-->

Relokasi Rempang Untuk Siapa?

Oleh: Dhiyaul Haq (Aktivis Muslimah Malang Raya)

Kamis 7 September 2023 terjadi bentrok antara aparat dan warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, hal ini dipicu dengan aksi aparat yang memaksa masuk ke kawasan pemukiman di daerah Rempang.

Hal ini menyebabkan sejumlah warga terluka dan diamankan, hingga pelajar yang dilarikan ke Rumah Sakit karena terkena gas air mata.

Penggusuran ini berawal dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu. Pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Cina akhir Juli lalu. Terlebih lagi adanya komitmen investasi dari perusahaan asal Cina, Xin Yi International Investment Limited.

Dalam laporan itu, tercatat pula 15 titik pengajuan hak pengelolaan lahan (HPL) yang diajukan kepada Kantor Pertanahan Kota Batam. Adapun Luas area 15 titik HPL tersebut, yaitu 6.115.450 m² atau seluas 611,5 Ha. Sedangkan hasil ukur yang disetujui seluas 5.675.602 m² atau seluas 567,5 Ha.

Pasalnya, 10.000 warga Pulau Rempang-Galang yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua, terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang telah mereka huni turun-temurun sejak 1834 (Pikiranrakyat,8/09/2023).

"Ruang hidup mereka diincar pebisnis rakus yang didukung rezim Jokowi yang pro investasi, meski membuat rakyatnya sendiri mati," ucap Fraksi Rakyat Indonesia, Kamis 7 September 2023.

Sungguh ini merupakan kezaliman yang luar biasa. Seorang pemimpin yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom umat malah menghadapi rakyatnya sendiri seperti menghadapi penjahat kelas kakap. Semestinya pemerintah lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada para oligarki yang begitu berambisi untuk mengeruk kekayaan Indonesia.

Apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Rempang? Kenapa bentrokan sampai pecah dan mengakibatkan banyak warga menjadi korban?

Untuk Siapa?

Pihak yang paling terdampak dari keputusan pemerintah ini tentu adalah masyarakat banyak. Mereka harus rela menerima keputusan untuk digusur dari habitat hidupnya atas nama kepentingan rakyat. Kenyataannya, dalih tanah sebagai kepemilikan negara pun tidak bisa menghapus fakta bahwa penduduk Rempang sudah ada di sana sejak jaman Belanda.

Realitasnya, kian hari ketimpangan penguasaan lahan memang nampak kian lebar. Industrialisasi dan pembangunan yang masif dilakukan, membuat kepemilikan lahan, termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada para pemilik modal. Adapun rakyat yang lemah, cenderung tidak punya pilihan. Seberapa pun keras melakukan perlawanan, mereka akan kalah telak oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Terlebih diperparah, adanya kuasa gelap para mafia yang anehnya tak pernah bisa disentuh oleh tangan penguasa.

Wajar jika muncul pertanyaan, sebetulnya negara ini milik siapa? Jika betul semua proyek pembangunan yang memicu konflik lahan adalah demi rakyat kebanyakan, pertanyaannya, rakyat yang mana yang dimaksudkan karena faktanya rakyat yang justru sering jadi tumbal.

Pada kenyataannya, manfaat proyek-proyek investasi dan pembangunan, nyaris tidak dinikmati oleh para korban. Bahkan tidak bisa ditutupi, banyak proyek strategis nasional yang berlatar konflik, justru berujung mangkrak hingga merugikan keuangan negara.

Menurut Agung Wisnu Wardhana sebagai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) yang patut dikritisi, adalah anggapan “investasi asing sering membawa manfaat dalam bentuk transfer teknologi dan juga tenaga kerja”, padahal itu tidak banyak berkontribusi bagi ekonomi domestik.

“Investasi penanaman modal luar negeri tidak memiliki keterkaitan kuat dalam membangun kemandirian ekonomi Indonesia,” tegasnya.

Investasi asing, menurutnya, justru masuk dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan menguasai pasar dari negara tujuan investasi. “Jadi yang perlu dipikirkan dan juga dipertimbangkan dengan serius oleh pihak-pihak yang akan membuat kebijakan,” lanjutnya.

Wajar jika ada konklusi bahwa negara hari ini memang hanya berfungsi sebagai pelayan korporasi. Hal ini sejalan dengan realitas bahwa paradigma kekuasaan hari ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang begitu mengagungkan kapital dan kebebasan. Negara dalam sistem seperti ini akan mendudukan diri hanya sebagai pengatur kepentingan menjamin kebebasan, bukan mengurus apalagi melindungi umat, termasuk dalam soal kepemilikan lahan dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Solusi Islam

Kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam tegak di atas asas akidah Islam untuk menjalankan aturan-aturannya yang lurus dan benar karena datang dari Zat yang Maha Benar. Kekuasaan dan kepemimpinan ini dipandang sebagai amanah yang harus siap dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt..

Dari Ibnu ‘Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin (ra’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya”. (HR Bukhari).

Rasul saw. juga bersabda, “Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, tapi jika ia memerintahkan yang selainnya, maka ia harus bertanggungjawab atasnya.” (HR Muslim).

Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan, setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya. Juga akan memastikan setiap individu rakyatnya terpenuhi semua hak dan kebutuhannya.

Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Seperti Sayyidina Umar ra. yang kerap melakukan inspeksi untuk memastikan tidak ada rakyat yang terlantar. Beliau juga pernah menegur dengan sangat keras Amr Bin Ash Gubernurnya di Mesir yang ketika ada proyek perluasan mesjid, memaksa dan merayu seorang kakek yahudi yang menolak rumahnya digusur. Sampai-sampai, keadilan Umar itulah yang menarik si kakek untuk memeluk Islam.

Tentu saja, amanah kepemimpinan ini sepaket dengan aturan Islam yang datang sebagai solusi kehidupan. Aturan-aturannya rinci, menyangkut segala aspek kehidupan, mulai politik pemerintahan, ekonomi, pergaulan, persanksian, hankam, dan sebagainya. Tidak ada prinsip kebebasan dalam Islam, sehingga penerapan aturan Islam secara kafah oleh negara, dipastikan akan menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, muslim nonmuslim, bahkan alam semesta.

Salah satu yang diatur dalam ekonomi Islam adalah soal kepemilikan lahan. Dalam pandangan Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan. Pertama milik individu, seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang dan sebagainya. Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.

Dengan pembagian ini, terlarang bagi negara atau swasta untuk mengambil hak individu atau umum meski dilegalisasi oleh kebijakan negara. Hanya saja, untuk lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya wajib dihandle oleh negara, justru agar manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat.

Adapun jaminan optimasi pemanfaatan lahan, diatur oleh Islam dengan aturan tentang larangan penelantaran lahan dan hukum-hukum tentang menghidupkan tanah mati. Siapapun yang menelantarkan lahan miliknya selama tiga tahun, maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya. Sebaliknya, siapapun yang menghidupkan lahan yang tidak tampak ada kepemilikan, maka tanah itu menjadi miliknya.