-->

Wacana Garap Sawah Padi China Sejuta Hektar, Emang Mampu?

Oleh: Anastasia S.pd.

Indonesia merupakan negara agraria, yang kaya akan sumber daya alam. Ditunjang dengan tanah yang subur, menyebabkan sebagaian penduduk negara Indonesia berprofesi sebagai petani. Dulu bekerja menjadi petani merupakan pekerjaan yang menjanjikan, karena keuntungan yang didapat terbilang mampu membuat para petani kita terbang ke Mekah melakukan ibadah haji. Namun sayang, seiring perkembangan waktu saat ini jumlah petani kian menyusup karena saat ini, para petani kita tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah, seperti pupuk subsidi, lahan pertanian yang beralih fungsi, hingga kalah bersaing dengan beras impor. 

Di tengah karut marut keadaan tersebut, pemerintah malah melakukan proyek kerja sama dengan China menggarap sawah di Kalteng. Pemerintah Indonesia mengklaim, telah mencapai kesepakatan dengan China untuk bekerja sama mengembangkan lahan sawah seluas sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah dari China.

Ini disebut akan mengatasi masalah beras nasional, apalagi mengingat Indonesia kerap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Mereka bersedia, dan kita tinggal sekarang mencari tanah lokanya  untuk membuat di Kalteng. Karena tanahnya itu dari zaman dulu sudah ada, itu sampai  sejuta hektar," kata Luhut, sebelum menambahkan bahwa bulog akan membeli hasil produksi beras dari proyek ini.

Menurut Luhut, pengembangan sawah di Kalimantan Tengah bisa dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dengan lahan 100.000-200.000 hektare terlebih dahulu.

Kerja sama dengan China ini diharapkan dapat berjalan "enam bulan dari sekarang" dan menyelesaikan masalah beras nasional. Ini penting, kata Luhut, karena Indonesia rutin mengimpor beras antara 1,5 juta dan 2 juta ton per tahun.

Bila proyek ini berjalan, kata Luhut, "Sudah selesai masalah ketahanan pangan kita untuk beras." BBC Indonesia (24/04/2024).

Tentu wacana tersebut mendapatkan kritik dari Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas. Menurut Andreas lahan itu terlalu luas untuk rencana awal, dia memberi masukan agar menggunakan lahan sedikit dulu jika berhasil baru ditambah.

"Tidak masuk akal dan pasti gagal. Gitu aja lah kalau bicara 1 juta hektar pasti gagal. Terlalu luas terus nanti yang garap siapa," kata Andreas. Tempo ( 23/04/2024).

Food Estate, Mengulangi Kegagalan Tidak Menyentuh Akar Masalah 

Sebelum di era Jokowi, wacana food estate pernah digalangkan oleh di era Soeharto dan SBY, tapi mengalami kegagalan yang paripurna. Era Soeharto mencanangkan program bernama Mega Rice Project, lewat kebijakan ini, Soeharto ingin mengubah rawa gambut di Kalimantan Tengah menjadi tempat pengembangan produksi beras. Diproyeksikan ada sejuta lahan gambut yang bakal disulap. Menurut Jenny Goldstein dalam "Carbon Bomb: Indonesia's Failed Mega Rice Project" (2016), para ilmuwan sebetulnya sudah berpikir kalau Mega Rice Project bakal gagal. Faktor kondisi tanah menjadi penyebab utamanya. Namun mereka tak berdaya menahan ambisi Soeharto.

"Proyek ini dilakukan tanpa adanya konsultasi dan analisa sehingga berakhir dengan kegagalan besar. Setelah lahan dibuka dan padi ditanam baru diketahui kalau tanah gambut terlalu asam dan kekurangan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan padi,"  CNBC Indonesia 04/11)2023.

Meski sudah terbukti gagal, kebijakan serupa malah dilakukan kembali oleh pemerintahan selanjutnya. Tepat pada 2010, Presiden SBY meluncurkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tujuannya adalah menjamin swasembada Indonesia dalam hal pangan dan energi. Yang akhirnya mengalami kegagalan yang sama. 

Begitu pun dengan proyek sawah sejuta hektar yang saat ini tengah disorot karena dipastikan mengalami kegagalan, pendapat ini disampaikan oleh Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan merespon pernyataan pemerintah yang mengumumkan bahwa panen jagung food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah menghasilkan sekitar 25 ton. Ketika pemerintah membanggakan telah panen 25 ton jagung dengan modal sebesar itu menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya. Parlementaria.com  (21/03/2024).

Menurut Anggota Komisi IV DPR ini sebagai bukti nyata bahwa food estate sebagai proyek gagal dan hanya “membuang-buang anggaran”. 

Johan menuturkan jagung yang ditanam di lahan food estate itu telah menghabiskan anggaran Rp54 miliar untuk proses penanamannya dan membuka lahannya telah menelan anggaran sangat besar mencapai Rp1,5 triliun.

Kalau pemerintah selama membangun proyek pangan atas nama memenuhi kebutuhan di dalam negeri,  seperti tidak akan mampu mencapai tujuan. Karena selama ini pemerintah selalu melibatkan pihak swasta, yang bertumpu pada pemodal yang hanya mencari keuntungan.  

Proyek food estate tidaklah menyentuh akar permasalahan. Karena permasalahan pangan kita erat hubungannya dengan kebijakan pemerintah, yang saat ini tidak berpihak kepada petani. Saat ini, di  tengah gencarnya konflik agraria, pemerintah dengan kepentingan kapitalisme telah mengambil lahan produktif yang seharusnya digarap untuk lahan pertanian, malah dialih fungsikan menjadi pembangunan atas nama infrastruktur. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan lahan pertanian dan mata pencaharian. Otomatis pasokan beras menjadi menipis. Untuk mampu menggarap lahan dibutuhkan modal yang besar, seperti pengayaan bibit dan pupuk, hal ini  tidak mendapatkan pasokan dana dari pemerintah, petani dibiarkan bertahan sendiri ditengah gempuran konflik agraria yang melibatkan para pemodal dan oligarki. 

Apabila musim panen tiba, tidak sedikit munculnya permainan pasar yang merugikan petani, atau munculnya beras impor yang merusak harga pasaran. Wajar, apabila profesi petani saat ini tidaklah menjanjikan, karena nilai keuntungannya tidak signifikan. Kapitalisme menyebabkan, berkurangnya lahan pertanian, dan sedikitnya jumlah profesi petani merupakan,  akar permasalahannya pangan nasional. Food estate tidaklah memberikan dampak apa pun terhadap kondisi ketahanan pangan bangsa ini. 

Islam Membangun Ketahanan Pangan 

Islam mampu menjawab semua tantangan kehidupan yang menyangkut urusan manusianya. Karena Islam secara sempurna telah mengatur urusan manusia berjalan sesuai dengan aturan Allah. Negara akan membangun sistem ketahanan pangan, dengan menyediakan lahan untuk pertanian, tanah yang subur tidak akan dialihkan fungsikan menjadi pembangunan. Bahkan, negara tidak akan membiarkan lahan kosong terlantar tanpa ada seseorang yang menggarapnya atau pun memagarinya. Negara akan menyalurkan tanah tersebut kepada orang yang siap mengurusnya serta mengolah tanah tersebut menjadi produktif. 

Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw,

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَعَطَّلَهَا ثَلَاثَ سِنِينَ، لَا يُعَمِّرُهَا، فَعَمَّرَهَا غَيْرُهُ، فَهُوَ أَحَقُّ بها

Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia telantarkan selama tiga tahun, tidak ia gunakan, kemudian datang orang lain memanfaatkan tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.

Islam pun tidak akan membangun kerja sama dengan pihak lain, apabila terkait ketahanan pangan. Karena Islam akan menitikberatkan sektor industri berat, yaitu dengan menciptakan alat dan teknologi yang akan menunjang sektor pertanian. Wallahu' Alam.