Lonceng Tsunami PHK, Siap-siap Rakyat Jadi Tumbal
Oleh: Wana Zain
Ekonomi dunia hari ini tak henti dirundung duka. Setelah bernafas lega dari pandemi yang cukup melemahkan ekonomi global. Kini, Laporan beberapa waktu lalu Oleh IMF menyebutkan kondisi ekonomi tahun 2023 akan lebih suram. Implikasinya, Belakangan Pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak terjadi di pabrik sepatu dan tekstil dalam negeri. Hal ini terjadi akibat perlambatan ekonomi dan lonjakan inflasi di negara tujuan ekspor.
Perlambatan ekonomi memang terjadi di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI). Penundaan dan pembatalan ekspor pun dilaporkan terus terjadi, bahkan sudah ada yang mengalami pembatalan sampai 50%.
"PMI Manufaktur global bulan September 2022 yang masuk kontraksi 49,8," sebut Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Sri Mulyani dalam konferensi pers, dikutip Minggu (CNBC Indonesia 6/11/2022).
Nasib pemberhentian kerja ini sebelumnya telah menimpa 22.500 pegawai pabrik sepatu di Jawa Barat. Hal serupa juga terjadi pada karyawan pabrik tekstil di Jawa Barat, ada 64.000 orang yang terkena PHK. Badai PHK pun menghantam Jawa Tengah, meski belum laporan resmi, menurut Redma Gita Wirawasta, Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), sudah ada sekitar 20.000 karyawan padat karya yang kena PHK (CNBC Indonesia, 09/11/2022).
Tak hanya di bidang tekstil, Isu PHK bertebaran di mana-mana. Setelah Shopee, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. juga mengikuti. Menurut sumber Bloomberg, perusahaan tersebut akan melakukan PHK terhadap 1.000 karyawannya. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menghemat keuangan (Tempo, 11/11/2022).
Ada lagi PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dikabarkan akan melakukan PHK kepada karyawannya. Tujuan dari PHK ini untuk menyehatkan keuangan perusahaan. Hal ini tidak dibantah oleh Komisaris Independen IFG Fauzi Ichsan (CNN Indonesia, 11/11/2022).
Isu ekonomi dunia akan gelap pada tahun 2023. Walhasil, untuk menjaga kelangsungan hidup pilihan perusahaan adalah mengurangi beban salah satunya dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam sistem ekonomi kapitalis, product on demand adalah prinsip produksi yang dipengaruhi oleh permintaan, Yang mengakibatkan jika permintaan tinggi maka industri akan memproduksi barang banyak dan untuk itu akan menambah jam kerja atau pekerja. Namun jika sebaliknya, tentu industri akan mengurangi produksi dan tentu mengurangi pekerja, dengan dalih menghemat biaya. Tentu ini mengindikasikan pekerja hanya dipekerjakan sesuai kepentingan industri. Sekaligus mengindikasikan bahwa buruh di mata kapitalisme adalah bagian dari biaya produksi.
Disisi lain prinsip produksi adalah mengambil pijakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Artinya, industri harus mengecilkan biaya produksi agar mendapatkan laba yang besar. Jadi, kalau produksi menurun, jalan satu-satunya adalah memberhentikan pekerja untuk meminimalisir biaya.
Sialnya, nasib PHK hanya menghantui rakyat jelata, dan tidak bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), Kondisi ini dilegalkan dengan ketuk palunya UU Omnibus Law. Dalam aturan itu, perusahaan diberikan kemudahan untuk memakai TKA. Mereka tidak perlu mengurus surat izin terbatas dan surat izin memakai TKA. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi TKA dan tentunya mereka masih bebas melenggang di Indonesia tanpa bayang-bayang PHK. Dari sini tentu terlihat jelas bahwa pemerintah terkesan abai akan nasib rakyat.
Berbeda dengan islam. Dalam Islam, masalah pekerjaan diatur secara rinci. Pekerja dan pemberi kerja diikat dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan akad ijarah. Perjanjian keduanya harus saling menguntungkan. Tidak boleh ada yang melakukan kezaliman.
Dalam penentuan imbalan, Islam memiliki ketentuan khusus. Dalam kitab Nidham Al Iqtishadi tulisan Syekh Taqiyuddin an-Nabani, dijelaskan bahwa upah pekerja adalah kompensasi dari jasa pekerjaan yang sesuai dengan nilai gunanya. Penentuan upah ini tidak boleh diserahkan pada pengusaha, penguasa, pekerja atau keumuman masyarakat, tetapi kepada ahlinya, yaitu mereka yang ahli dalam menangani upah kerja ataupun pekerja, yang hendak diperkirakan upahnya.
Berbeda dengan paradigma kapitalisme, pekerja dengan akad ijarah bukanlah bagian dari biaya produksi. Banyak atau sedikit barang produksi tidak akan mempengaruhi gaji pekerja. Besarnya upah ini tidak boleh dibuat berdasarkan kemampuan produksi seorang pekerja, sebagaimana Dalam sistem kapitalisme yang memperkirakan sesuai batas taraf kehidupan yang paling rendah atau dikaitkan dengan harga barang. Semua hal itu tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan pekerja diberhentikan ketika berkurangnya produksi barang.
Adapun curahan tenaga fisiknya itu sendiri bukan merupakan standar upah dan bukan pula standar manfaat jasa. Memang benar, jasa suatu pekerjaan semata-mata merupakan hasil dari tenaga. Namun, yang dimaksud tetap jasa, bukan sekedar tenaga fisiknya, meskipun tenaga tersebut tetap diperhatikan. Dengan demikian pekerja tidak akan terkena PHK massal hanya karena terjadi penurunan permintaan barang atau ekonomi dalam kondisi terseok seok.
Selain masalah akad ijarah, Islam membagi kekayaan menjadi tiga bagian, kekayaan negara, kekayaan pribadi dan kekayaan umum. Negara akan memberi kebebasan rakyat mengelola hartanya asalkan dengan cara yang halal. Serta, negara tidak memberikan kewenangan penuh bagi swasta mengelola harta milk umum atau pun kekayaan milik negara.
Apabila hal di atas dapat dilaksanakan secara sempurna, maka kemiskinan secara berangsur akan hilang. Masyarakat pun akan merasa aman dari PHK sewaktu waktu dan tidak perlu memikirkan biaya pemenuhan kebutuhan hidupnya yang serba mencekik seperti sekarang ini.
Sayangnya, konsep seperti di atas tidak bisa dijalankan dalam sistem kapitalisme hari ini. Konsep pekerja dan pengusaha ini hanya akan berjalan jika ada sistem Islam. Pemerintah dengan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan konsep ijarah. Selain itu, ia pun tidak akan mengeluarkan UU yang merugikan pekerja seperti UU Omnibus Law. Wallahu a'lam.
Posting Komentar