Akses Belajar Susah, Bagaimana Generasi Bisa Pintar?
Oleh: Hamnah B. Lin
Dilansir oleh BeritaSatu tanggal 2/05/2025, bahwa data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP). Temuan ini menjadi cerminan bahwa Pendidikan Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama, dan banyak penduduk belum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2023 (9,13 tahun), capaian ini baru sedikit melampaui target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun. Mayoritas penduduk Indonesia hanya menamatkan pendidikan dasar dan menengah pertama. Hanya sekitar 10,2% penduduk usia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi, sementara lulusan SMA masih mendominasi di angka 34,12%.
Ketimpangan dalam akses pendidikan di Indonesia masih cukup tinggi. Wilayah pedesaan, rumah tangga dengan kondisi ekonomi rendah, dan kelompok penyandang disabilitas menjadi yang paling rentan tertinggal dalam hal pendidikan. Hal ini berdampak langsung pada angka partisipasi sekolah.
Pemerintah melalui program seperti kartu Indonesia pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, serta penguatan pendidikan vokasi berupaya meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi. Namun demikian, upaya ini tak kunjung memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan angka anak sekolah. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya:
Pertama, keterbatasan akses pendidikan karena kondisi ekonomi. Tidak bisa dimungkiri, kemiskinan merupakan salah satu faktor penghalang bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan.
Kedua, keterbatasan akses pendidikan karena infrastruktur publik yang tidak memadai. Kondisi ini biasanya dialami sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal. Infrastruktur publik yang serba terbatas menjadikan masyarakat kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang jauh dari rumah mereka.
Ketiga, keterbatasan akses pendidikan karena sarana dan fasilitas pendidikan yang tidak layak. Kemendikdasmen beberapa waktu lalu berencana akan merenovasi kurang lebih 10.000 sekolah rusak di seluruh Indonesia. Data BPS 2024 menyebut hampir 49% bangunan sekolah dasar mengalami kerusakan. Kondisi sekolah rusak, atap berlubang, serta ruang kelas dengan meja dan kursi yang jauh dari kata layak kerap mewarnai berita pendidikan dari tahun ke tahun. Ini baru bangunan fisik dasar sekolah, belum lagi kita bicara fasilitas penunjang lainnya seperti laboratorium, internet, ruang komputer, dan lainnya.
Berbagai faktor keterbatasan yang melatarbelakangi kesenjangan pendidikan saat ini tidak terlepas dari sistem pendidikan kapitalistik yang menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas sehingga akses pendidikan bergantung pada keadaan ekonomi. Tidak salah jika muncul narasi “Pendidikan ibarat barang mahal. Orang miskin dilarang sekolah.”
Sungguh fakta telah berbicara, ketimpangan akses pendidikan menjadi sebab kesenjangan yang nyata. Bagaimana tidak, jika ingin mendapatkan fasilitas yang bagus maka biayanya mahal. Bagi yang tidak memiliki cukup biaya, bersiap belajar dengan fasilitas seadanya, bahkan kurikulum "ala kadarnya".
Kondisi ini sungguh akan jauh berbeda tatkala Islam diterapkan oleh negara khilafah, Negara Khilafah memberikan pemenuhan dan pelayanan dengan fasilitas pendidikan terbaik dengan melandaskan pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk·merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang (Syekh Abu Yasin, Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah, hlm. 8).
Kedua, seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.
Ketiga, akses pendidikan gratis dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat negara Khilafah. Islam tidak akan membiarkan peluang kebodohan berkembang hanya karena terhalang biaya pendidikan. Oleh karena itu, negara Khilafah memberikan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati.
Keempat, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi rakyat yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam dalam Bab “Strategi Pendidikan” hlm 176).
Kelima, negara membangun infrastruktur publik yang merata di seluruh wilayah hingga ke pelosok negeri. Jika infrastruktur publik sudah tersedia dan memadai, tidak akan ada kisah sedih anak-anak sekolah menyeberang sungai deras dengan seutas tali panjang sebagai jembatan mereka.
Demikianlah bentuk tanggungjawab khalifah dalam bidang pendidikan, dimana khalifah menyadari betul bahwa mencerdaskan generasi dengan kemudahan akses pendidikan menjadi kunci lahirnya generasi khairu ummah, generasi tangguh, generasi cerdas yang ilmunya akan bermanfaat bagi kemaslahatan manusia.
Allahu a'lam.
Posting Komentar