkrut dan hancur akibat terlilit hutang riba. Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, keduanya masih sulit diperoleh secara gratis. Pendidikan dan kesehatan berkualitas tinggi hanya bisa didapatkan dengan biaya yang tinggi pula. Sistem ini tidak akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Justru, memelihara kemiskinan adalah salah satu hal yang harus dilakukan agar kekuasaan kaum kapital semakin kuat dan langgeng.
Disisi lain, negara sebagai harapan terakhir bagi rakyat tidak bisa berbuat banyak. Negara hanya bertindak sebagai regulator, atau lebih tepatnya "penonton" pasif. Bahkan lebih miris lagi, negara menjadi kaki tangan kaum kapital. Kebijakan yang dibuat seringkali hanya menguntungkan para pemilik modal. Seakan rakyat tak cukup menderita, negara masih membebankan berbagai pungutan pajak kepada rakyat kecil.
Sistem Islam Menuntaskan Kemiskinan
Kondisi terpuruk yang dialami Indonesia, dan seluruh umat manusia di dunia, harusnya segera diakhiri. Telah banyak fakta terpapar dihadapan kita dengan jelas betapa bobroknya sistem kapitalisme. Menerapkan sistem Islam, adalah satu-satunya pilihan tepat.
Mengapa demikian? Tentu karena sistem Islam adalah sistem yang memiliki aturan sempurna dan lengkap. Satu-satunya sistem yang sumber aturannya berasal dari Allah Swt yang tertuang dalam Al Quran dan As Sunnah. Praktis, tidak ada kepentingan pribadi ataupun golongan yang bisa mengotorinya. Islam hanya bertujuan untuk memberikan kemaslahatan, kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi seluruh umat manusia.
Sejarah pun pernah mencatat kegemilangan masa kejayaan Islam. Salah satunya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M) merupakan salah satu masa pemerintahan di era kejayaan islam. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), namun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.
Kesempatan mengulang kejayaan Islam selalu terbuka. Tergantung kepada umat manusia apakah mau mengusahakannya atau tidak. Jika kita mengharapkan kebaikan hidup yang hakiki, maka segera menerapkan sistem Islam adalah satu-satunya solusi.
Wallahu a'lam bisshawab.
Posting Komentar