-->

Kekerasan Berbasis gender solusinya Adalah Islam


Oleh: Khantynetta

Pemberitaan mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak terus saja bermunculan, dan seolah tidak kunjung menemui solusi tuntas. Bahkan jumlahnya justru semangkin meningkat.

Kasus penganiayaan terhadap istri dan anak di Depok, Jawa Barat, yang berujung pada kematian anak merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. Hal ini diungkapkan Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat.

"Komnas Perempuan memandang pembunuhan terhadap anak perempuan merupakan kekerasan berbasis gender yang ekstrem sebagai puncak dari kekerasan dalam rumah tangga," kata Rainy Hutabarat. (Republika.Co.Id, 5/11/2022).

Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata dalam Catahu 2022 melonjak naik dari tahun sebelumnya. “Terjadi peningkatan signifikan 50% kasus berbasis gender pada perempuan pada tahun 2021,” tutur Alimatul.

Kenaikan tersebut sebanyak 112.434 dari tahun 2020 lalu, yakni dengan jumlah 338.496 laporan kasus sepanjang tahun 2021. Sedang total laporan kasus pada tahun 2020 sebanyak 226.062. Total kasus di tahun 2021 tersebut menjadi yang tertinggi selama sepuluh tahun terakhir. (Himmah Online, 21/03/2022)

Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 2021 di Kalsel jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 201 korban dan kekerasan terhadap anak sebanyak 155 korban, baik anak laki-laki maupun anak perempuan dari total 410 kasus yang telah terlaporkan, dan pada 2022 dari Januari hingga Mei ini total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 170 kasus. (https://diskominfomc.kalselprov.go.id, 23/06/2022).

Apakah benar penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah karena alasan gender?. Sesungguhnya pandangan tersebut perlu untuk di kaji kembali, karena pandangan tersebut datang dari kaum feminis.

Pandangan kaum feminis tersebut tentulah keliru. Karena para perempuan dan anak-anak terhina sebetulnya karena menjadi objek bisnis dalam sistem kapitalisme yang di terapkan hari ini.

Kekerasan terhadap perempuan sejatinya dikerenakan tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik oleh negara, masyarakat maupun keluarga tidak adanya perlindungan tersebut di latar belakangi oleh tidak adanya pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat ataupun anggota keluarga.

Sebenarnya jika dilihat secara mendalam, sangat jelas terlihat bahwa tidak kunjung usainya persoalan kekerasan terhadap perempuan justru merupakan indikasi dari gagalnya kehidupan sosial yang berlandaskan ideologi kapitalisme ini, dan bukti rapuhnya tatanan moral di tengah-- tengah masyarakat dalam berperilaku.

Selama ini undang--undang tentang perempuan dan anak di buat berlandaskan liberalisme. Aturan itu hanya menyentuh tindakan kekerasan, tidak menyentuh akar persoalan. Selain itu, undang-undang yang ada juga di pengaruhi oleh feminisme. Mereka meminta perempuan setara dengan laki-laki. Padahal persoalan kekerasan yang terjadi pada perempuan bukan karena adanya pandangan ketidak kesetaraan gender. Bukan juga perempuan tidak berdaya dari sisi ekonomi. Hingga program pemberdayaan perempuan yang menyeret kaum ibu aktip di bidang ekonomi ternyata memunculkan persoalan baru. Pelecehan di dunia kerja, terlantarnya anak--anak hingga runtuhnya bangunan keluarga akibat perceraian dan lain-lain.

Semua permasalahan ini menunjukkan lemahnya aturan yang lahir dari akal manusia. Semua cara sudah dilakukan untuk menyelesaikannya dengan beragam konvensi, kesepakatan, dan aturan tentang penghapusan tindak kekerasan. Baik skala internasional, regional, maupun nasional, semua itu tidak mampu memberantas tuntas persoalan yang ada. Malah semakin menyuburkannya.

Kondisi yang sama dirasakan perempuan di seluruh belahan dunia. Betapa kemiskinan, pelecehan, penindasan, dan eksploitasi menghimpit kaum perempuan di manapun ia berada.

Ideologi sekuler kapitalisme yang berkembang di tengah masyarakat menjadikan kaum muslimin ke hilangkan gambaran yang nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Terlebih dengan makin gencarnya upaya Barat melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan ke dunia Islam.

Cara Islam Memuliakan dan Menyejahterahkan Perempuan.

Untuk menyelesaikan masalah kekerasan terhadap kaum perempuan adalah kembali kepada Islam, aturan yang datang dari Allah Swt. 

Aturan Islam yang diterapkan sangat jauh berbeda dengan aturan kapitalis saat ini. Aturan Islam mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warganya, termasuk didalamnya perempuan. Perempuan mempunyai kedudukan terhormat dalam Islam.Karena aturan Islam ingin memastikan para perempuan menjalankan peran mereka untuk melahirkan dan mencetak generasi.

Sementara itu dalam Islam, tidak ada penzhaliman hak-hak baik bagi pria maupun wanita. Bahkan, setiap mereka mendapatkan hak-haknya secara adil sesuai dengan hukum Islam. Wanita dalam Islam dapat menjalankan perbuatan-perbuatan yang mubah, contohnya: dia dapat mewakili dirinya dan mewakilkan kepada oranglain dalam masalah wakalah, dia boleh mengembangkan hartanya dalam perdagangan, industri dan pertanian. Dia boleh menjalankan profesionalisme, dia boleh mengeluarkan fatwa, menyelesaikan konflik di tengah masyarakat, dll.

Sebagai contoh, Umar bin Khatab sebagai Khalifah yang bijak telah mengangkat Syifa binti Sulaiman sebagai qadhi hisbah (salah satu jenis hakim dalam Islam). Ini membuktikan kalau wanita boleh terlibat dalam aktivitas politik. Kesaksian wanita dapat diterima dalam berbagai masalah. Kesaksian wanita secara individu dapat diterima untuk perkara yang berkaitan dengan wanita, seperti balighnya wanita, haidnya wanita, penyusuan, kehamilan dan lain-lain. Kesimpulannya, wanita menikmati dan mendapatkan seluruh hak-haknya sebagaimana pria.

Selain itu ada pula hak-hak yang dikhususkan bagi wanita tapi tidak untuk pria, semisal hadhonah (pengasuhan anak.) Ada juga hak-hak khusus untuk pria yang tidak untuk wanita, seperti kewajiban jihad. Wanita diperbolehkan duduk di majelis ummah, juga boleh menjadi qadhi hisbah dan qadhi khusumat sebagaimana kalangan pria. Wanita berhak memilih penguasa dan mengoreksinya. Namun, dia tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang mengeksploitasi kewanitaannya, seperti menjadi Sales Promotion Girl, model iklan, atau peragawati. Semua itu demi menjaga kehormatan dan mengangkat martabatnya.

Islam memuliakan wanita dan menjaganya dari segala sesuatu yang buruk dengan menetapkan kehidupan khusus (hidup bersama mahram dan wanita) seperti dalam surat An-Nur:31. Islam memelihara wanita di rumah, dengan melarang orang lain masuk tanpa izin (an-nur:27), Begitu juga, Islam menjadikan kehidupan umum bagi wanita disertai dengan perlindungan dari syara’ sebagai rambu-rambu yang menjaganya. Yaitu, boleh keluar rumah asalkan dengan menggunakan khimar dan jilbab (an-nur:31; ahzab:59). Islam mengharamkan bagi mereka bertabarruj (al:ahzab 33); Islam melarang wanita berkhalwat tanpa mahram dan tidak boleh campur-baur dengan pria tanpa mahram kecuali ada kebutuhan yang telah ditetapkan oleh syara’. Inilah rambu-rambu yang ditetapkan oleh hukum syara’ yang wajib dijalankan wanita dalam kehidupan umum.

Khilafah menjaga kehormatan wanita

Sejarah Islam telah memperlihatkan model cemerlang yang mengungkap peran muslimah dalam mengoreksi penguasa. Adalah seorang muslimah yang menggugat Khalifah Umar bin Khattab ketika Umar menetapkan pembatasan mahar, dengan membacakan surat An-Nisaa:20. Kemudian Umar menarik keputusannya, seraya mengatakan, “Wanita itu benar dan Umar Salah!”

Begitu pula sejarah Islam telah membuktikan perhatian Daulah Islam terhadap perlindungan dan penjagaan kehormatan wanita. Sebagaimana kisah pria yahudi yang mengganggu muslimah di pasar bani Qainuqa, sehingga tersingkap auratnya. Wanita itu pun berteriak kepada kaum muslimin, kemudian datanglah seorang laki-laki muslim yang membunuh sang yahudi. Kemudian yahudi yang lain mengeroyok dan membunuh laki-laki muslim itu. Akhirnya, Rasulullah SAW mengepung perkampungan bani Qainuqa dan mengusir mereka dari Madinah Munawarah karena buruknya perilaku mereka.

Pada masa Khalifah Al-Mu’tashim Billah, ketika seorang muslimah jilbabnya ditarik oleh salah seorang Romawi, ia segera menjerit dan meminta tolong kepada Khalifah : Wa Islama wa mu’tashima!, “Di mana Islam dan di mana Khalifah Mu’tashim?”. Ketika mendengar jeritan muslimah tersebut, Khalifah serta-merta bangkit dan memimpin sendiri pasukannya untuk membela kehormatan seorang muslimah yang dinodai oleh seorang pejabat kota tersebut (waktu itu masuk dalam wilayah kekaisaran Romawi). Kepala Negara Daulah Khilafah Islamiyah ini mengerahkan ratusan ribu tentaranya ke Amuria-perbatasan antara Suria dan Turki. Sesampainya di Amuria, beliau meminta agar orang Romawi pelaku kedzaliman itu diserahkan untuk diadili. Saat penguasa Romawi menolaknya, beliau pun segera menyerang kota, menghancurkan benteng pertahanannya dan menerobos pintu-pintunya hingga kota itu pun jatuh ke tangan kaum muslimin.

Khalifah Umar bin Khatab suatu saat mendengar keluhan seorang wanita yang ditinggal suaminya berperang, beliau pun bertanya kepada putrinya, Hafshah ummul mukminin tentang lamanya istri sanggup ditinggal suaminya. Hafshah menjawab bahwa perempuan sanggup menahannya selama 4 bulan. Setelah itu Umar pun menurunkan keputusannya kepada panglima perang, agar mengumumkan kepada tentara yang sudah berkeluarga untuk kembali kepada istri mereka setelah 4 bulan. Inilah pertama kalinya keluar qanun (undang-undang) Islam terhadap prajurit Islam.

Jelaslah bahwa hanya Islam sebagai diin yang sempurna, yang mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi kaum perempuan dengan tuntas dan jelas.

Namun aturan Islam hanya akan dapat terealisi jika tiga pilar tegaknya hukum Islam diterapkan, yaitu pembinaan individu yang mengarah pembinaan masyarakat, kontrol masyarakat, adanya penerapan sistem hidup yang berlandaskan pada syariah Islam yang di laksanakan oleh negara, khilafah Islamiyyah.

Wallahu a'lam bish shawab.