-->

Solusi Hilirisasi Pangan, Mensejahterakan Atau Menyengsarakan?

Oleh: Ummu Utsman

Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di dunia dalam hal sumber daya alam. Sumber kekayaan yang dimiliki adalah dari sektor pertanian yang sejatinya tidak kalah dengan negara lain.

Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang tidak kalah penting, sebab dari sektor tersebut menghasilkan sebagian besar dari produk bruto negara, membuka peluang pendapatan ekspor, dan mampu menyerap jutaan tenaga kerja.

Pada tahun 2021, sektor pertanian mengalami pertumbuhan sekitar 1,84% dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional hingga sebesar 13,28%. Pada pertengahan tahun 2022, sektor pertanian juga menunjukan pertumbuhan positif 1,37% dan memiliki kontribusi hingga 12,98% terhadap perekonomian nasional. (CNBC Indonesia, 6/8/2023)

Salah satu subsektor pertanian adalah sektor peternakan yang juga cukup berkembang di Indonesia. Sub sektor peternakan adalah bagian penting dari sektor pertanian, yang memegang peran dalam menopang ketahanan pangan nasional khususnya sumber protein hewani yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Komoditi hasil dari peternakan yang merupakan sumber pangan bagi masyarakat antara lain, susu, telur, dan daging. 

Keberhasilan pengelolaan peternakan tentu tidak lepas dari terkontrolnya proses dari hulu hingga hilir, dalam artian bahwa persiapan sarana produksi ternak, budidaya hingga penanganan pasca panen dan pengolahan hasil peternakan berjalan dengan baik. 

Apalagi jika hasil produksi peternakan ini memiliki nilai tambah untuk dijual, maka peternak akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dan kesejahteraan pun akan terjamin.  Siklus seperti inilah yang diharapkan seluruh peternak di Indonesia. 

Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing Produk Olahan, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) membuat program yaitu Hilirisasi Pangan asal Ternak.

Hilirisasi merupakan suatu kebijakan strategis yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah. Sehingga, komoditas yang diekspor bukan lagi berupa bahan baku (yang belum diolah), melainkan berupa barang setengah jadi atau barang jadi. 

Dampak Nyata Kebijakan Hilirisasi di Era Kapitalisme

Program hilirisasi pangan asal ternak seharusnya memberikan manfaat bagi kedua belah pihak baik peternak maupun negara. Secara lebih luas tentu saja dapat menopang kebutuhan pangan rakyat, sehingga tidak perlu negara mengimpor bahan pangan dari negara lain. Namun kenyataannya apakah hilirisasi ini bisa mendongkrak kesejahteraan rakyat? 

Kebijakan hilirisasi pangan asal ternak ini lebih banyak menguntungkan bagi investor asing untuk menguasai bahan baku yang ada di Indonesia. Para peternak hanya digunakan sebagai pelayan korporasi untuk menyediakan bahan baku saja.

Semua pengolahan hasil produksi dilakukan oleh perusahaan yang tentunya memiliki teknologi yang lebih tinggi dan pekerja yang lebih mahir dalam hal industri. Keuntungan yang didapatkan korporasi makin berlipat ganda dengan adanya kebijakan hilirisasi ini.

Yang digenjot tentu saja para peternak, mereka dituntut untuk menghasilkan produk pangan asal ternak yang mempunyai kualitas tinggi untuk memenuhi target dan keuntungan korporasi. 

Siapa korbannya? Tentu saja rakyat itu sendiri yang akan membeli produk olahan pangan asal ternak dengan harga suka-suka yang ditetapkan oleh korporasi. Rakyat akan "dipaksa" membeli produk pangan asal ternak ini dengan harga tinggi, karena kebutuhan primer ini tidak bisa digantikan ataupun dihilangkan.

Dalam dunia kapitalisme saat ini, semua kegiatan berfokus dalam hal mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Oligarki pun memanfaatkan hal itu untuk menambah pundi-pundi kas mereka. Seperti dalam hal kebijakan hilirisasi, jika kita lihat hanya sebelah mata seolah-olah memberikan harapan yang besar bagi kesejahteraan rakyat khususnya peternak. Namun kenyataannya jauh panggang dari api, peternak tak berkembang, rakyat semakin tertindas. 

Peran Negara dalam Kacamata Islam

Indonesia harus mandiri dalam mengelola pangan asal ternak, mulai dari bahan baku hingga pengolahan hasil produksi. Kondisi demikian akan terjadi jika negara berperan sebagai pengurus kebutuhan rakyat.

Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam dan mengatur usaha peternakan ini dengan menggunakan paradigma Islam. Negara tidak akan membiarkan adanya investor asing yang mengelola semua lini. Apalagi, perusahaan tersebut juga bisa mengendalikan jumlah produksi dan bahkan juga mengendalikan harga pasar. 

Negara wajib bertanggung jawab untuk menjamin agar sarana produksi peternakan bisa didapatkan dengan mudah dan harga yang terjangkau, bahkan bisa jadi negara akan menggratiskan untuk para peternak yang tidak mampu. Selain itu, negara juga dapat membangun infrastruktur yang menunjang produksi dan distribusi. Sehingga, para peternak dapat dengan mudah dan murah dalam mengangkut hasil produksi tanpa terbebani ongkos perjalanan dan biaya angkut yang mahal.

Padahal, Islam jelas sekali menyampaikan bahwa pemimpin itu adalah penggembala yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Pemimpin harusnya memahami bahwa tugas utamanya adalah mengurusi urusan rakyat, bukan mengurusi kebutuhan oligarki. Selain itu, sebagai Muslim yang taat, sudah selayaknya negara memakai Islam dalam membuat kebijakan karena Islam sudah terjamin kebenarannya.

Maka, peternak akan bisa mendapatkan kesejahteraan dari usaha yang dijalankan. Rakyatpun akan bisa mendapatkan harga bahan pangan yang lebih terjangkau. Kesejahteraan bangsa atas pemenuhan pangan pun akan terwujud. 

Wallahu a'lam bishawwab.