-->

Bencana Deforestasi Dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme

Oleh: Maziyahtul Hikmah S.Si

Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud Md menyebut bahwa Indonesia merupakan negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia (liputan6.com). Meskipun secara fakta Indonesia tidak menempati peringkat tertinggi di dunia, akan tetapi laju deforestasi yang terjadi di Indonesia juga tidak dapat diremehkan. Menurut Global Forest Watch, dalam rentang 2001-2022 Indonesia mengalami deforestasi hingga 29,4 juta hektare. Bahkan, dalam sepuluh tahun (2012-2022), Indonesia telah mengalami deforestasi 15,848 juta hektare (suara.com 22/01/2024). 

Investor asing memiliki andil paling besar terhadap deforestasi yang terjadi di Indonesia. Hal ini mencakup aktivitas pembukaan lahan sawit, lahan karet atau adanya aktivitas eksploitasi sumber daya alam di Indonesia yang sebagian besar di kuasai oleh investor asing. Sepanjang masa pemerintahannya, presiden Jokowi telah memberikan izin konsesi lahan seluas 11,7 juta hektare (ha). Pemberian izin terbesar yang diberikan presiden Jokowi adalah berupa izin usaha pertambangan (UIP) dengan luas lahan mencapai 5,37 juta hektare, kemudian disusul oleh perkebunan kayu dengan luas lahan mencapai 3,11 juta hektare.

Deforestasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia memiliki dampak signifikan terhadap perubahan iklim, terjadinya tanah longsor dan banjir. Deforestasi juga menyebabkan menurunnya permukaan tanah sehingga dapat menyebabkan tergenangnya permukiman penduduk. Terjadinya deforestasi dipicu dari adanya pengalihan lahan perhutanan menjadi lahan perkebunan, atau beberapa aktivitas manusia lainnya yang menyebabkan hilangnya hutan di wilayah tersebut. Deforestasi jelas memberikan berbagai macam konsekwensi yang harus dirasakan oleh rakyat Indonesia. Banjir, tanah longsor, perubahan iklim secara ekstrim, bahkan bencana asap akibat pembakaran hutan adalah buah pahit dari sistem ekonomi kapitalisme yang harus ditelan oleh rakyat Indonesia. 

Sistem ekonomi kapitalisme meniscayakan seseorang memiliki apapun termasuk diantaranya adalah lahan pertambangan atau hutan. Kebebasan dalam berkepemilikan melahirkan privatisasi dalam segala sektor.  Komoditas pertambangan, hutan bahkan pulau dapat diperjualbelikan oleh negara secara bebas kepada swasta. Padahal sejatinya, tanah, api dan padang gembala termasuk diantaranya hutan dalam Islam merupakan milik umat dan haram bagi negara untuk menyerahkannya kepada swasta apalagi menjualnya. 

Islam membagi kepemilikan menjadi 3 yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Masing-masing kepemilikan telah diatur batasan dan pengelolaannya oleh syariat secara sempurna sehingga tidak menimbulkan kemudharatan terhadap umat. Kepemilikan umum adalah segala hal yang menjadi milik umat secara umum, dan jenisnya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa manusia berserikat terhadap 3 hal yaitu air, padang rumput, dan api. 

Hadist tersebut menjelaskan bahwa hutan dan barang tambang haram untuk dimiliki oleh individu dan harus dikelola oleh negara secara langsung untuk kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan publik dan ketersediaan energi yang murah bahkan gratis untuk rakyat. Hal ini jelas sangat kontradiksi dengan kondisi umat saat ini dalam sistem ekonomi kapitalisme. 

Saat ini sebagian besar kepemilikan umat telah dikuasai oleh asing sehingga umat tidak dapat merasakan hal yang seharusnya menjadi hak miliknya. Bagaikan tikus yang mati di lumbung padi, umat justru merasakan berbagai kesengsaraan di tanah yang penuh dengan kekayaan. Lihat saja rakyat Papua yang sampai detik ini masih diliputi dengan kemiskinan dan kelaparan, padahal tanah tempat mereka berpijak dipenuhi dengan berbagai sumber daya alam. 

Alih-alih mengelolanya dengan optimal, dalam sistem ekonomi kapitalisme negara berperan hanya sebagai regulator. Negara justru mempermudah jalan investor untuk menguasai kekayaan umat. Hal ini menjadi hal yang lumrah dalam sistem ekonomi kapitalisme karena dalam sistem ini sumber pendapatan negara terbesar berasal dari pajak dan investasi, terutama investasi dalam skala besar yang berasal dari asing. 

Sistem ekonomi Islam berpijak pada kepengaturan kepemilikan yang jelas dan pergerakan ekonomi secara riil dalam masyarakat. Kepemilikan umum haram diserahkan kepada swasta dan wajib bagi negara untuk mengelolanya dengan optimal tanpa harus mengeksploitasi secara besar-besaran untuk kemudian dikembalikan kepada umat. Pengelolaan secara bijak oleh negara akan menjadikan eksplorasi sumberdaya alam terhindar dari kerusakan alam. 

Suasana yang dibangun dalam sistem ekonomi Islam jelas sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Hal ini dikarenakan setiap aktivitas yang dilakukan dalam sistem Islam telah dipenuhi dengan suasana keimanan bukan keserakahan. Keimanan individu yang dibangun dari diterapkannya Islam secara kaffah dalam setiap lini kehidupan melahirkan sebuah tatanan masyarakat yang unik dan bersahaja. Sistem inilah yang telah terbukti membawa kegemilangan peradaban yang berhasil menguasai 3/4 bagian dunia selama 3 abad lebih sejak dibawa oleh rosulullah dari Makkah ke Madinah dalam sebuah institusi politik Islam secara kaffah. Hanya dengan diterapkannya Islam secara kaffah Allah akan turunkan berkah dari langit dan bumi, bukan dengan kapitalisme. Wallahua'lam bisshowab.