-->

Penghapusan Honorer, Solusi Atau Lepas Tangan?

Oleh : Cia Ummu Shalihah (Pemerhati Sosial)

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo angkat bicara perihal rencana pemerintah menghapuskan tenaga honorer mulai 2023 mendatang. 

Penghapusan tenaga honorer merupakan mandat yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dalam aturan itu, masa kerja honorer diatur hingga 2023. 

Aturan tersebut mengamanatkan status kepegawaian di lingkungan instansi pemerintah wajib terdiri hanya dua jenis yakni pegawai negeri sipil (PNS) dan PPPK. Aturan ini mulai berlaku mulai 28 November 2022 mendatang. 

"Sebetulnya, amanat PP ini justru akan memberikan kepastian status kepada pegawai," kata Tjahjo dalam keterangan tertulis, Jumat (CNBC Indonesia, 3/6/2022). 

Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Bima Arya Sugiarto menyatakan, larangan mempekerjakan honorer bagi instansi pemerintah mulai 2023 akan berdampak bagi pemerintah daerah. Untuk itu, para wali kota se-tanah air memberikan poin-poin masukan kepada pemerintah pusat agar penghapusan tenaga honorer ini dilakukan secara cermat. 

“Kami para wali kota sangat memberikan atensi terhadap isu ini. Jangan sampai pelayanan publik lumpuh. Jangan sampai ada pengangguran massal di kota-kota seluruh Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (11/6/2022). 

Negara Lepas Tangan 

Ditengah karut marut kondisi negeri, kembali kita dihebohkan dengan
kebijakan pemerintah yang menghapus tenaga honorer. Saat ini para tenaga honorer harap-harap cemas karena semakin banyak yang kehilangan lapangan pekerjaan. 

Namun wajar memang jika semua problematika tersebut di atas harus terjadi, sebab menelisik lebih jauh selama ini pemerintah sering memberikan kebijakan shock therapy kepada rakyat kecil termasuk tenaga honorer. 

Semua itu tidak lepas dari paradigma dasar yang mengatur hajat hidup orang banyak. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa kepemimpinan negeri ini didominasi oleh sistem kapitalisme yang telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Sistem yang sangat mengedepankan materi serta untung rugi sebagai faktor utama dalam setiap pengambilan kebijakannya. 

Indonesia sebagai penganut sistem kapitalis nyatanya mengabaikan kesejahteraan pekerja honorer. Negara berlepas diri dari pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara, apalagi kebutuhan sekunder dan tersier. Pekerja dalam pandangan kapitalis dianggap sama seperti aset yang dapat dikomersialisasi. Bahkan eksploitasi pekerja menjadi suatu hal yang wajar dalam pandangan mereka. Gaji yang lebih kecil kepada tenaga honorer adalah lebih baik karena mengurangi pengeluaran. Upah minimum yang kerap mereka dengungkan sebagai penyelesaian masalah penggajian pada hakekatnya hanya sekedar menyambung hidup meski tak bisa menutupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi di negeri ini. 

Miris melihat kondisi saat ini dimana setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tak satupun yang memberikan angin segar bagi masyarakat, akan tetapi justru sebaliknya menambah beban hidup yang tak berkesudahan. 

Hanya Islamlah Solusinya 

Persoalan rakyat hari ini tidak lepas dari kebijakan para penguasa yang selalu membuat rakyat menelan pil pahit akibat lemahnya pengaturan rakyat yang bersifat kapitalistik. 

Dalam Islam, pengaturan rakyat termasuk aparatur negara sangat jelas tak ada istilah honorer. Adapun sistem penggajian dan alokasi dana untuk tiap-tiap rakyat yang menjadi Aparatur Negara sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi dalam sistem kapitalisme. 

Dalam Islam, gaji aparatur negara baik guru, tenaga kesehatan maupun yang bertugas dalam administratif digaji oleh negara yang diambil dari dana baitul mal melalui pos fa'i dan milkiyyah. Pun status mereka jelas sebagai seorang aparatur negara, bukan honorer ataupun pegawai harian yang tak jelas status maupun penggajiannya. 

Misalnya saja dalam masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Beliau pernah menggaji pendidik dengan gaji 15 dinar yang jika dikonversikan dalam mata uang rupiah berkisar 51 juta rupiah. Dan dimasa Abasiyyah beliau pernah menggaji beserta tunjangan untuk Zujaj pada setiap bulan beliau dapat gaji 200 dinar sementara Ibnu Duraid digaji sekitar 40 dinar per bulan oleh Al Muqtadir. Pun jika dikonversikan ke rupiah maka tunjangan mereka rata-rata ratusan juta. 

Sehingga para aparatur negara tidak lagi khawatir ataupun mencari-cari pekerjaan lain untuk menunjang hidunya. Mereka hanya fokus pada bidang masing-masing secara profesional. Hal itu hanya terjadi di sistem Islam yang tidak hanya peduli pada status rakyatnya tetapi juga peduli dengan kesejahteraannya. 

Bahkan rakyat yang hidup dalam sistem Islam tidak susah mencari lapangan pekerjaan karena dalam sistem Islam, kebijakan negara selalu terfokus pada terlaksananya aturan-aturan kehidupan sesuai dengan Al-qur'an As sunnah. Maka, jika ada sistem yang lebih mementingkan urusan rakyatnya, tidakkah kita rindu untuk menerapkannya? 

Itulah solusi Islam dalam menyediakan lapangan pekerjaan, bukan menghilangkannya. Karena negara adalah pelindung rakyat. Semua hal ini akan terwujud manakala sistem Islam diterapkan dalam institusi negara secara menyeluruh. 

Wallahu a’lam.