-->

Membaca Konstelasi Dunia Lewat Tragedi Rempang

Oleh: Rengganis Santika A, S.T.P.

"Satu bumi cukup bagi semua orang, tapi tidak bagi orang serakah!" Barangkali ungkapan ini cocok untuk menggambarkan keserakahan penguasa yang merasa memiliki setiap jengkal tanah negeri ini, juga para kapitalis, dan korporasi oligharki, hingga memicu terjadinya tragedi kemanusiaan di tanah wariasan kesultanan Riau Lingga sejak 1700 tahun silam ini. Tragedi Rempang mengingatkan kita pada tragedi Wadas, Jati Gede dan deretan konflik agraria di negeri ini. Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencatat ada ribuan konflik pertanahan yang belum tuntas terselesaikan.

Konflik tersebut seputar klaim hak atas tanah, dan diantara kasus-kasus tersebut, konflik antara negara dan rakyatlah yang paling sering memosisikan rakyat dalam pihak yang lemah. Ketiadaan surat bukti sertifikat sering dijadikan alasan perampasan hak-hak rakyat atas tanah secara zalim. Lewat undang-undang, aroma keserakahan dan arogansi kekuasaan begitu kuat terasa. Apalagi dalam kacamata geopolitik, tragedi Rempang bukan sekedar soal klaim tanah, disana ada ambisi ekonomi dan kekuasaan, penjajahan oligharki juga  intervensi global.

Penjajahan, Intervensi Global, Dan Kezaliman Dibalik Narasi Investasi.

Semudah itukah pemerintah berdalih bahwa relokasi 7500 warga Rempang, untuk investasi proyek Eco City adalah demi kepentingan rakyat? Nyatanya tempat relokasi belum jelas dimana. Lebih buruk lagi warga kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan."Ayam saja akan dipindah, disiapkan dulu kandang barunya, ini manusia yang perlu kerja dan sekolah, bagaimana?!" Proyek Rempang merupakan proyek strategis nasional (PSN). Untuk mempercepat realisasi PSN, maka negara memberi perlakuan istimewa, sehingga perizinan dipercepat dan pembiayaan serta pengadaan tanah dipermudah, walaupun dengan cara paksa. Hak istimewa proyek strategis ini dimulai sejak 2016 dengan masuknya proyek strategis nasional ke dalam UU Cipta Kerja. Apa yang terjadi di Rempang dengan diksi relokasi, hakekatnya adalah pengusiran paksa rakyat sebagai pemilik sah tanah ulayat (adat). Jelas bahwa Investasi tak lain adalah penjajahan,

Lantas Proyek ini untuk siapa? fakta yang terjadi, lagi-lagi rakyat menjadi korban tindakan represif aparat. Pemandangan mencekam, membantah semua argumen negara. Aparat gabungan yang terdiri dari, TNI, Polri, Satpol PP, dan Badan Pengusahaan (BP) Batam, merangsek warga Pulau Rempang, Kota Batam, pada Kamis (7-9-2023), anak-anak dan perempuan tak luput jadi sasaran, bahkan Murid-murid sekolah dasar menjadi korban tembakan gas air mata. Warga yang ketakutan lari berhamburan, bahkan ada yang masuk ke dalam hutan. Jelas rakyat dirugikan, diteror, diintimidasi, demi kepentingan proyek korporasi oligharki Tommy Winata, serta mengejar target PSN dalam masa jabatan rezim yang hampir berakhir.

Batam sejak tahun 2007 melalui PP Nomor 48, ditetapkan menjadi "free trade zone" atau kawasan perdagangan bebas. Pemerintah pusat memproyeksikan Pulau Rempang sebagai kota baru dengan industri yang berkonsep “Green and Sustainable City”. Bahkan ketika Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Chengdu, menawarkan PSN ini hingga menghasilkan MoU bersama Xinyi Group Cina, perusahaan kaca dan solar sel terintegrasi terbesar di dunia, dengan nilai investasi sebesar USD11,5 miliar dan janji penyerapan tenaga kerja 35 ribu orang.

Tragedi Rempang secara kebetulan berbarengan dengan KTT ASEAN. Kehadiran negara-negara besar seperti Cina dan Amerika, mengindikasikan adanya intervensi negara besar tersebut di kawasan ASEAN, atas nama investasi. Dalam perspektif geopolitik dan konstelasi politik global,  penjajahan berkedok investasi dari negara-negara donor hutang bukanlah pola baru. Ini adalah pola lama penjajahan diberbagai kawasan strategis yang ingin dikuasai adidaya. Setelah Singapura menjadi poros mitra Amerika di ASEAN, tidak menutup kemungkinan Rempang Batam jadi poros kekuatan Cina. Apalagi setelah klaim Cina atas Natuna. Jelas ada benang merah dari dua peristiwa yaitu Tragedi Rempang dan KTT ASEAN. Dalam konstelasi politik global jelas, bahwa Amerika dan Cina memainkan peran strategis di kawasan ASEAN.

Islam Menjadikan Negeri Ini Berdaulat Dan Rakyat Sejahtera

Sistem demokrasi telah menjadikan pemerintahan dan penguasa membela pemodal (kapitalis, oligharki). Penerapan demokrasi akar masalahnya.  Konsekuensi demokrasi adalah menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan. Negara yang harusnya melindungi rakyat justru dalam demokrasi kapitalis liberal malah membela pemodal dan membebaskan mengeksploitasi negeri. Azas sekularisme makin memperburuk keadaan.  Undang-undang dibuat demi kepentingan korporasi investor. Apa.yang terjadi di Rempang jelas sebuah kezaliman, kemungkaran negara atas rakyat, seharusnya para penguasa takut akan azabnya Allah swt, segera tobat kembali pada islam.

Sebaliknya apabila negara menerapkan syariat islam secara kaaffah, maka kedaulatan yaitu pemutus aturan adalah hukum syra'  yang berasal dari Allah swt bukan hawa nafsu. Kemudian kekuasaann berada ditangan rakyat. Penguasa berfungsi melayani rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan. Negara dan rakyat hanya tunduk pada syariat bukan pemodal apalagi asing yang jelas-jelas kufur. Negara harus membangun kemandirian dengan memanfaatkan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Maka Sudah pasti Indonesia yang dikenal zamrud khatulistiwa negara kaya SDA dan SDM masti akan makmur sejahtera dengan menerapkan syariat islam.