-->

UKT Berbasis Pinjol, Bukti Pendidikan Makin Kapitalistik

Oleh: Nabila Fadel

Baru- baru ini dunia perguruan tinggi Indonesia dihebohkan dengan isu pembayaran biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) berbasis skema pinjol . Kejadian bermula saat 137 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ditawari pihak kampus untuk membayar tunggakan UKT mereka melalui fasilitas pembayaran Peer to Peer Lending dari lembaga Fintech yang mengantongi lisensi dari lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu PT Danacita. Tawaran ini menuai reaksi spontan yang cukup keras dari kalangan mahasiswa. Reaksi tersebut disampaikan melalui aksi unjuk rasa di Gedung Rektorat pada hari Senin pada tanggal 29 Januari 2024. Kebijakan pelibatan jasa pinjol dalam konteks ini dinilai pengunjuk rasa bertentangan dengan UU Dikti Pasal 76 Ayat 1: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademi”. Peristiwa unjuk rasa yang dimotori kalangan mahasiswa tersebut secara tersirat menunjukkan kinerja lembaga perguruan tinggi yang terkesan lebih mengutamakan pengambilan jalan praktis tanpa mempertimbangkan resiko atau implikasinya bagi mahasiswa penerima pinjaman online dimaksud.

Meski diprotes mahasiswa, pihak rektorat ternyata tidak mengabulkan tuntutan tersebut. Bahkan mahasiswa diminta berprasangka baik atas semua kebijakan, termasuk opsi pemberian pinjaman berbunga melalui lembaga Danacita tersebut. Walhasil, para mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT pun harus siap dicutikan.

Membayar UKT melalui pinjol menjadikan pendidikan makin kapitalistik. Kasus yang terjadi di ITB hanyalah gambaran dari banyaknya mahasiswa di berbagai kampus yang tidak mampu membayar uang kuliah hingga akhirnya terjerat pinjol. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena  semakin nyata hak mendapatkan pendidikan tinggi terganjal oleh kebijakan kapitalistik. 

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, karena makin nyata hak mendapatkan pendidikan tinggi terganjal oleh kebijakan kapitalistik. Setelah kampus negeri dengan sewenang-wenang menetapkan biaya kuliah melalui UKT yang mahal, kini kampus pun tidak berdaya menghadapi mereka yang tidak mampu membayar UKT. Alih-alih meringankan, kampus bahkan mengarahkan para mahasiswa untuk terjebak pinjol yang pasti memberatkan.

Hal ini menjadi bukti abainya negara yang amat jelas dalam memenuhi hak pendidikan. Dimulai sejak negara berlepas tangan dengan mendorong beberapa PTN menjadi PTN-BH. Perguruan tinggi tersebut harus otonom dalam pengelolaan keuangannya hingga berdampak pada tingginya biaya kuliah.  Sehingga tidak semua mahasiswa mampu membayar. Sementara itu, program beasiswa dan mekanisme keringanan pun tidak menjangkau semua mahasiswa. Sehingga hak pendidikan akan sulit diraih oleh mereka yang kekurangan. Di sini seharusnya negara berperan membantu, bukan malah menyerahkan urusan kepada lembaga keuangan swasta yang pasti menarik untung. Inilah bentuk kebijakan kapitalistik.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hakikatnya merupakan unit pelaksana teknis pendidikan yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara. Sedangkan pendidikan merupakan bagian dari pelayanan publik dan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Kampus dalam hal ini tidak boleh bertindak sewenang-wenang, apalagi bersikap transaksional. Jika tidak mampu membayar, maka tidak diberi layanan. Sedangkan kampus tidak peduli, apakah mereka yang terjerat pinjol tersebut benar-benar mendapatkan hak pendidikannya? 

Pada banyak kasus, justru kampus akhirnya menjadi pengusung kapitalisme itu sendiri. Tersebab berorientasi materi (harta) pasca-kuliah, bukan pada pengabdian ilmu, akibat sulit dan mahalnya mendapatkan pendidikan. Itulah bentuk kelalaian negara yang berkelanjutan, tata kelola pendidikan kapitalistik hanya akan melanggengkan kapitalisme.

Islam menegaskan adanya tanggung jawab negara dalam pengelolaan pendidikan mulai dari dasar hingga pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi berfungsi sangat strategis dalam membentuk SDM unggul maupun untuk melahirkan berbagai riset dan kemajuan teknologi sehingga membantu berjalannya fungsi negara sebagai penanggung jawab urusan rakyat.

Negara dalam sistem Islam akan menyediakan anggaran sesuai kebutuhan bagi berjalannya tujuan pendidikan tinggi tersebut. Ditopang oleh sistem politik dan ekonomi Islam, pengelolaan sumber-sumber kepemilikan umum akan mencukupi sehingga layanan pendidikan dapat diperoleh dengan biaya semurah mungkin, bahkan gratis. Ditambah lagi, negara berfungsi sebagai pelayan rakyat sehingga akan dijauhkan dari bentuk kebijakan yang melalaikan terpenuhinya hak rakyat. Dengan demikian, betapa urgensinya meninggalkan kapitalisme dan menegakkan sistem Khilafah sehingga hak pendidikan tinggi dapat dirasakan oleh seluruh umat.

Wallahu’alam bisshowab