-->

Wacana Penundaan Pemilu, Demi Kepentingan Siapa?

Oleh : Annisa Afif Abidah
(Aktivis Muslimah)

Baru tiga bulan kita melewati tahun 2022, tapi isu pemilu sudah mulai ramai dibicarakan. Ya betul sekali, pemilu masih dua tahun lagi. Namun baru-baru ini, publik dihebohkan dengan beredarnya wacana usulan penundaan pemilu oleh beberapa parpol pendukung Jokowi. Wacana ini pertama kali tertangkap oleh media sejak Januari 2022, diungkapkan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahaladia mengutarakan, wacana penundaan pemilu 2024 di sela rapat kerja bersama Komisi VI DPR (31/1/2022).

Beberapa kalangan politikus maupun petinggi dari Partai Golkar, PAN dan PKB banyak yang mengusulkan penundaan pemilu 2024. Mereka berpandangan perlunya wacana penundaan pemilu 2024. Tujuannya agar momentum perbaikan ekonomi tidak terjadi stagnasi. Mereka menyatakan itu adalah aspirasi rakyat karena perekonomian belum stabil akibat covid-19. Mereka menilai pemerintah harus lebih konsentrasi untuk memulihkan kondisi perekonomian.

Namun, banyak juga pihak yang mengingatkan untuk berhati-hati terhadap wacana penundaan ini. Salah satunya, dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia mengatakan, penundaan pemilu dari waktu yang ditentukan akan melanggar konstitusi dan sangat rawan memicu konflik (www.Tempo.com, 4/3/2022).

Begitupun tanggapan dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia menegaskan bahwa usulan itu tidak logis karena bertentangan dengan konstitusi. Lebih lanjut, AHY menilai ada segelintir orang yang ingin melanggengkan atau takut kehilangan kekuasaan (CNN Indonesia, 27/2/2022).

Selanjutnya, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mempunyai satu pertanyaan berkaitan dengan upaya mewujudkan usulan tersebut. Pertanyaan ditujukan kepada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mengusulkan penundaan pemilu. “Kalau pemilu ditunda, maka lembaga apa yang berwenang menundanya?” tanya Yusril (RMOL, 25/2). Pertanyaannya yang kedua, “Lembaga apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut?” lanjutnya, “Apa produk hukum yang harus dibuat untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan tersebut?”

Menurutnya, jika asal menunda pemilu dan asal memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat, maka ada kemungkinan timbul krisis legitimasi dan krisis kepercayaan.

Dari sini sangat jelas bahwa meski alasan agar fokus perbaikan ekonomi dikemukakan, namun banyak pengamat menyorot bahwa wacana ini merupakan cara yang digulirkan elite partai bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi demi memperpanjang masa jabatan yang menguntungkan mereka. Sekaligus, menambah waktu menyiapkan diri berkontestasi untuk kursi kekuasaan berikutnya. Sementara itu, pihak oposisi menolak wacana tersebut karena tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi kekuasaan.

Entah apa motif di balik usulan wacana tersebut, masih jadi tanda tanya besar. Seruan penundaan pemilu di negeri ini membuat kegaduhan publik. Bagaimana tidak, Indonesia berlabel negara demokrasi yang seharusnya keputusan ini diserahkan kepada rakyat, bukan berdasarkan suara beberapa elite politik. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah isapan jempol semata, andai seruan penundaan ini terealisasi. Pasalnya, berdasarkan konstitusi negara Indonesia, penundaan pemilu hanya bisa dilakukan karena alasan darurat seperti bencana alam dan kerusuhan (bbc.com, 1/3/2022).

Rasanya lelah menjadi rakyat, yang katanya akan menjadi prioritas namun ternyata hanya dipikirkan sepintas. Bagaimana tidak, problem yang dihadapi negeri ini masih menyisakan kekecewaan selama rezim ini berkuasa. Belum berakhir derita rakyat menghadapi persoalan pandemi yang tak kunjung henti, penguasa malah menyibukkan diri dan meminta dukungan untuk memuluskan proyek pemindahan IKN. Kasus naiknya harga sejumlah komoditas pangan ikut mewarnai panasnya suasana negeri ini, menjadi paket lengkap, harga LPG nonsubsidi pun ikut melejit. Belum sempat menghela napas, rakyat masih harus menghadapi kisruh harga minyak goreng hingga kelangkaan yang sangat berdampak pada pelaku usaha mikro. Ironi, di negeri gemah ripah loh jinawi. Masih banyak deretan problem yang mendera bangsa hingga sulit diurai bak benang kusut.

Inilah watak asli dari sistem demokrasi yang akan melahirkan dan mencetak elite politik yang minim empati. Lebih mementingkan kemaslahatan bagi diri dan kelompoknya. Apa yang seharusnya menjadi tujuan dari aktivitas politik justru luput dari perhatian mereka. Malah kemaslahatan rakyat tidak lagi menjadi prioritas untuk diperjuangkan oleh para pemilik kekuasaan itu.

Sangat berbeda dengan Islam. Islam mengharuskan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan publik. Sebab, politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Sementara, pemilu hanyalah cara alternatif untuk memilih kepala negara, bukan metode baku pengangkatan kepala negara. 

Pemilu dalam Islam wajib terikat dengan nash-nash syariat, dilarang menyelisihinya. Pemilu hanya akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. Karena, masa jabatan dalam kepala negara tidak ada periodisasi. Seorang kepala negara diganti hanya ketika melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat. Rasulullah SAW bersabda, “Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah.” (HR Muslim).

Seorang pemimpin haruslah orang yang memahami tentang penerapan syariat Islam dengan benar. Begitu juga tugas dan wewenangnya dibatasi oleh syariat, hanya untuk menerapkan hukum Allah secara kaffah. Ia tidak punya wewenang sedikit pun membuat hukum sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT.

Memilih pemimpin dalam Islam bukanlah sebuah perayaan yang penuh euforia dan pesta pora, tapi bicara soal ketaatan terhadap hukum syara’ dan pemenuhan hajat hidup umat. Tidak perlu ada dana kampanye sampai miliaran rupiah, pasang baliho dan relawan ataupun mengobral janji ini dan itu. 

Teringat kisah seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengucapkan kalimat “Innalillahi wa innailaihi raajiun” sembari menangis sesenggukan usai terpilih menjadi pemimpin negara pada masa Dinasti Umayyah. Menjadi seorang manusia saja dalam Islam, sudah memikul amanah kepemimpinan yang begitu besar, sebagaimana sebutan Allah bahwa manusia itu adalah khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi). 

Terlebih, ketika seseorang diberi amanah untuk memimpin umat manusia, maka maslahah dan mafsadah yang hadir dalam kehidupan sangat ditentukan oleh pikiran, sikap, dan keberpihakannya terhadap kebenaran dan kesejahteraan rakyat. Demikianlah, dalam Islam amanah kepemimpinan bukan hal yang harus dicita-citakan, apalagi diperoleh dengan segala cara.

Inilah yang menjadikan pemilu di dalam kepemimpinan Islam mampu menghasilkan pemimpin berkualitas. Pemimpin yang akan menerapkan aturan Allah dan akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Maka sudah saatnya kita menyambut seruan untuk terus meninggikan agama Allah  dan melanjutkan kembali kehidupan Islam.