-->

Dana Desa Wisata, Sasaran Korupsi Kepala Desa

Oleh: Irawati Utami (Aktivitis Muslimah Kab. Bandung)

Sejumlah daerah di Kabupaten Bandung yang memiliki potensi pariwisata tengah dibidik untuk dijadikan desa wisata. Menurut Kepala Bidang Pengembangan Destinasi dan Sumber Daya Disparbud Kabupaten Bandung, Desy Aryanti mengatakan, di Kabupaten Bandung saat ini telah terbentuk 38 desa wisata sampai September 2023, dan ditargetkan hingga akhir tahun ini bisa mencapai hingga 50 desa wisata. 

Untuk setiap desanya memiliki potensi beragam, seperti kekayaan alam, kuliner, dan UMKM-nya. Dalam pengembangannya, pemerintah melibatkan sejumlah akademisi, sudah ada 12 perguruan tinggi yang bekerja sama mendampingi desa wisata ini. Adanya desa wisata ini diharapkan dapat mendongkrak ekonomi sekitar dan menumbuhkan desa-desa wisata lainnya. (Jabarantaranews.com, 7/9/2023)

Desa Wisata untuk Kepentingan Siapa?

Desa memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tak heran, pemerintah terus berupaya untuk menggali potensi yang dimiliki oleh suatu desa, salah satunya dengan pembangunan desa wisata, yang kini telah ditetapkan sebagai salah satu program unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Program ini juga dilaksanakan sebagai upaya untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Dengan adanya desa wisata diharapkan mampu menyediakan lapangan pekerjaan, membantu UMKM, meningkatkan pembangunan infrastruktur desa, serta memajukan kebudayaan. Namun, apakah desa wisata mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terkhusus warga desa tersebut? Ataukah justru hanya menguntungkan pihak tentu? 

Seperti diketahui, dana desa yang disalurkan oleh pemerintah dari tahun ke tahun jumlahnya sangat besar dan cenderung mengalami kenaikan. Salah satu prioritas penggunaan dana tersebut adalah untuk pembangunan desa wisata. Sayangnya, banyak sekali kasus-kasus terkait dana wisata. Sebut saja, korupsi penyelewengan retribusi objek wisata Situ Lengkong yang dilakukan oleh Haris Riswandi Cakradinata saat menjabat sebagai kelapa desa Panjalu tahun 2015-2018, yang merugikan negara sebesar Rp2,2 miliar. 

Korupsi juga terjadi pada proyek wisata Desa Kedungudi, Mojokerto, oleh Susilo Hadi Wijoyo saat menjabat sebagai kepala desa periode 2013-2019 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.231.294.774. Penggelapan uang bantuan pengembangan wisata pun terjadi di wisata Papringan Ngadiprono Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu yang dilakukan oleh 4 orang tersangka, yaitu Heri Susanto selaku kepala desa, Agus sebagai sekretaris desa, Muhammad Amin yang merupakan mantan kades serta Imam Abdul Rofiq sebagai pelaksana pembangunan. Penggelapan tersebut merugikan negara sebesar Rp379 juta. 

Kasus-kasus penyelewengan dana desa tersebut hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus yang menyasar dana desa wisata. Inilah bukti bahwa pemerintah belum mampu mengatasi kasus korupsi dalam sistem demokrasi, hingga membudaya bahkan ke tingkat desa. Masyarakat pun masih banyak yang tidak peduli dan masa bodoh terhadap realitas korupsi ini. Korupsi pun seolah dianggap hal yang biasa.

Desa wisata yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan warga, nyatanya belum bisa terwujud. Kurangnya pengawasan membuka peluang terjadinya praktik korupsi yang lebih banyak lagi. Hal ini membuktikan kegagalan sistem kapitalisme dengan program-programnya yang tidak kunjung dapat menyejahterakan masyarakat. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai desa wisata? 

Pandangan Islam 

Menurut Islam, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hanya bisa dilakukan oleh penguasa dengan memperbaiki kondisi ekonomi secara makro dan mikro. Pemerintah harus memastikan kebutuhan hidup individu setiap masyarakatnya terpenuhi baik dari kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersiernya. Ketika suatu desa membutuhkan dana, maka penguasa dalam Islam (khalifah) akan mengeluarkan dana tersebut. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mengurusi urusan umat. Bukan untuk memanfaatkan potensi desa tersebut demi meningkatkan perekonomian negara, yang berkedok kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, tempat wisata dalam Islam dapat dijadikan sarana dakwah. Keindahan alam seperti pantai, pengunungan, air terjun, dan lainnya akan dijadikan sarana untuk syiar Islam. Keindahan yang disuguhkan oleh tempat wisata akan membuat wisatawan takjub. Bagi wisatawan muslim, ini akan semakin mengukuhkan keimanan. Sementara bagi wisatawan nonmuslim, selain menikmati keindahan alam, mereka bisa lebih mengenal ajaran Islam.

Demikianlah, pengaturan Islam terkait dana dewa dan pariwisata. Desa wisata dalam Islam akan benar-benar difungsikan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk menguntungkan para pejabat. Wallahu a’lam bishawab.