-->

Para Guru Terjerat Pinjol, Siapa Abai?

Oleh: Ida Nurchayati, Aktifis Muslimah

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Yusri melaporkan total pinjaman yang disalurkan fintech peer to peer lending (pinjol), baik legal maupun ilegal di Aceh  mencapai Rp1,9 triliun. Pengguna pinjol  mayoritas guru sebanyak 42 persen, korban PHK 20 persen, Ibu Rumah Tangga 18 persen, pedagang 4 persen, pelajar 3 persen, tukang pangkas rambut 2 persen dan pengemudi ojek online 1 persen. 

Terlihat bahwa nasabah pinjol orang yang tidak mengerti. Yusri minta pinjol tidak dilihat dari sisi negatifnya, banyak yang membutuhkan, tapi belum terakomodir pihak bank. Pinjol sebagaimana layanan lembaga jasa keuangan lain, memberikan layanan pada masyarakat seperti bank, leasing, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya. Ia berpesan pengguna pinjol memperhatikan margin sesuai dengan mekanisme, aplikasi penyedia  terdaftar di OJK, dan khusus Aceh untuk memilih fintech syariah (cnnindonesia.com, 11/8/2023).

Jerat Kapitalisme

Data diatas sungguh menyesakkan dada. Seorang guru adalah pendidik generasi bangsa.  Dari tangannya lahir calon pemimpin peradaban dimasa depan. Namun sayang, nasibnya tidak semulus sebutannya, pahlawan tanpa tanda jasa. Terlebih nasib guru honorer, gajinya sungguh jauh dari kata layak.  Dikutip dari news.republika.co.id (27/11/2023), guru di Aceh Utara menerima honor sebesar Rp 300 Ribu per bulan. Sungguh miris.

Namun guru adalah manusia biasa yang membutuhkan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sudah seharusnya, para guru mendapatkan gaji dan tunjangan yang layak dan memadai, agar tercukupi kebutuhan hidupnya.

Namun sayang, nasib guru dalam sistem kapitalisme kurang beruntung. Untuk naik jabatan, seorang guru disibukkan dengan berbagai persyaratan administrasi, yang kadang membuatnya lalai dalam mengajar. 

Disisi lain, sistem kapitalisme menyuburkan tumbuhnya lembaga keuangan ribawi yang menawarkan kemudahan mendapatkan dana dan imimg-imimng lainnya. Masyarakat yang memiliki cara pandang sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan, tanpa pikir panjang langsung tergiur, tanpa berpikir halal dan haram, apalagi promosinya menggunakan label syariah.

Padahal, fakta dilapangan membuktikan, betapa kejamnya pinjol kepada para nasabah, dari teror, intimidasi, berujung depresi bahkan bunuh diri.

Sistem Islam menyejahterakan Guru

Nasib guru dalam sistem Islam sungguh beruntung, mereka sangat terjamin kesejahteraannya. Tinta sejarah mencatat, selama peradaban Islam tegak kurang lebih 13 abad, nasib guru sangat diperhatikan.

Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al-Wadhi bin Atha yang mengatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji sebesar 15 dinar kepada setiap guru. (1 dinar = 4,25 gram emas). Dengan kurs emas 1 gram Rp 982.000, maka gaji guru pada masa Khalifah Umar sebesar Rp 62 602 500.

Pada masa Shalahudin Al-Ayubi, gaji guru lebih besar lagi. Di  dua madrasah yang didirikannya yakni Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru sebesar 11- 40 dinar. Bila dirupiahkan, maka setiap guru menerima gaji antara Rp 45 908 500 hingga Rp 166 940 000. Sungguh jumlah yang jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang dan papan.

Terlebih, dalam sistem Islam, kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan di penuhi negara secara cuma-cuma. Setiap warga negara baik muslim maupun non muslim, termasuk guru bisa mengakses layanan dasar tersebut secara gratis dengan fasilitas terbaik yang disediakan oleh negara. Negara bertanggungjawab penuh dalam  pembiayaan, penyediaan dan pengelolaan fasilitas publik.

Negara dalam sistem Islam mampu memberikan layanan terbaik karena sistem ekonomi Islam diatur berdasarkan syariat berbasis baitul mal. Untuk menggaji guru, negara mengambil pos kepemilikan negara baitul mal yang berasal dari kharaj, fa'i, usyr, jizyah, ghulul, ghanimah dan sebagainya. Sementara untuk layanan publik, negara mengambil pos kepemilikan umum baitul mal yang berasal dari pengelolaan harta milik umum, seperti sumber daya alam, laut, hutan dan sebagainya.

Maka secara materi, semua warga negara termasuk guru  sangat sejahtera sehingga tercukupi kebutuhannya. Masyarakat secara otomatis tidak mudah tergiur dengan tawaran dan iming-iming pinjol. Faktor utama masyarakat terjerat pinjol karena negara tidak hadir sebagai pelayan rakyat. Penguasa tidak menjamin kesejahteraan masyarakatnya, maka ketika ada tawaran pinjol, mereka mudah tergoda.

Negara dalam sistem Islam wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam sehingga terbentuk individu yang berbuat karena dorongan ruhiyah. Dorongan yang dilandaskan pada perintah dan larangan Allah. Dorongan ruhiyah ini yang mencegah masyarakat mengambil pinjol karena mengandung riba.

Negara juga menjaga masyarakat agar senantiasa dalam ketakwaan. Negara akan melarang adanya lembaga keuangan berbasis ribawi seperri pinjol dan sektor non riil lainnya.

Dengan realita tersebut, maka dalam sistem Islam tidak akan ada guru yang terjerat pinjol karena dorongan ruhiyah, terlebih kebutuhannya sudah tercukupi karena negara hadir sebagai pelayan rakyat.

Wallahu a'lam