-->

Omong Kosong HAM Sebagai Solusi Persoalan Dunia

Oleh: Yuni 

Majelis Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948 menetapkan 10 Desember sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Saat itu PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right/UDHR). Faktanya, meskipun peringatan dilakukan setiap tahun, namun tidak meminimalisir tingkat kejahatan terhadap kemanusiaan, apalagi bicara soal keadilan yang masih terbilang langka. 

HAM atau Hak asasi manusia dalam sistem sekuler adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja, sehingga sifatnya universal.

Mirisnya, mereka yang berada di garda terdepan dalam menyuarakan HAM justru mereka juga yang kerap melanggarnya. Seakan-akan HAM  hanya berlaku bagi mereka yang punya kepentingan atas HAM itu sendiri. Namun jika yang berseberangan dengan mereka yang jelas terintimidasi masih juga tidak ada pembelaan sejati.

Begitu juga di negeri ini. Hak asasi manusia yang dianut Indonesia bersumber dari Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Secara konseptual HAM yang terkandung dalam Pancasila mengakomodasi aspek manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pengakuan tentang HAM secara prinsipial tercermin dalam sila kedua (Pancasila).

Sayangnya, Indonesia mengalami penurunan atas Indeks Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2023 yaitu 3,2 yang sebelumnya mencapai 3,3. Hal tersebut diungkapkan oleh Setara Institute bersama Internasional NGO Forum on Indonesia Development (INFID), sebagaimana dilansir dari cnn.indonesia.

Setara juga mengungkap, Presiden Joko Widodo memiliki kinerja paling buruk dalam melindungi dan memenuhi hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat.

Sejak memimpin di tahun 2019, Joko Widodo disebut tak pernah berhasil mencapai skor indeks HAM di angka 4. Selama menjabat ia Jokowi hanya mampu mencapai skor indeks HAM tertinggi di angka 3,3.

Mengutip laman voanews.com,  Ita Fatia Nadia selaku Peneliti di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS), dalam diskusi di Jakarta, Jumat (8/12) menekankan setelah reformasi negara mestinya mengusut dan mengadili pihak-pihak yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat di masa lalu., yang menurutnya tidak pernah dilakukan.

"Ketika negara tidak memenuhi kewajibannya, negara telah melakukan impunitas. Impunitas adalah kegagalan negara melakukan penuntutan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang dianggap sebagai pelaku kejahatan serius menurut hukum internasional dan itu tidak pernah dilakukan," ujarnya.

Negara dianggap menutupi fakta sejarah kejahatan kemanusiaan dan menghindari kewajiban untuk melindungi warga negaranya, karena disinyalir merendahkan adab politik Indonesia, tetapi juga menunjukkan kegagalan negara. Dan didata selama kepemimpinan Joko Widodo, 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu gagal diwujudkan. Salah satu contoh, kasus terhadap pembunuhan Munir, yang membuat istrinya, Suciwati, merasa sangat kecewa karena penanganannya hingga saat ini tidak tuntas terungkap.

Namun dilain sisi, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan penyelesaian kasus HAM berat terus berjalan. Mahfud mengatakan, pemerintah menanganinya secara serius.

Sementara Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Wirya Adiwena menyoroti akuntabilitas aparat keamanan yang ikut memperlemah upaya penegakan hukum di Indonesia. Ini mencakup penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan dalam menghadapi masyarakat adat sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang baru-baru ini. Dimana saat itu, aparat menggunakan kekuatan yang berlebihan dengan tanpa iba menembakkan meriam air dan gas air mata ke arah masyarakat yang menolak proyek Eco City di Rempang. Puluhan siswa sekolah sempat dilarikan ke rumah sakit karena insiden tersebut, yang kemudian bergulir menjadi kerusuhan.

Amnesty Internasional Indonesia juga mencatat penggunaan gas air mata serupa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Oktober 2022 yang menewaskan 35 orang dan menciderai 433 orang lainnnya.

Melansir  dari antara.com, Menteri Hukum dan HAM (Menhumkam) Yasonna H. Laoly mengungkapkan peringatan Hari HAM sedunia ke-75 dianggap Yasonna dapat menjadi momentum untuk merefleksikan prinsip-prinsip HAM.

Disaat Dunia sibuk menjadikan HAM sebagai standar dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di dunia. Namun bagi seorang muslim, HAM adalah prinsip yang salah karena menjadikan manusia bebas berbuat tanpa aturan. Sementara sebagai manusia fitrahnya adalah lemah, dan terbatas. 

Sementara penerapan HAM dalam kehidupan akan cenderung bertabrakan dengan kepentingan orang lain, sehingga menjadikan persoalan tak kunjung selesai, bahkan tak dipungkiri bisa menyimpan bahaya pada masa yang akan datang.

Islam telah menetapkan bahwa semua perbuatan manusia terikat dengan hukum syara. Dan dengan penerapan Islam secara kaffah hak dasar manusia akan terpenuhi begitu juga terpenuhinya maqasid syariah sehingga manusia dapat hidup dengan tenang.

Sejarah telah banyak membuktikan bagaimana hidup dalam naungan Islam, sekalipun non muslim akan mendapatkan perlakuan yang sama terkait kesejahteraan dan keadilan sebagaimana seorang muslim yang hidup dalam naungan Islam.

Oleh karena itu, kembali pada sistem Islam hakikatnya suatu keharusan yang tidak seharusnya ditolak. Jika ingin hak-hak dan fitrahnya sebagai manusia yang diidamkan terwujud sebagaimana mestinya. Dan sistem Islam bukan hanya omong kosong layaknya HAM dalam sistem sekuler kapitalisme saat ini yang selalu disebut sebagai solusi permasalahan dunia.

Wallahu A'lam Bish Shawab