-->

Pemerintah Menggenjot Pajak, Rakyat Semakin Terhimpit

Oleh : Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom

Pada Kamis 3 Maret 2022 lalu, Pemerintah Kabupaten Bandung menggelar pertemuan Forum Perangkat Daerah Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dalam rangka mengoptimalisasikan pendapatan daerah melalui pajak terutama pada sektor Perhotelan dan Restoran. Dalam pertemuan tersebut Bupati Bandung mengatakan, bahwa jika Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia tidak membayarkan pajak dari konsumen kepada Pemda, maka akan dikaji ulang perizinannya, karena pajak merupakan hak Pemda dan bukan meminta dari pengusaha.

Sementara Kepala Bapenda Kab. Bandung Erwin K Hermawan mengatakan, bahwa ada 10 mata entiras mata pajak yang harus dikelola menjadi penghasilan Pemda, yang pada tahun 2022 ini ditargetkan akan mencapai sekitar 700 miliar. Maka kami akan melakukan berbagai upaya untuk mengintensifkan penagihan dan pendataan kepada wajib pajak serta bekerjasama dengan berbagai pihak dan Kejaksaan Negeri.

Saat ini Indonesia telah memiliki UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang salah satunya mengatur tentang pajak dari usaha Hotel dan Restoran dengan tarif 10 persen dari penghasilan usaha, dengan masa pajak selama sebulan dan menjadi pemasukan kabupaten maupun kota.

Seperti kita ketahui, pajak merupakan pungutan wajib yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada negara, baik dari pendapatan, harga beli transaksi, kepemilikan aset dan lain sebagainya. Bahkan dari tahun ke tahun, pemerintah terus saja menaikkan target pajak dan mencari apa saja yang bisa dikenai pajak dari rakyat tanpa kecuali. Hal ini karena salah satu pemasukan utama bagi kas negara adalah dari pajak, walaupun negeri ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi hal tersebut tidak menjadikan hasil pengelolaan SDA sebagai pemasukan utama kas negara, mengapa demikian?

Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi cadangan SDA mineralnya  sangat tinggi. Namun sayangnya pengelolaan SDA ini mayoritas diserahkan kepada swasta, baik lokal maupun asing. Seperti tambang emas Freeport di Papua yang dikuasai Amerika. Kontrak kerjasama selama 30 tahun dari 1967-2018 hanya memberikan keuntungan kurang dari 10 persen bagi negeri ini. Padahal total keuntungan dari eksploitasi emas bernilai sekitar 2190 triliun, dan hanya 10 triliun saja yang masuk ke negara per tahunnya, tentu jumlah tersebut sangatlah kecil. Belum lagi dengan tidak transparannya peruntukan dana tersebut, apakah masuk dalam kas pemasukan APBN ataukah tidak, justru rentan dijadikan lahan korupsi rezim. 

Hal ini terbukti dengan gencarnya pemerintah dalam pemungutan pajak terhadap rakyat, dan utang luar negeri Indonesia yang terus membengkak hingga mencapai 7000 triliun. Dan masih banyak lagi penguasaan tambang yang pengelolaannya diserahkan kepada swasta (asing), kalaupun milik negara mayoritas diprivatisasi atau dijual sebagian kepemilikannya oleh oknum-oknum tertentu kepada swasta. Seperti tambang batu bara di Kalimantan yang dimiliki pengusaha sekaligus penguasa negeri ini.

Jelas ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 dimana disebutkan salah satu ayatnya bahwa semua kekayaan alam dikelola negara dan hasilnya diperuntukkan bagi rakyat. Sehingga sumber alam yang seharusnya menjadi pendapatan terbesar jika dikelola sendiri, hanya memberikan sedikit sekali kontribusi pada pos pemasukan kas negara.

Inilah realitas negeri yang menerapkan sistem Demokrasi Kapitalisme yang menjadikan pajak dan utang luar negeri sebagai sumber pemasukan utama negara. Negara yang seharusnya mengelola sendiri sumber daya alam untuk pengurusan rakyat  malah menyerahkan kepada swasta asing dan memilih berhutang. Maka tak heran jika setiap apapun yang dimiliki rakyatnya, bisa dijadikan sasaran pajak. Dan ini jelas merupakan tindakan pemalakan.

Berbeda sekali dengan Sistem Islam dalam naungan Khilafah, yang menjadikan pos pemasukan utama kas negara adalah dari hasil pengelolaan SDA sebagai salah satu pendapatan kas negara, bukan dari pengutan pajak kepada rakyat. Berikut ini pos-pos pendapatan yang terbagi tiga, yaitu:

Pertama, penerimaan dari hasil pengelolaan kepemilikan umum berupa pengelolaan SDA seperti tambang dan lainnya yang semuanya wajib dikelola negara dan haram diserahkan kepada asing. 

Kedua, dari pengelolaan kepemilikan negara berupa harta Kharaj, Fa'i dan lainnya.

Ketiga, dari zakat mal.
Memang tidak dipungkiri bahwa di dalam Islam ada pajak yang dikenal dengan sebutan Dharibah. Namun penerapan dan pengaturannya berbeda dengan konsep kapitalisme. Syaikh Abdul Qadim Zallum mengartikan Dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan rakyat ketika pos pendapat tersebut kosong. 

Dharibah ini bersifat temporer dan situasional atau tidak dipungut secara terus-menerus, tidak disandarkan pada barang tertentu, karena hanya untuk menutupi selisih kekurangan pada satu pembiayaan saat kas negara di Baitul Mal tidak mencukupi atau bahkan kosong. Selain itu, pungutan dharibah hanya dibebankan kepada muslim yang kaya saja,  tidak kepada semua kalangan rakyat. Jika kas negara sudah teratasi, dharibah pun segera diberhentikan, sehingga pajak dalam Islam tidak dirasakan sebagai bentuk kezaliman dan bukan menjadi pemasukan utama negara. Rasulullah SAW bersabda : "Tidak akan masuk Surga pemungut cukai."
(HR. Ahmad dan dishahihkan Al-Hakim)

Wallahua'lam bishawab