-->

Keran Ekspor Dibuka Untuk Siapa?

Oleh: Watini, S.Pd (Pemerhati Masalah Publik)

Keran ekspor terus mengalir demi memenuhi pundi-pundi perekonomian dalam negeri. Laju pertumbuhan ekonomi menjadi patokan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi. Di sisi lain, korupsi masih saja menduduki posisi sebagai hal yang lumrah terjadi. Bukankah kesejahteraan yang diimpikan hanya akan menjadi ilusi? Terlebih lagi, kegiatan ekspor seringkali dikuasai oligarki.

Menurut data eksportir Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Sulawesi Tenggara (Sultra) didominasi oleh hasil kelautan. Total nilai devisa ekspor UMKM yang tercatat sejak 1 Januari 2023 hingga Mei 2023 mencapai USD348.584,73 atau Rp5,2 miliar lebih. Nilai devisa tersebut disumbang oleh perusahaan-perusahaan skala UMKM yang mengekspor ikan tenggiri, ikan kerapu, hingga kepiting bakau (KendariInfo.com, 27/06/2023).

Nilai devisa yang tinggi merupakan pencapaian yang menjanjikan bagi perekonomian. Sehingga kegiatan ekspor sering dijadikan solusi untuk memperoleh devisa negara. Sebab negara menganggap pendapatan negara akan berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Meski sejatinya, dengan adanya ekspor tersebut memberikan dampak negatif bagi rakyat. Diantaranya kerusakan lingkungan dan kelangkaan SDA sehingga rakyat tidak bisa ikut serta menikmatinya.

Namun penguasa seringkali abai akan hal itu. Misalnya potensi sumberdaya hewani lautan. Memilih diekspor dibandingkan dikonsumsi oleh rakyat sendiri. Padahal warga setempat mengalami stunting dan butuh sumber protein hewani. Di mana sejatinya, penguasa bisa melakukan ekspor ketika kebutuhan rakyat sudah terpenuhi. Atau minimal melakukan langkah budidaya sebagai ganti dari komoditi.

Penguasa lebih mengutamakan poin ekonomi tanpa mempertimbangkan masalah yang dihadapi rakyatnya. Segalanya bisa diperjual-belikan selama menghasilkan pundi-pundi rupiah. Inilah wajah asli dari kapitalisme, ideologi yang memandang segala sesuatu sesuai manfaatnya dan menjadikan sistem ekonomi sebagai pijakan utama dari segala kebijakan yang ada. Kapitalisme membolehkan setiap orang memperkaya dirinya dengan cara apa saja, termasuk mengeksploitasi SDA.

Berbeda dengan itu, karena tidak berorientasi materi layaknya ideologi saat ini (kapitalis-sekuler), sistem Islam justru mengutamakan pemenuhan gizi rakyatnya dibandingkan langkah ekspor guna pemenuhan kas negara. Sebab dalam Islam nyawa orang mukmin lebih berharga dibandingkan hilangnya dunia dan seisinya.

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak", (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Negara yang berprinsip pada Islam dan yang mengikuti Rasulullah saw., akan mengambil kebijakan secara menyeluruh. Mulai dari penguatan iman umat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya, hingga pemahaman semua akan diminta pertanggungjawaban. 

Demikian pula dengan penerapan sistem ekonomi Islam, mulai dari kebijakan pengelolaan, pendapatan, hingga seluruh transaksi akan didasarkan pada Islam. Bidang perikanan dan kelautan akan diserahkan kepada para ahlinya dengan pembiayaan yang cukup dan kebijakan yang mendukung pengembangan. 

Dalam Islam, negara wajib hadir secara utuh di tengah masyarakat sebagai penanggung jawab hajat publik, terutama menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Negara pun bertanggung jawab dalam pengelolaan seluruh rantai pengadaan pangan, mulai dari produksi hingga konsumsi. Negara tidak hanya memastikan produktivitas secara umum terjadi, tetapi juga hadir dalam menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan mengawasi perilaku yang merusak harga pangan sehingga rakyat sulit mendapatkannya. 

Selain itu, negara akan bertanggung jawab memastikan semua pangan yang beredar di tengah masyarakat adalah makanan halal dan tayib dengan berbagai perangkat sistem yang dimiliknya. Dengan peran sentral penguasa, pengaturan sepenuhnya dalam kendali negara. Kebutuhan rakyat akan terpenuhi dan mereka terlindungi dari hegemoni korporasi yang mengejar keuntungan sepihak semata.

Wallahua'lam bish-showwab