-->

Krisis Air Apa Solusinya?

Oleh: Henise

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Puan Maharani menyatakan bahwa kerja bersama seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan air. “Air menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan ke depan. Mengatasi permasalahan air harus menjadi komitmen semua elemen masyarakat dan penguasa termasuk masyarakat dunia,” ujar Puan dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (19/5/2024).

Krisis air bersih menjadi ancaman global, termasuk bagi Indonesia. Saat ini, Indonesia bergabung dengan 49 negara lainnya dalam Parliamentary Meeting on the Occasion of the 10th World Water Forum. Acara tersebut digelar dari tanggal 19 hingga 21 Mei di Nusa Dua, Bali. Forum internasional ini bertujuan membahas proyeksi krisis air yang diperkirakan akan mencapai puncak pada tahun 2050. Peran aktif Indonesia dalam forum ini menjadi krusial karena ketersediaan air juga merupakan aspek penting dari Sustainable Development Goals (SDG).

Krisis Air Bersih

Minimnya air bersih menjadi masalah serius di Indonesia. Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum yang terkontaminasi oleh bakteri Escherichia coli (E-coli). Capaian sanitasi Indonesia pada tahun yang sama hanya mencapai 7%, menegaskan bahwa ketersediaan air bersih sangat terbatas, dengan mayoritas air yang tidak layak untuk dikonsumsi.

Hasil riset BPS yang dirilis dalam Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023 menunjukkan bahwa 31,87% masyarakat Indonesia mengonsumsi air minum isi ulang, sementara 17,07% menggunakan air dari sumur bor. Hanya sekitar 8,92% masyarakat yang memiliki akses ke air leding (perpipaan), yang dianggap sebagai sumber air bersih yang paling ideal oleh BPS.
Di sisi lain, meskipun beberapa daerah memiliki pasokan air yang cukup, berlimpahnya air tidak selalu menghasilkan kemakmuran. Sebaliknya, seringkali berujung pada bencana, seperti banjir yang merusak lingkungan, rumah, dan infrastruktur.

Alternatif Penyediaan Infrastruktur Air

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang infrastruktur, Insannul Kamil, mencatat kekurangan dana sebesar Rp150 triliun untuk proyek penyediaan air minum. Dana dari APBN 2020-2024 sebesar Rp130 triliun, dengan 42% berasal dari APBN dan 24% dari kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
 
Oleh sebab itu pemerintah mendorong swasta untuk berinvestasi dalam proyek ini. Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Bobby Gafur Umar, menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak sepenuhnya mendanai proyek ini, dengan maksimal 20% dari APBN dan sisanya ditanggung oleh swasta (Media Indonesia, 7-05-2024).

Akar Permasalahan Krisis Air

Permasalahan krisis air yang terjadi akibat beberapa faktor yakni kurangnya investasi dalam infrastruktur air, polusi lingkungan, perubahan iklim, dan manajemen sumber daya air yang tidak efektif. Kebijakan pemerintah, seperti UU pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), terutama terkait perizinan tambang batubara dan nikel, menjadi salah satu faktor utama masalah air. Tambang-tambang tersebut membuang limbah tanpa pengolahan, mencemari air di sekitarnya dan menyulitkan masyarakat lokal untuk mendapatkan air bersih.

Penggundulan hutan, baik melalui penebangan liar, pembakaran, atau pembukaan tambang, juga menyebabkan hilangnya fungsi penyimpanan air tanah, meningkatkan risiko banjir, dan mengakibatkan kekeringan saat musim kemarau.

Kapitalisasi air oleh pengusaha air minum menyulitkan akses masyarakat terhadap air bersih, dengan pengendalian sumber air besar demi keuntungan pribadi, bahkan sementara air kemasan juga berasal dari sumber air lokal.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan bandara dapat mengurangi resapan air, meningkatkan risiko banjir di daerah sekitar.

Sistem kapitalisme mendorong keuntungan sebagai prioritas utama, sering kali mengorbankan hak masyarakat akan air bersih demi keuntungan pribadi. Negara, sebagai fasilitator, seringkali mengalihkan tanggung jawabnya kepada sektor swasta, mengurangi upaya mitigasi dan solusi jangka panjang terhadap masalah air.

Solusi Islam

Islam menegaskan kepemilikan air sebagai harta bersama umat manusia, menolak privatisasi air berdasarkan sabda Rasulullah yang menyatakan, "Muslim berserikat dalam tiga hal: padang gembalaan, air, dan api" (HR Abu Dawud). Hadis ini menegaskan bahwa air adalah harta milik umum, bukan milik individu atau badan tertentu.

Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, pemimpin (khalifah) menjalankan aturan sesuai syariat, mencegah pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur secara sembrono.

Khalifah akan mengalokasikan dana secara optimal untuk mengendalikan air guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan mencegah banjir, seperti yang dilakukan pada masa kegemilangan Islam. Contohnya, saat membangun Baghdad tahun 758M, khalifah menggunakan ilmu astronomi dan membangun bendungan, terusan, dan alat pemantauan untuk mengelola air.
Semua ini dibiayai dari baitulmal, kas negara yang berasal dari pendapatan seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

Sebagai negeri dengan masyoritas penduduk Muslim, Indonesia harus menawarkan solusi Islam dalam menangani krisis air, bukan hanya berpartisipasi dalam forum dunia dengan paradigma kapitalisme. Kapitalisme yang masih menguasai dunia akan terus memperburuk krisis air. Oleh karena itu, Islam menjadi solusi yang komprehensif dalam menangani masalah ini. 

Wallahu 'alam bishawab.