-->

Isu Radikalisme dan Terorisme : Tidak Nyambung Dengan Persoalan Masyarakat

Oleh : Ummu Tsabita Nur

Baru-baru ini beredar list penceramah yang dikatakan radikal. BNPT sendiri menyebut setidaknya ada 5 indikator penceramah termasuk katagori radikal ,

Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro idieologi khilafah transnasional. 

Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.

Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).

Yang terakhir, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan.
(mediaindonesia.com).

Menurut Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid , " Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama."

Tak lama berselang,  kemudian terjadi kasus yang cukup mengejutkan publik. Seorang dokter (SU 54 tahun ) yang diduga tersangka tindak pidana terorisme. Dia ditembak hingga tewas oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada Rabu malam 9 Maret 2022.

Dokter SU ditetapkan sebagai tersangka karena merupakan anggota kelompok teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Memiliki peran pernah menjabat sebagai amir khitmad menjabat sebagai deputi dakwah dan informasi, sebagai penasihat amir JI dan penanggungjawab Hilal Amar Society. 

Namun banyak orang menyayangkan sikap Densus 88 yang terkesan mudah sekali menghilangkan nyawa orang. Padahal baru terduga saja. Sedangkan pada KKB Papua kesan yang tertangkap tidak seganas menyikapi para terduga teroris.  Banyak mengalah kelihatannya. Padahal sudah jelas membunuh banyak jiwa sampai saat ini.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa dokter SU sudah ditetapkan sebagai tersangka, bukan lagi terduga.

Ramadhan kemudian menjelaskan alasan tindakan tegas terukur yang dilakukan aparat kepolisan adalah karena adanya perlawanan pada petugas yang berupaya melakukan penegakan hukum.(liputan6.com).

Tapi jika kita berpikir lebih mendalam, mengapa pemerintah lebih meributkan soal radikal dan teroris ? Apakah itu adalah persoalan krusial bangsa saat ini?

Tentu tidak !  Lihat saja bagaimana para emak kesulitan mendapatkan minyak goreng. Kalau mau yang  murah harus mengantri dulu. Berjam-jam. Kalau tidak begitu, tentu harus membeli dengan harga di atas  HET yang ditentukan pemerintah.

Atau bagaimana para pengrajin tempe dan tahu yang kemaren kesulitan kedelai.  Juga soal harga LPG , dan kebutuhan pokok masyarakat yang lainnya, yang diberitakan serba naik. Tentu ini adalah persoalan yang tak bisa dianggap enteng. Belum lagi kalau kita bicara pandemi yng masih berlangsung. Kasus kematian karena virus covid19 terus bertambah.

Rakyat hari ini hidup dalam kesulitan bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Hanya segelintir orang yang hidup makmur, yaitu para sultan dan konglomerat.  Para pemilik modal. 
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.

Segelintir orang tadi berkuasa dan akhirnya menzalimi rakyat. Kejahatan kapitalisme  terlihat nyata dari naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, kacang kedelai dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya.

 Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pernah mengatakan bahwa pasar pangan di Indonesia hampir 100 persen dikuasai kartel atau monopoli. Ia mengatakan Bulog hanya menguasai 6%. Sisanya dikuasai kartel.

Kasus kelangkaan minyak goreng salah satunya yang menjadi ironi kini.  Pasalnya, Indonesia adalah negara dengan luas perkebunan sawit terbesar. Namun, perkebunan sawit itu dikuasai hanya oleh 29 taipan yang memiliki lahan separuh Pulau Jawa alias lebih dari 5 juta hektar. 

Industri minyak goreng pun dikuasai hanya oleh 4 konglomerat. Itulah sebabnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sama-sama menduga ada permainan kartel. Perusahaan minyak goreng menaikkan harga secara bersamaan, padahal mereka memiliki perkebunan sawit masing-masing (TribunJabar, 26/01).

Sistem demokrasi yang dipuji-puji membawa kedaulatan rakyat ternyata  justru menciptakan kekuasaan yang dicengkram segelintir orang (oligarki). Hal ini tidak lepas dari peran kaum kapitalis pemilik uang yang berada di belakang pemilu.

Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa 92 persen Pilkada dikuasai cukong. Menurutnya, kondisi ini melahirkan kebijakan korup dan korupsi kebijakan. Banyak kebijakan yang hanya menguntungkan pengusaha, sementara rakyat tidak mendapat apa-apa.

Solusi Islam

Seharusnya Negara menjamin kebutuhan pokok rakyat dan mencegah serta menghukum permainan para pengusaha jika terbukti melakukan kecurangan, seperti menaikkan harga dengan sangat keterlaluan yang disebut ghabn fâhisy atau khilâbah (penipuan).

 Nabi saw. bersabda:
"Jual-beli  muhaffalât  adalah khilâbah (penipu
an) dan penipuan itu tidak halal bagi seorang Muslim (HR Ibn Majah, Ahmad dan Abdurrazaq).

Sedangkan Negara kini cuma bisa mematok harga (HET), atau melakukan operasi pasar, tanpa mampu mengendalikan para kapital besar yang bisa mengatur para penentu kebijakan.  Kelihatan sekali mereka lemah posisinya di hadapan para pemilik modal.

Sungguh pangkal dari persoalan masyarakat hari ini, yaitu ketiadaan penerapan syariah Islam yang akan menuntaskan seluruh persoalan.
 Karena Allah SWT telah menjadikan syariah Islam sebagai solusi bagi setiap persoalan hidup manusia. 

Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan ragam keberkahan (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).

Lalu mengapa justru ketika para penceramah menyodorkan solusi Islam dan mendorong umat untuk mengganti sistem dengan Khilafah malah dituduh radikal intoleran.

Inilah penampakan tidak nyambungnya cara pikir pemerintah dngan kondisi masyarakat.  Fix sudah mereka alergi dengan Islam dan mereka berusaha melanggengkan sistem bobrok yang mendudukkan mereka di kursi kekuasaan.

Ada baiknya para pemimpin merenungkan hadits berikut :

Rasulullah SAW mendoakan kesusahan bagi para penguasa yang menindas umat beliau. “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia,” 
(HR Imam Muslim).

Jika para penguasa justru abai atas amanah, kesulitan akan menimpanya di yaumil akhir.
“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).[]