-->

Buruh oh Buruh, Mengapa Nasibmu Makin Keruh

Oleh: Anita Humayroh (Ibu Pembelajar)

Hari Buruh merupakan salah satu momen penting yang diperingati di Indonesia yang sering dikenal dengan istilah May Day. Momen tersebut diperingati pada tangga 1 Mei setiap tahunnya. Pemilihan tanggal tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Melainkan terdapat sejarah panjang di balik penetapannya. Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, menyebutkan sejarah penetapannya mengacu pada peristiwa bersejarah ketika serikat buruh di Amerika Serikat melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 1 Mei 1886.

Demonstrasi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kondisi kerja yang sangat eksploitatif pada masa itu, di mana para pekerja dipaksa bekerja 12 hingga 20 jam per hari. Aksi tersebut kemudian memancing reaksi yang besar di berbagai negara sehingga ditetapkanlah tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia. 

Peringatan Hari Buruh bertujuan untuk menghargai kontribusi buruh dalam masyarakat dan pembangunan ekonomi, serta untuk menjamin pemenuhan hak-hak mereka. Peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya diharapkan dapat terwujud, setelah mereka menunaikan tugas-tugas mereka dengan baik. 

Namun kaum buruh lagi lagi harus menelan pil pahit dari penerapan sistem kapitalis saat ini. Sejuta harapan yang diteriakkan nyatanya tak kunjung terealisasi. Nasih kaum buruh tetap saja keruh. 

Seperti yang terjadi di Morowali, sedikit contoh dari betapa buruknya kepekaan negara dalam memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Puluhan ribu buruh industri hilirisasi nikel di Morowali bertarung dengan mimpi setiap hari. Mereka memenuhi kamar sumpek di atas laut, jalanan yang rimbun dengan sampah hingga debu yang tiada habisnya. Kecelakaan kerja yang mengancam nyawa membayangi tak kenal waktu (Kompas.id, 13022024). Belum lagi ditambah biaya hidup yang tinggi dan pendapatan yang hanya cukup untuk sekedar memenuhi perut, karena sebagian penghasilan yang mereka dapatkan harus dikirim ke keluarga yang sedang menanti. Begitulah potret buram nestapa kaum buruh yang ada di dalam negeri.

Sistem kapitalis yang mendewakan materi takkan pernah memberi ruang bagi masyarakat kelas bawah untuk hidup sejahtera. Buruh dieksploitasi tenaganya dengan dukungan penuh oleh seluruh komponen regulasi yang ada. Buruh hanyalah salah satu faktor produksi, bak buih yang tak ada arti, tak perlu diperhitungkan dalam prinsip ekonomi kapitalistik. Ini terlihat jelas dari bagaimana mereka terus memperjuangkan kenaikan gaji dengan melakukan aksi unjuk rasa yang silih berganti.  

Masalah pada kaum buruh ini sebenarnya dipicu oleh aturan dasar yang digunakan dalam sistem kapitalis itu sendiri, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja sampai pada living cost terendah yang dijadikan sebagai penentu penetapan gaji buruh. Dengan kata lain, living cost terendah sudah pasti membuat gaji kaum buruh hanya cukup untuk sekedar mempertahankan hidup mereka, bukan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Nauudzubillah.

Sungguh sangat jauh berbeda dengan bagaimana Islam memandang buruh sebagai manusia yang juga memiliki hak untuk hidup sejahtera. Islam memiliki cara unik dalam mengatur kehidupan manusia dengan bersandar pada hukum Allah SWT. Negara Islam (Daulah Khilafah) tidak ada istilah kebebasan kepemilikan (Hurriyah Milkiyyah), namun mengajarkan konsep Ibahatu Al Milkiyyah, yaitu kebolehan atau kehalalan dalam kepemilikan. Kedua hal ini sungguh sangat jauh berbeda, yang terlihat jelas bagaimana Islam menyandarkan segala aktivitas masyarakatnya pada garis halal haram. Dan mengembalikan seluruh hukum dasar kepemilikan itu sendiri, yaitu mubah, namun tetap terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah.

Islam juga memiliki cara sendiri dalam menentukan standar gaji, yang dilihat dari manfaat tenaga yang digunakan (manfa'at al-juhd), bukan living cost terendah. Sehingga eksploitasi manusia tidak akan pernah terjadi dalam sistem Islam. Jika nantinya terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka mereka akan menunjuk pakar (khubara') yang akan menentukan upah sepadan (ajr al-mistl). Apabila keduanya belum juga menemukan kata sepakat, maka negara akan bertindak dalam memilihkan pakar untuk mereka yang sudah pasti keputusan pakar negara harus diikuti oleh kedua belah pihak. 

Mengenai aktivitas mogok kerja, pada dasarnya hal ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh dan majikan merupakan akad ijarah. Akad ijarah sendiri merupakan akad yang mengikat, bukan akad sukarela sehingga bisa dibatalkan oleh salah satu pihak. Sedangkan untuk dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada buruh, tidak ada dalam konsep Islam. Karena negaralah yang akan menjamin rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya pada saat mereka telah pensiun atau jika terjadi kecelakaan kerja yang berakibat si buruh tidak bisa lagi bekerja. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara bukan kewajiban majikan maupun perusahaan.

Wallahu a’lam bishawab.