-->

Perubahan Hakiki Mungkinkah Melalui Demokrasi?

Oleh: Ida Nurchayati (Aktifis)

Tahun 2024 tahun politik. Berbagai spanduk parpol, caleg maupun capres dan cawapres ramai menghiasi sisi kanan kiri jalan. Pertanda pesta demokrasi pemilu, gelaran hajatan politik lima tahunan  kian dekat. Hiruk pikuk kampanye  hingga debat capres dan cawapres ramai baik didunia maya maupun nyata. Rakyat kembali terbelah saling mendukung paslon dukungannya. 

Umat Islam pun tak ketinggalan. Berbagai jargon, ajakan hingga fatwa MUI berseliweran di dunia maya menghimbau umat agar terlibat. "Gunakan hak pilih anda, suara anda menentukan nasib bangsa". "Jangan golput, agar negara tidak dikuasai orang kafir dan dzalim". "Bila tidak ada yang terbaik, pilihlah pemimpin dengan mudharat yang paling kecil". Umat berharap ada perbaikan signifikan ketika calon terpilih religius dan berpihak pada Islam.

Hampir 80 tahun Indonesia merdeka, berkali pemilu diselenggarakan, presiden dari berbagai latar belakang terpilih, alih-alih nasib bangsa kian membaik namun kondisi bangsa kian memprihatinkan. Apakah benar problematika bangsa hanya sekedar salah memilih pemimpin?

 Watak Asli Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal saat ini. Kedaulatan ada ditangan rakyat. Slogan yang diangkat pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Penguasa dalam demokrasi dipilih rakyat melalui mekanisme pemilu. Inilah janji manis demokrasi yang membius umat. Namun realita demokrasi tak seindah slogan yang dijanjikan, bahkan mengandung ide kufur yang mematikan. Mengapa?

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari akidah sekuler, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dipakai untuk urusan individu dan ibadah. Falsafah ini melahirkan kebebasan bagi manusia untuk berakidah, berpendapat, bertingkah laku dan kepemilikan. Kebebasan individu sangat dijunjung tinggi dalam sistem ini, negara hadir hanya sebagai wasit untuk menjamin kebebasan tersebut.

Nilai tertinggi adalah nilai atau aturan yang dibuat manusia. Kekuasaan membuat hukum, menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela, ada ditangan rakyat. Manusia tidak terikat dengan hukum syarak. Padahal kebebasan manusia membuat aturan sumber lahirnya problematika diseluruh aspek kehidupan. Inilah makna hakiki demokrasi. Kafir barat menyadari ketika umat memahami hal ini, umat tidak pernah mau menerima demokrasi, maka barat berupaya memasukkan demokrasi ketengah umat melalui upaya penyesatan (tadhlil), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa. Barat berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar demokrasi itu sendiri, yakni tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal haram ditangan manusia bukan Tuhan manusia. Ironisnya, strategi kafir barat ini tidak disadari umat.

Manisnya teori demokrasi juga  sebatas diatas kertas. Demokrasi bukan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tapi dari rakyat oleh rakyat untuk konglomerat. Rakyat ibarat pendorong mobil mogok, suaranya dibutuhkan saat pemilu, ketika penguasa  meraih kursi justru mengabdi pada oligarki. Sistem demokrasi sistem politik berbiaya mahal, kontestan harus berkantong tebal, jika tidak maka butuh pemodal. Tak ada makan siang gratis, maka penguasa hakiki dalam demokrasi adalah kaum oligarki. Penguasa terpilih juga bukan murni pilihan rakyat tapi pilihan yang disodorkan elit partai yang mendapat restu oligarki. Pemenang dalam pemilu sudah bisa dipastikan paslon yang direstui oligarki. Tatanan ini melahirkan kesenjangan yang semakin dalam. Lantas, masihkah kita berharap perubahan terjadi melalui sistem demokrasi?

 Perubahan hanya dengan Islam

Perubahan hakiki akan terjadi dengan syarat, menyadari adanya fakta yang penuh kerusakan dan kedzaliman, memahami arah perubahan yang shahih yakni sistem pengganti harus baik dan benar berasal dari Maha Pencipta dan Maha Pengatur, serta mengetahui metode perubahan yang benar.

Tiga belas abad yang lalu, Rasulullah mencontohkan bagaimana mewujudkan perubahan. Rasulullah merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam melalui dakwah. Yakni dakwah berjamaah yang sifatnya politis idiologis, merubah tatanan kehidupan masyarakat berdasar mabda yang shahih yakni  Islam.

Harus ada upaya penyadaran terus-menerus terhadap umat bahwa realitas yang rusak saat ini bukan sekedar salah memilih pemimpin tapi disebabkan penerapan sistem yang rusak dan merusak yakni sistem sekuler kapitalis demokrasi yang menegasikan peran agama dalam kehidupan. Umat juga harus dipahamkan bahwa solusi hakiki atas segala problematika yang terjadi hanya kembali pada syariat yang berasal dari Sang Maha Pencipta Manusia. 

Metode perubahan mengikuti metode dakwah Nabi SAW, suri teladan terbaik sepanjang jaman. Sejak beliau diangkat menjadi rasul, kehidupan beliau adalah kehidupan dakwah, amar makruf nahi munkar. Dakwah beliau bersifat politis idiologis, yakni merubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Tidak hanya memperbaiki individu tetapi melakukan perubahan sistemik yakni merubah  sistem politik, sistem ekononi, sistem hukum dan sistem sosial budaya dengan bimbingan wahyu dari Allah SWT. Beliau menerapkan syariat Islam secara kaffah dengan mendirikan Negara Islam Madinah. Institusi yang secara efektif  menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan dalam negeri serta mengemban dakwah dan jihad keseluruh alam.

Oleh karena itu jika menghendaki perubahan hakiki, tidak ada cara lain kecuali mengikuti apa yang pernah dikakukan oleh Rasulullah SAW, amar makruf nahi munkar. Bukan sekedar mengganti pemegang kekuasaan melalui pemilu demokrasi, tetapi dengan mengganti sistem sekuler kapitalis demokrasi yang rusak dan merusak, yang selama ini dijadikan landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Sistem alternatif tersebut adalah sistem Islam dalan bingkai Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam