-->

Komersialisasi TOL Kian Nyata dalam Sistem Kapitalisme

Oleh: Ledy Ummu Zaid

Adakah yang belum pernah lewat jalan TOL? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), TOL yang merupakan singkatan dari Tax On Location memiliki beberapa arti, yaitu pertama, pajak untuk memasuki jalan tertentu (misalnya jalan bebas hambatan atau jalan layang). Kedua, jalan yang mengenakan bea bagi pemakainya. Ketiga, bea masuk kendaraan dan barang impor lainnya. Keempat, pintu cukai atau gerbang cukai. Dari sini, dapat kita pahami bahwasanya melewati jalan TOL atau jalan layang yang bebas hambatan tersebut tidaklah gratis alias berbayar. Rakyat tidak bebas menggunakannya sewaktu-waktu, baik ketika urgent maupun tidak. Apalagi jika tarifnya naik, sudah dapat dipastikan animo masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah akan berpikir dua kali untuk menggunakannya, dan lebih memilih lewat jalan biasa, meski harus rela bermacet-macet ria dan memakan banyak waktu.

Dilansir dari laman kompas.com (16/01/24), Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada Senin (15/01) mengumumkan rencana kenaikan tarif TOL untuk 13 ruas jalan TOL pada Kuartal I-2024. Adapun rencana ini termasuk ruas-ruas TOL yang sebelumnya dijadwalkan untuk penyesuaian tarif pada tahun 2023 namun masih dalam proses. Kepala BPJT, Miftachul Munir menyebutkan ruas TOL mana saja yang akan mengalami kenaikan tarif, seperti Jalan Tol Surabaya-Gresik, Jalan Tol Kertosono-Mojokerto, Jalan Tol Bali-Mandara, Jalan Tol Serpong-Cinere, Jalan Tol Ciawi-Sukabumi, Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo, Jalan Tol Makassar Seksi 4, Jalan Tol Dalam Kota Jakarta, Jalan Tol Gempol-Pandaan, Jalan Tol Surabaya-Mojokerto, Jalan Tol Cikampek-Palimanan (Cipali), Jalan Tol Cibitung-Cilincing Seksi 1, Jalan Tol Integrasi Jakarta-Tangerang dan Tangerang-Merak. 

Geram sekali rasanya mengingat tarif TOL yang akan dinaikkan meliputi rute-rute strategis yang biasanya banyak dilewati masyarakat. Wacana kenaikan tarif TOL ini sepertinya tepat sekali digaungkan menjelang arus mudik lebaran tahun 2024 yang akan terjadi beberapa bulan lagi. Dilansir dari laman kompas.com (15/01/24), Miftachul Munir selaku Kepala BPJT menyampaikan jadwal penyesuaian tarif TOL pada Kuartal I-2024 tersebut akan dilakukan setelah Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan TOL terpenuhi. Adapun aturan penyesuaian tarif TOL ini sudah ditetapkan dalam UU Jalan No. 2 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Di dalam Pasal 48 Ayat 3 misalnya, jelas tertulis bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif TOL dapat dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi dan evaluasi terhadap pemenuhan SPM jalan TOL.

Sebenarnya yang tak kalah mengejutkan adalah latar belakang rencana kenaikan tarif TOL itu sendiri yang sangat tidak menguntungkan rakyat, malah sebaliknya berpihak pada para investor saja. Dilansir dari laman kompas.com (15/01/24), penyesuaian tarif TOL tersebut dibutuhkan untuk memastikan iklim investasi jalan TOL tetap kondusif, menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar terhadap industri jalan TOL yang prospektif di Indonesia, serta menjamin level of service pengelola jalan TOL supaya tetap sesuai dengan SPM Jalan TOL. Inilah gambaran riil dari pelaksanaan ekonomi kapitalisme dalam sistem sekulerisme dengan asas kapitalismenya hari ini. Adapun kebijakan yang dibuat selalu untuk mencari keuntungan belaka. Sayangnya, bukan rakyat sendiri yang diuntungkan melainkan pihak asing penjajah yang meraup pundi-pundi rupiah dari kantong rakyat. Akhirnya, lagi-lagi dapat kita simpulkan bahwasanya hanya yang punya uang yang bisa menikmati segalanya, termasuk jalan TOL ini.

Rencana kenaikan tarif jalan TOL ini menunjukkan jelas adanya komersialisasi fasilitas publik. Adapun kenaikan secara berkala dengan alasan penyesuaian kondisi juga menunjukkan bagaimana hubungan rakyat dan penguasa dalam sistem demokrasi yang dianut negeri ini.  Jika kita mau melihat lebih dalam, hubungan ini sebenarnya merupakan potret buruk sistem yang menjadi landasan kehidupan rakyat hari ini. Bagaimana tidak, penguasa secara liberal atau bebas membuka pintu masuk kepada pihak swasta yang akan berinvestasi dalam pembangunan fasilitas publik. Padahal, faktanya adalah fasilitas tersebut menggunakan anggaran dari rakyat, sedangkan para investor malah dibantu lembaga-lembaga pendanaan. Ironi bukan, jalan TOL yang mana kebutuhan rakyat untuk mendapatkan transportasi yang aman, lancar dan efisien, tetapi sebaliknya malah merugikan dan semakin memberatkan kehidupan rakyat.

Tentu persoalan transportasi ini tidak akan serumit dan sekompleks ini jika sistem kehidupan yang digunakan untuk mengatur kehidupan rakyat bersumber dari Al-Khaliq, Allah subhanahu wa ta’ala, Sang Pencipta seluruh alam. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita menganut sistem Islam yang tertuang dalam bingkai pemerintahan Khilafah Islamiyah. Seperti pada zaman Khulafur Rasyidin, sistem Islam mampu mengatur kehidupan setiap individu dengan baik dan benar sesuai syariat Islam. Adapun seorang khalifah akan sangat berhati-hati menetapkan aturan untuk rakyat, apakah melanggar hukum syara’ atau tidak. Kemudian, kebijakan yang diambil pasti adil dan tidak menzalimi antara satu pihak dan lainnya. 

Islam memandang jalan raya adalah bagian dari pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok dan penting. Jalan raya yang mana termasuk kepemilikan umum, maka negara dilarang untuk mengkomersialisasi kebutuhan rakyat tersebut. Daulah atau negara Islam akan menjamin kebutuhan rakyat termasuk dalam bidang transportasi, baik sarana maupun prasarana yang memungkinkan umat dapat beraktivitas dengan nyaman dan aman. Dalam pengadaan jalan raya, negara tidak akan menjadikannya sebagai ladang keuntungan semata, melainkan sebagai kewajiban memenuhi kebutuhan rakyat. Adapun biayanya diambil dari pos kepemilikan umum, yaitu Baitul Maal. Pemasukan negara pun jelas tidak serta merta dibebankan oleh rakyat, tetapi melalui pengelolaan Sumber Daya Alam. Pihak swasta tidak mungkin dibiarkan memprivatisasi SDA milik negara karena termasuk kepemilikan umum.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Maidah : 50). Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwasanya kita wajib menjalankan hukum dan aturan Allah subhanahu wa ta’ala semata. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai muslim merindukan penerapan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh di tengah-tengah umat. Jika semua diatur dengan aturan yang benar, maka komersialisasi fasilitas publik, termasuk jalan TOL tidak akan terjadi lagi. Sebaliknya, jika umat diatur dengan sistem kufur sekulerisme kapitalisme, maka komersialisasi kepemilikan publik kian marak dan akan terus menyengsarakan rakyat. Wallahu a’lam bishshowab.