UKT Melambung, Pendidikan Tinggi Jadi Kebutuhan Tersier
Oleh: Mutia Syarif
Blitar, Jawa Timur
Masyarakat pasti setuju jika dikatakan bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap anak. Meskipun pemerintah menetapkan bahwa pendidikan wajib adalah 12 tahun (SD, SMP dan SMA), namun ditengah gempuran sulitnya mendapat pekerjaan, banyak masyarakat yang berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Terutama jika anak tersebut berprestasi dan memiliki potensi tertentu. Akan tetapi sayangnya, prestasi dan potensi anak saja seolah tak cukup menjadi modal agar anak tersebut dapat mengenyam pendidikan tinggi. Dalam sistem kapitalis, uang memegang peran lebih penting.
Siti Aisyah yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memilih mengundurkandiri karena mahalnya UKT. Siti Aisyah merupakan salah satu dari ribuan orang yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Namun gadis berusia 18 tahun ini akhirnya lebih memilih mengundurkan diri karena mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Gadis ini sebelumnya dinyatakan lulus jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau dan harus membayar UKT golongan 4 yakni Rp3,5 juta per semester. Padahal Siti berasal dari keluarga tidak mampu. (SINDOnews.com Kamis, 23 Mei 2024)
Siti Aisyah mungkin hanya satu dari ribuan calon mahasiswa lain yang memiliki prestasi, namun harus mundur karena ketiadaan biaya. Kenaikan biaya UKT, merupakan dampak dari liberalisasi perguruan tinggi negeri di tanah air. Melalui UU PTN-BHMN, negara memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangan dana, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Sebagai jalan pintas, maka kemudian banyak PTN yang menaikkan biaya UKT bahkan membuka jalur mandiri bagi mahasiswa yang mampu membayar mahal.
Anggaran APBN untuk pendidikan hanya 20 persen. Dan itupun masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Jumlah yang sangat kecil, jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN diseluruh Indonesia. Terlihat sekali bahwa pemerintah berlepas tangan terhadap pendidikan rakyatnya.
Padahal pendidikan merupakan kebutuhan mendasar, yang harus diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Mengingat bonus demografi yang akan datang di Indonesia, maka sejatinya pemerintah benar-benar memperhatikan para generasi penerusnya agar menerima pendidikan layak dan mumpuni dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis. Semua itu semata-mata agar bonus demografi yang akan datang tidak malah menjadi beban bagi pemerintah.
Dengan kondisi saat ini, dimana pendidikan tinggi menjadi kebutuhan tersier, maka secara tidak langsung pemerintah menjadikan generasi penerusnya hanya cukup lulus dari tingkat SMA saja. Padahal pekerjaan yang ada banyak yang menyerap tenaga kerja lulusan D3 atau S1. Lalu apa yang akan terjadi dengan mereka yang hanya lulusan SMA? Maka mau tidak mau mereka akan menjadi buruh, padahal semasa sekolah prestasi mereka baik dan berbakat. Hal inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah.
Islam merupakan satu-satunya sistem kehidupan yang sangat kuat mendorong umatnya agar terus menimba ilmu. Kewajiban meraih ilmu diantaranya ditetapkan melalui sabda Nabi Saw :
“Meraih ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan begitu dalam islam, pendidikan bukanlah pilihan apalagi kebutuhan tersier, melainkan merupakan hal pokok bahkan fardu. Syariah Islam mewajibkan negara untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan seperti membangun infrastruktur, menggaji pegawai dan tenaga pengajar, termasuk asrama dan kebutuhan hidup para pelajar. Nabi saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam/Khalifah itu pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu syariah Islam menetapkan bahwa negara memiliki sejumlah pemasukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Negara dalam Islam juga masih mendapat pemasukan dari kharaj, jizyah, infak dan sedekah, dsb. Seluruhnya bisa dialokasikan oleh Khalifah untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan.
Wallahu'alam
Posting Komentar