-->

Ironi Demokrasi: Politisasi Bansos Sebagai Kenyataan

Oleh: Umma Almyra (Pegiat Literasi)

Pemilihan Umum 2024 tanpa terasa tinggal menghitung hari. Kontroversi terkait pemberian bantuan sosial yang rentan dipolitisasi menjelang pemilihan umum terus meningkat. Hal ini dinilai dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi dan para menteri yang terlibat dalam mendukung kampanye calon pasangan presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam meraih suara rakyat.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak tahun lalu telah menyalurkan berbagai jenis bantuan sosial (bansos), termasuk bantuan beras 10 kilogram, BLT El Nino sebesar Rp 200 ribu per bulan, dan yang terbaru, BLT mitigasi risiko pangan sebesar Rp 200 ribu per bulan. Dengan tujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat menengah kebawah. Semakin memperjelas politisasi dalam penyaluran bantuan sosial.

“Yang kasih bansos dan BLT (bantuan langsung tunai) siapa? (Pak Jokowi!). Yang suka sama Jokowi angkat tangan!! (Yaaa)…”

Tidak cukup sampai disitu, sebuah ajakan dari pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan ketika berkampanye di Kendal, Jawa Tengah, mencerminkan meningkatnya isu politisasi bansos menjelang Pemilu 2024. Meskipun dianggap sebagai program bantuan untuk rakyat miskin, dugaan penggunaan bansos sebagai alat kampanye semakin tersebar luas, terutama setelah munculnya foto dan video yang menampilkan bantuan sosial dengan gambar pasangan Prabowo-Gibran.

Pernyataan ini menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pihak, termasuk politisi PDI Perjuangan Aria Bima yang menilai politisasi bantuan sosial untuk kepentingan elektoral tidak etis. Anies Baswedan juga menegaskan pentingnya agar bantuan sosial tidak diklaim sebagai bantuan pribadi karena bersumber dari uang rakyat yang diperoleh dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat Indonesia. Anies menjelaskan bahwa bansos dibeli dengan uang pajak yang seharusnya disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan, bukan diatribusikan kepada individu tertentu.

Hanya Imbauan Belaka

Total 28.7% pemilih yang masih ragu, dan pendistribusian bansos ini di curigai oleh publik sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik. Akibatnya, program bansos disalahgunakan untuk kepentingan politik (pansos).

Ironisnya, Bawaslu yang seharusnya mengawasi pelanggaran tidak mengambil langkah tegas. Meskipun ada alternatif untuk mencegah pejabat menggunakan bansos sebagai alat kampanye, yaitu meminta mereka untuk cuti dari tugas negara, namun hal ini tidak dilaksanakan.

Totok Hariyono, anggota Bawaslu, menyatakan, "Bawaslu telah mengingatkan kepada presiden dan pejabat negara agar menghindari pelanggaran kampanye atau tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Sebagai seorang negarawan, diharapkan [presiden] telah memahami dengan baik tentang prinsip etika dalam kepemimpinan."

Kekuasaan merupakan magnet yang memikat banyak orang, terutama dalam panggung politik. Kesempatan untuk memegang kendali atas kebijakan dan arah suatu negara seringkali menarik minat individu untuk melakukan apa saja yang diperlukan guna mencapai posisi tersebut. Faktanya, sistem demokrasi dengan prinsip kebebasan berperilaku memberikan ruang bagi praktik-praktik semacam ini. Sistem yang didasarkan pada pilihan mayoritas ini kerap kali dianggap mengesampingkan aturan-aturan agama dalam aspek-aspek kehidupan tertentu, menciptakan ironi antara nilai-nilai spiritualitas dan praktik politik sehari-hari.

Di satu sisi, faktor seperti kesadaran politik yang rendah, tingkat pendidikan yang belum merata, dan persoalan kemiskinan yang menjadi kenyataan sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat, menyebabkan banyak orang cenderung bersikap pragmatis. Dalam situasi seperti ini, tidak sulit bagi politisi untuk memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kecenderungan untuk memilih jalan pintas dan solusi instan, terutama dalam bentuk bantuan sosial atau bansos, menjadi semakin menonjol menjelang periode pemilihan umum, di mana upaya memenangkan hati rakyat menjadi agenda utama.

Bansos yang dikucurkan pemerintah seharusnya menjadi bagian dari strategi komprehensif untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, realitas yang sering muncul adalah pendekatan yang bersifat sementara dan situasional, tanpa menyentuh akar permasalahan sebenarnya. Apalagi jika distribusi bansos meningkat drastis saat menjelang pemilu, pertanyaan mengenai motif sebenarnya di balik pemberian bantuan ini menjadi hangat diperdebatkan. Apakah tujuannya memang untuk meringankan beban rakyat atau hanya sekedar strategi politik belaka?

Solusi Dalam Islam

Dalam konteks ini, Islam menawarkan perspektif yang berbeda tentang bagaimana negara harus berfungsi dalam mensejahterakan rakyatnya. Islam mengajarkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan setiap individu. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh regulasi produk demokrasi yang hanya menguntungkan untuk oligarki kapitalis semata.

Aturan yang diciptakan oleh para pejabat dan politisi telah menyebabkan Rakyat tidak memperoleh manfaat apapun kecuali polusi dan kerusakan habitat mereka di darat dan laut, yang mengakibatkan mereka hidup dalam kemiskinan. Mereka berjuang setiap hari untuk bertahan hidup di tengah lonjakan harga bahan pokok dan kesulitan mencari nafkah.

Dibutuhkan sebuah  tindakan tegas dari pemerintah untuk mengakhiri kendali swasta atas pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Namun, sikap tegas ini sulit tercapai dalam sistem kapitalis yang cenderung mendorong privatisasi pengelolaan sumber daya alam.

Dalam sistem Islam secara tegas melarang sektor swasta mengontrol sumber daya yang seharusnya dimiliki bersama. Dalam sistem Khilafah, kekayaan alam akan dikelola secara independen dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat, termasuk hasil olahan (seperti BBM) dan pelayanan publik gratis berkualitas seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Lebih dari itu, Islam juga menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Penguasa diharapkan untuk mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara' atau hukum Islam, yang menekankan pada keadilan dan kesejahteraan umum. Islam mengatur berbagai metode, seperti mewajibkan pekerjaan bagi pria dewasa, serta tanggung jawab seorang pria dewasa untuk memberi nafkah kepada istrinya dan anak-anaknya. Untuk mereka yang lemah secara fisik dan tidak memiliki sanak keluarga untuk menafkahi, negara akan menyediakan bantuan teratur untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Para pemimpin dalam Islam percaya bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt. Dengan demikian, para pemimpin di bawah sistem Islam akan mengelola rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Orang-orang yang menjabat sebagai pemimpin dan pegawai adalah individu dengan nilai-nilai Islam, yang akan bertindak dengan integritas dan kejujuran dalam menjalankan tugas mereka. Mereka tidak akan menyalahgunakan posisi atau kekuasaan mereka untuk tujuan politik pribadi.

Dalam proses pemilihan pemimpin,negara akan memanfaatkan sistem pendidikan serta media informasi dan komunikasi untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, termasuk kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pemimpin, sehingga masyarakat akan teredukasi mengenai karakteristik yang seharusnya ada pada pemimpin dalam Islam.

Pada saat yang sama, seorang pemimpin muslim dalam sistem Khilafah dijamin memiliki iman dan ketakwaan yang kuat terhadap Allah, yang menjamin mereka tidak akan menyalahgunakan wewenang mereka. Selain itu, pemimpin tersebut telah terbukti memiliki kemampuan yang diperlukan, sehingga tidak perlu bergantung pada pencitraan demi popularitas. Kualitas-kualitas ini akan secara alami membuat rakyat menghormati dan mencintainya karena keimanan, ketakwaan, dan kemampuan kepemimpinannya yang terbukti. 

Wallahualam bissawab.