-->

Remisi, Masalah Atau Solusi?


Oleh : Yuliana Suprianti (Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali) 

Sebanyak 146.260 dari 196.371 narapidana yang beragama islam di Indonesia mendapatkan Remisi  Khusus (RK) idul Fitri 1444H. Dari jumlah tersebut sebanyak 661 narapidana bebas setelah mendapat remisi. Adapun wilayah penerima remisi terbanyak adalah Sumatera Utara disusul Jawa Barat lalu Jawa Timur. Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti menyatakan pemberian remisi ini berpotensi menghemat anggaran biaya makan narapidana sebesar Rp. 72.810.405.000 (detiknews). 

Fakta ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem hukum Indonesia. Mengapa tidak karena hal ini memperjelas bahwa hukum saat ini tidak mampu memberikan efek jera kepada pelaku pidana. Tidak hanya itu,hukum dan pemberian hukuman di negara ini tidak memenuhi unsur keadilan. Atas nama Remisi seorang pelaku kejahatan dapat dengan mudah menghirup udara bebas sedangkan korban kejahatan tersebut bisa saja masih membalut luka akibat tindak pidana yang menimpanya. Selain itu juga, fakta ini semakin memperjelas bahwa hukum yang telah ditetapkan dalam persidangan adalah hukum yang mudah diutak atik dan dirubah dengan alasan remisi, grasi atau pengurangan masa penahanan lainnya. 

Tiga hal di atas yakni sistem hukum yang tidak memberikan efek jera, tidak memenuhi unsur keadilan, dan hukum yang mudah berubah adalah buah dari penerapan sistem sekule yakni sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan. Sekulerisme telah mengizinkan akal manusia memproduksi hukum dan membatasi bahkan melarang agama islam untuk ikut campur dalam ranah hukum khususnya.  Sekulerisme menjadikan akal sebagai acuan utama dalam memutuskan segala hal padahal jika kembali kepada potensi akal ini jelas kedudukannya lemah dan terbatas. Sebagaimana sifat manusia yang sudah jelas tidak ada yang sempurna. Maka produk apapun yang dihasilkan oleh manusia, pasti menghasilkan sesuatu yang lemah, terbatas, dan serba kurang. Termasuk perkara hukum ini. 

Tentu saja, sekulerisme sangat bertolak belakang dengan islam. Islam yang merupakan agama dan aturan kehidupan tentu memiliki kesempurnaan karena datangnya dari Dzat yang Maha sempurna yakni Allah Swt. Sejenius apapun manusia, sampai kapanpun tidak akan pernah mampu mengungguli atau menyaingi segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT termasuk masalah hukum. Hukum islam memiliki kedudukan sebagai jawabir (penebus dosa) artinya, saat seseorang dihukum dengan hukum islam di dunia, maka itu akan menggugurkan azabnya di akhirat. Selain itu hukum islam juga bersifat Zawabir (memberikan efek jera).  Seorang pencuri misalnya saat di sanksi berupa potong tangan akan memiliki pertimbangan matang dan berkali-kali untuk mengulangi perbuatannya yang serupa. Selain itu hukum Allah sudah pasti adil bagi hambaNya karena lahir dari Dzat yang Maha adil. Dan terakhir hukum Islam tidak mudah untuk diutak atik sekehendak manusia. Sehingga tidak mudah berubah, tidak juga mudah di susupi kepentingan manusia, dan tentu saja tidak mudah terbeli. 

Sudah saatnya kaum muslimin kembali kepada aturan sang Pencipta. Setia pada sistem sekulerisme hanya akan menambah masalah dan jauh dari kehidupan yang berkah. Sistem islam wajib untuk ditegakkan dan butuh untuk dihadirkan sebagian solusi atas permasalahan kehidupan. Hanya saja untuk bisa tegak, islam membutuhkan wadah yakni sebuah institusi negara yang disebut Khilafah. Adanya Khilafah merupakan perkara wajib karena dengannya kewajiban kaum muslimin bisa tegak. Sebagaimana dalam Kaidah Syara' disebutkan " Suatu Kewajiban yang tidak bisa tegak kecuali dengan adanya sesuatu maka sesuatu itu menjadi Wajib hukumnya ". Kewajiban berhukum dengan islam tidak bisa tegak kecuali adanya negara maka negara itu menjadi wajib hukumnya. Inilah konsep yang harus disadari dan segera diperjuangkan oleh kaum muslimin agar kemuliaan terukir indah kembali sebagaimana masa yang pernah ada 13 abad lamanya yakni saat hukum islam dalam naungan khilafah ditegakkan. 

Wallahua'lam bishowwab.