-->

Jaminan Halal Tanggung Jawab Negara, Haram Dikomersialkan

Oleh: Ummu Aqila

Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham mengatakan, semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di Tanah Air wajib mengurus sertifikasi halal paling lambat 17 Oktober 2024. Sertiifikat halal berlaku bagi seluruh pedagang termasuk dari kalangan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) wajib mengurus sertifikasi halal. 

Apabila kedapatan tak mempunyai sertifikat tersebut maka akan dikenakan sanksi. Sanksi yang akan diberikan dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Sanksi tersebut diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. 

Berdasarkan regulasi Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama pada Oktober mendatang. “Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan." kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham di Jakarta, dikutip Tirto, Jumat (2/2/2024).

Sertifikasi halal adalah proses penilaian yang dilakukan oleh otoritas resmi atau lembaga independen untuk menentukan apakah produk atau layanan memenuhi standar halal, yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam.  Sertifikasi halal tidak hanya berlaku untuk produk makanan dan minuman, tetapi juga dapat diberikan untuk produk-produk lain seperti kosmetik, obat-obatan, dan layanan tertentu seperti restoran atau hotel. Hal ini memungkinkan konsumen Muslim untuk memilih produk dan layanan yang sesuai dengan keyakinan agama mereka.

Proses sertifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk atau layanan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan dalam Islam dan diproses sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Soal makanan dan minuman, status halal dan tayib adalah mutlak bagi kaum muslim. Makanan/minuman yang mengandung keharaman, baik pada zatnya (meski sedikit) maupun prosesnya, tentu tertolak. Sebagaimana  tercantum di dalam dua ayat berikut ini:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 88).

Dalam kedua ayat di atas sudah jelas bahwa mengabaikan aspek halal dan tayib adalah tindakan mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan menerapkan konsep halal dan tayib adalah bagian dari keimanan kepada Allah Taala.

Penting memastikan setiap yang dikonsumsi adalah halal karena ada konsekuensi tidak diterimanya ibadah dan doa ketika masuk makanan yang tidak halal. Sabda Rasulullah saw. riwayat Imam Muslim, 

“Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh sehingga rambutnya kusut dan wajahnya berdebu. la menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal, yang dimakannya adalah haram maka bagaimana akan diterimanya doa itu?”

Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi, lanjutnya, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.”

Jaminan sertifikasi halal menjadi salah satu bentuk layanan negara kepada rakyat, karena peran negara adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Apalagi kehalalan juga merupakan kewajiban agama. Jaminan produk halal sejatinya merupakan hak rakyat dari pemimpinnya. Oleh karenanya, atas dorongan iman dan kewajiban, negara sudah semestinya melakukan berbagai cara untuk memastikan semua barang konsumsi rakyat dijamin kehalalannya, termasuk melalui aturan sertifikasi halal.

Aturan ini tentu tidak boleh membebani rakyat, terutama para produsen barang. Mereka justru harus diberi kemudahan, termasuk dalam hal regulasi dan pembiayaan. Karena sekali lagi, tugas negara adalah mengurus seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka.

Dalam sistem sekarang, pengurusan sertifikat tidaklah semuanya gratis. Negara memang menyediakan layanan sertifikasi halal gratis sejak januari 2023, namun jumlahnya sedikit jika dikaitkan dengan keberadaan PKL yang berkisar 22 juta di seluruh Indonesia. Apalagi sertifikasi ini juga ada masa berlakunya, sehingga perlu sertifikasi ulang secara berkala. Banyak ditemui dimasyarakat sertifikat halal juga dikormersialisasi sehingga menambah beban masyarakat dalam mendapatkan sertifikasi halal.

Dalam kondisi sepeti ini tentunya sangat berat dirasakan pedagang kecil. Biaya sertifikasi walaupun dikelompokkan tingkatannya , namun di rasa masih terbilang mahal. Masyarakatpun beragam tanggapan dengan kepastian kehalalan produk. Selain prosesnya yang ribet bagi kalangan tertentu  dan berbiaya mahal, dibarengi pemahaman masyarakat yang awam. Masyarakat memahami “asal bukan babi” dianggap halal, sementara itu banyak produk derivat dari zat yang haram menjadi bahan tambahan berupa makanan dan minuman yang haram.

Dalam sistem Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat, termasuk juga dalam melindungi akidah/agama. Oleh karena itu Negara harus hadir dalam memberikan Jaminan halal. Apalagi kehalalan produk berkaitan erat dengan kondisi manusia di dunia dan akherat, baik secara jasmani maupun Rohani. Negara memberikan layanan ini secara gratis, mengedukasi pedagang dan setiap individu rakyat agar sadar halal dan mewujudkan dengan penuh kesadaran.

Negara  juga akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal dan melayani dengan kemudahan birokrasi secara cepat dan mudah. Wallahualam bishowab.