-->

Migrasi Dari Televisi Analog Menuju Televisi Digital, Benarkah Untuk Kemaslahatan Masyarakat?

Oleh: Sartika (Tim Pena Ideologis Maros)

Masyarakat Jabodetabek kini sudah beralih ke siaran televisi digital. Sebab, antena konvensional saat ini sudah resmi dimatikan pemerintah dalam hal ini kementerian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) pada Rabu, 02 November 2022 tepat pukul 00.00 WIB. Dengan beralih ke siaran digital, pemerintah menjanjikan pengalaman menikmati konten siaran televisi lokal yang lebih baik bagi masyarakat (Liputan6.com 06/11/2022).

Meskipun televisi digital memfasilitasi siaran lokal yang jauh lebih baik dibanding televisi analog, tetap saja dengan adanya migrasi atau program Analog Switch Off (ASO) yang merupakan amanat UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (CIPKER) menyulitkan sebagian masyarakat, pasalnya ada komponen tambahan yang harus dibeli agar dapat mengakses siaran televisi digital yakni Set Top Box (STB).

Migrasi Angin Segar Korporasi

Program Analog Switch Off (ASO) secara tidak langsung memaksa masyarakat membeli Set Top Box (STB) guna memenuhi akses televisi digital. Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan diatas rata-rata mungkin tidak menjadi problem. Namun, bagaimana dengan masyarakat yang tidak memiliki pendapatan, jangankan memenuhi kebutuhan urgent, untuk makan pun mereka susah. Dengan demikian progam Analog Switch Off atau ASO nampak hanya menguntungkan korporasi, program ASO sekaligus juga menunjukkan bahwa UU CIPKER tidak berpihak pada kemaslahatan masyarakat. 

Inilah wajah buruk sistem pemerintahan dibawah kendali oligarki, dimana sistem pemerintahan hanya menguntungkan sekelompok elite, pemilik modal, orang-orang kaya dibanding rakyat jelata. Apalagi di sistem demokrasi kapitalis era digitalisasi merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari, kemajuan teknologi telekomunikasi begitu pesat, memudahkan pengiriman serta penerimaan informasi tanpa batas jarak. Hanya saja, kecanggihan digital di sistem kapitalis belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Teknologi telekomunikasi termasuk kategori kepemilikan umum yang seharusnya dinikmati bersama-sama, entah itu berasal dari masyarakat kaya ataupun masyarakat jelata. Namun faktanya sistem saat ini dengan paham liberalisme yakni kebebasan kepemilikan membuat teknologi telekomunikasi dikendalikan oleh pemilik modal, sehingga dominasi yang diuntungkan hanya para korporasi, rakyat banyak hanya menjadi sapi perah. 

Teknologi Dalam Sistem Islam

Berbeda dengan kepemilikan teknologi dalam sistem Islam yakni Daulah Khilafah. Daulah Khilafah atau negara yang menerapkan sistem Islam berfungsi sebagai pelayan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya termasuk kebutuhan teknologi telekomunikasi. Pengelolaan teknologi tidak diserahkan kepada swasta yang hanya menguntungkan korporasi dan segelintir elite, melainkan media telekomunikasi merupakan infrastruktur yang harus disediakan negara untuk kepentingan masyarakat dengan pengelolaan yang baik.

Daulah Khilafah akan bertanggung-jawab penuh dalam menyediakan layanan publik telekomunikasi sehingga membuat masyarakat siap dengan tranformasi teknologi yakni migrasi dari televisi analog menuju televisi digital atau Analog Switch Off. Masyarakat tidak merasa terbebani dengan migrasi tersebut sebab negara dalam sistem Islam atau Daulah Khilafah memiliki sarana infrastruktur yang ditanggung melalui Baitul Mal.

Mengingat media teknologi Daulah Khilafah memiliki peran strategis dalam melayani ideologi Islam. Adapun fungsi media teknologi dalam Daulah Khilafah yakni fungsi media di luar Daulah Khilafah, sebagai sarana penyebaran Islam baik suasana perang maupun damai guna menunjukkan keagungan ideologi Islam. Sekaligus membongkar kebobrokan dan keborokan sistem ideologi kufur buatan manusia. Adapun fungsi media di dalam Daulah Khilafah, sebagai sarana membangun masyarakat yang kokoh guna memberikan edukasi berupa tsaqofah Islam, berita update baik berupa ilmu sains teknologi maupun informasi politik Islam dalam dan luar Daulah Khilafah. Kesejahteraan hidup Daulah Khilafah bukanlah isapan jempol semata, hal ini sudah terbukti selama 13 abad secara historis. 

Wallahu'alam Bisshawab..