-->

'Halal' Harus Pasti Bukan Disertifikasi

Oleh: Dewi Wulansari (Aktivis Dakwah)

Memasuki bulan kedua tahun 2024, Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia diimbau untuk mengurus sertifikasi halal produknya paling lambat 17 Oktober 2024. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham (tirto.id, 3/2/2024). Tidak hanya PKL, peraturan ini juga diwajibkan untuk seluruh pedagang termasuk dari kalangan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Menurut Aqil, Berdasarkan regulasi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal pada Oktober 2024. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Melansir www.liputan6.com, 2/2/2024 terkait biaya yang diperlukan untuk pembuatan sertifikasi halal terdiri dari dua jenis tarif, yaitu tarif pelayanan utama dan tarif pelayanan penunjang. Tarif pelayanan utama mencakup berbagai aspek, seperti sertifikasi halal barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, layanan pelatihan auditor dan penyelia halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan penyelia halal. Sementara itu, tarif pelayanan penunjang melibatkan biaya terkait dengan penggunaan lahan, ruangan, gedung, bangunan, peralatan, mesin, dan bahkan kendaraan bermotor. Tarif yang dikenakan mulai dari Rp300.000 sampai Rp12.500.000 dan tarif perpanjangan yang dikenakan mulai dari Rp200.000 sampai Rp5.000.000, besar kecilnya tarif bergantung pada jenis usaha.

Guna memberikan dukungan terhadap usaha mikro dan kecil (UMKM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mulai 2 Januari 2024 membuka pendaftaran sertifikasi halal secara GRATIS. Pemilik usaha dapat menggunakan tautan khusus yang disiapkan Kemenkop UKM dengan sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi.

Angin Segar

Sertifikasi halal yang dicanangkan pemerintah seolah memberikan angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia yang mayoritas adalah muslim. Sehingga akan lebih banyak dan mudah memilih makanan yang halal sesuai dengan syariat Islam. Program ini laiknya akan memberikan dampak positif berupa keuntungan bagi para pelaku usaha guna mendapatkan tempat di hati konsumen karena telah tersertifikasi halal. Terlebih di tahun 2023 Kemenag telah memberikan kuota sertifikasi halal gratis sebanyak 1 juta. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah PKL yang mencapai 22 juta orang. Ditambah dengan pemberian masa perpanjangan setiap 4 tahun sekali, akan semakin menyulitkan PKL yang notabene sebagian dari mereka tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengurus hal demikian. Sehingga terkadang mereka menyerahkan kepada pihak lain, sehingga akan muncul biaya tambahan sebagai ‘biaya minta tolong’.

Komitmen yang diberikan pemerintah kepada masyarakat muslim dan pelaku usaha patut diapresiasi. Namun, dalam prosesnya akan mudah ditemukan pungli, dan ini akan menambah kerugian pelaku usaha terutama PKL. Hasil usaha yang kemungkinan besar hanya mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari, harus dibebani dengan kewajiban lain. Karena seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan gratis sebagai penunjang kebutuhan pokok rakyatnya, bukan lantas dikomersialisasi.

Mengancam Akidah/Agama

Negara sudah sepatutnya mengontrol setiap kehalalan produk yang beredar. Terlebih, Indonesia adalah negara muslim terbesar di Dunia. Dengan ini, halal merupakan suatu kepastian yang harus diupayakan negara untuk menjaga setiap jiwa muslim. Karena masuknya sesuatu ke dalam diri seorang muslim akan berdampak pada jasmani maupun rohani muslim tersebut. Maka, menjaga kehalalan makanan merupakan perkara pokok yang harus diupayakan negara sebagai pengurus rakyat.

Namun, dalam sistem kapitalisme, kehalalan suatu produk dapat dikomersialisasi dengan mudah. Karena azas dari sistem tersebut adalah sekulerisme dengan mengutamakan keuntungan pribadi. Maka, sebuah keniscayaan, jika halal dan haram akan semakin terkaburkan ulah sekulerisme serta beralihnya peran negara dalam sistem kapitalisme adalah hanya sebagai regulator atau fasilitator semata.

Islam Menjaga Akidah/Agama

Syariat Islam memiliki standar baku halal dan haram dalam berkehidupan. Aspek ini dapat meliputi makanan, minuman, proses pengolahan dan lain-lain. Karenanya negara di dalam Islam akan mengupayakan kehalalan setiap produk yang dikonsumsi oleh rakyat. Mulai dari bahan baku, proses pengolahan, hingga pendistribusiannya, negara akan melakukan pengawasan serta pendampingan secara totalitas dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengurus urusan rakyat.

Rasulullah saw. pernah bersabda dalam beberapa hadits, bahwa akibat yang ditimbulkan dari mengonsumsi makanan haram adalah rusaknya fisik dan juga psikis seorang muslim. Peringatan ini dikarenakan yang mengonsumsi makanan haram tidak akan diterima amal ibadahnya, mengeraskan hati, melunturkan iman dan peringatan terbesarnya adalah akan dicampakkan ke dalam neraka. Rasulullah saw. bersabda "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR. Tirmidzi). Na’udzubillahi mindzaliik..

Maka, untuk mewujudkan hati, jiwa dan perilaku yang bersih dari seorang muslim, kita perlu mengupayakan kehalalan setiap makanan yang kita konsumsi. Hal ini tidak dapat diwujudkan per individu semata, melainkan butuh sekup lebih besar yang memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mewujudkannya. Yakni sebuah institusi negara, yang akan senantiasa mengedukasi pedagang  dan setiap individu rakyat agar sadar halal dan mewujudkan dengan penuh kesadaran. Disamping itu, Khilafah akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal dan melayani dengan kemudahan birokrasi secara cepat dan mudah. Sehingga seluruh elemen pelaku usaha dapat mengaksesnya tanpa terbebani. Maka, sebagai seorang muslim yang sadar akan urgensi pengurusan negara terhadap kehalalan suatu produk, sudah selayaknya memperjuangkan Islam untuk diterapkan dalam ranah negara. Agar terwujud Islam Rahmatan Lil’alamiin.

Wallahua’lam Bishowab